Hidayatullah.com– Para orangtua didorong agar mempersiapkan anak-anaknya saat ini untuk menjadi sosok yang tangguh di masa mendatang. Salah satu caranya adalah dengan menggembirakan anak-anak.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rita Pranawati mengatakan, kegembiraan anak pada dasarnya merupakan wajah syukur orangtua.
“Syukur orangtua atas anugerah Tuhan yang tak ternilai harganya. Inilah yang kemudian mendorong orangtua untuk terus melakukan usaha maksimal dalam proses pemenuhan kebutuhan hidup,” ujarnya dalam pernyataannya kutip laman resmi KPAI di Jakarta, Selasa (23/07/2019) memperingati peringatan Hari Anak Nasional (HAN).
Menurutnya, gambaran kegembiraan anak-anak Indonesia saat ini, seringkali lenyap oleh banjirnya informasi terkait narasi kekerasan terhadap anak dan tindakan tidak menyenangkan pada anak, yang masih saja menjadi menu harian berita di layar kaca televisi.
Oleh karena itu, perlu dihadirkan kegembiraan terhadap anak-anak Indonesia. Bahwa memang, anak Indonesia selalu tersenyum riang dan ramah dalam kondisi apa pun.
“Anak Indonesia diharapkan menjadi penyejuk keluarga di tengah kondisi yang mungkin kurang beruntung. Anak Indonesia pun menjadi penyemangat bagi hidup orangtua mereka. Anak Indonesia memang perlu bergembira. Pasalnya, mereka hidup di tanah yang subur. Sebagaimana banyak disiarkan dalam acara televisi, gambaran betapa anak Indonesia selalu riang,” sebut dosen FISIP UHAMKA ini.
Ia mengatakan, anak bukanlah sosok kecil yang mudah untuk dipaksa dan dilecehkan. Mereka adalah anugerah Tuhan. Karenanyalah bangsa ini tetap lestari. Tanpa kehadiran anak, masa depan sebuah peradaban akan suram dan sirna. Merekalah pewaris cita Republik. Merekalah yang akan menjadi pemimpin dan pengelola alam raya ini.
Ada beberapa poin penting lainnya yang ditekankan terkait perlindungan dan pendidikan anak saat ini. Rita Pranawati mengatakan, gambaran hasrat orangtua dalam pendidikan dapat dilihat saat proses pendaftaran siswa baru beberapa waktu lalu.
Katanya, banyak orangtua protes karena sistem zonasi. Mereka beralasan pemerintah tidak menghargai jerih payah anak yang telah memperoleh nilai tinggi. Pemerintah pun dianggap menghalangi mimpi anak untuk dapat sekolah di lembaga pendidikan idaman.
Hal itu menurutnya menjadi gambaran jelas bahwa orangtua masih terlalu dominan dalam penentuan sekolah anak. Orangtua belum mampu memposisikan diri sebagai sahabat diskusi dalam menentukan lembaga pendidikan. Dominasi orangtua ini dapat menjadi masalah jika anak tidak “rela”. Anak kemudian malas sekolah dan kurang semangat dalam belajar.
“Oleh karena itu, orangtua perlu menghadirkan kegembiraan itu dengan membuka ruang dialog. Ruang dialog orangtua dan anak berada pada posisi setara. Memperlakukan anak sebagai “orang merdeka” menjadi penting. Artinya, mereka perlu didengar suara dan mimpi-mimpinya. Orangtua berdasarkan pengalaman kemudian memberikan gambaran umum tentang mimpi-mimpi itu,” ujarnya.
Saat orangtua sudah mampu berdialog dengan anak, itulah kegembiraan.
Rita Pranawati mengatakan, kegembiraan anak saat ini adalah saat orangtua mau dan mampu mendengar setiap suara lirihnya. Orangtua juga dengan mudah mengapresiasi kelebihan dan bakat anak. Jamak diketahui orangtua lebih mudah marah saat anaknya salah. Namun, hanya sedikit kata pujian saat anak hebat atau berprestasi.
Terkait perlindungan anak, Rita Pranawati menyebut empat prinsip. Yaitu; hak hidup dan tumbuh kembang, non-diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, dan partisipasi anak.
“Prinsip pemenuhan kebutuhan hidup dalam perlindungan anak memposisikan kepentingan anak sebagai pertimbangan utama. Oleh karena itu, prinsip ini diarahkan dan dirancang untuk mampu memenuhi kebutuhan pokok anak serta keberlangsungan dan kesejahteraan hidup,” ujarnya.
Lanjutnya, orangtua sebagai pemegang mandat dari Tuhan perlu berusaha sekuat tenaga memenuhi kebutuhan hidup anak-anaknya. Kebutuhan itu tidak hanya dalam bentuk materi semata. Namun, perlindungan dan perwujudan kesejahteraan psikis sangat penting.
“Sentuhan kasih sayang orangtua sangat penting di tengah semakin derasnya arus teknologi informasi yang dapat menyeret anak dalam “hidup sendiri”. Kesendirian yang menjadikannya makhluk terasing dalam sistem sosial yang dinamis,” ujarnya.
Mengenai kebutuhan pokok atau hak dasar anak, dalam pendidikan yang layak misalnya, dinilai perlu diusahakan orangtua dengan sepenuh hati.
Proses pemilihan dan penentuan lembaga pendidikan perlu melibatkan anak secara aktif sebagai bagian dari perwujudan prinsip partisipasi anak. Kata dia, nafsu orangtua perlu direm agar ia tidak memaksakan kehendak dan “mendikte” anak sekolah di lembaga pendidikan tertentu.
“Momentum Hari Anak Nasional selayaknya menyadarkan orangtua bahwa anak merupakan aset besar bagi bangsa. Menggembirakan mereka menjadi investasi bagi kemajuan dan keadaban bangsa di masa yang akan datang. Pada akhirnya, selamat Hari Anak Nasional, mari menggembirakan anak Indonesia dengan cara-cara sederhana namun penuh makna. Saatnya bergembira!” pungkasnya.*