Hidayatullah.com– Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) Indonesia terus menyuarakan penolakannya terhadap Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang sedang dibahas DPR RI dan telah masuk Prolegnas 2019.
Ketua AILA Indonesia Rita Soebagio menyatakan, yang menjadi inti dari penolakan terhadap RUU P-KS adalah filosofi yang menjadi dasar RUU P-KS.
“Karena jika filosofinya bukan berdasarkan filosofi bangsa Indonesia, maka akan sangat mungkin ada penumpang gelap dalam RUU ini,” ujarnya dalam siaran pers AILA diterima hidayatullah.com di Jakarta, Jumat (20/09/2019).
Rita menjelaskan, sebuah rancangan undang-undang harus memenuhi landasan sosiologi, filosofis, yuridis yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia secara luas dan berkeadilan.
Selain itu, AILA menegaskan bahwa menolak RUU P-KS bukan berarti AILA tidak peduli pada korban kekerasan. Menolak RUU P-KS bukan berarti AILA mendukung para pelaku kekerasan.
“Ini kan tuduhan yang sering ditujukan oleh para pendukung RUU. Ada 190 ormas besar yang menandatangai surat pernyataan menolak RUU. Maka otomatis tuduhan dan fitnah tersebut pun ditujukan pada 190 ormas,” ungkapnya.
Hal tersebut sebelumnya disampaikan Rita saat bertemu anggota Komisi VIII DPR RI di Senayan, Jakarta, baru-baru ini. Selasa (17/09/2019) lalu, AILA Indonesia bersama dengan berbagai organisasi kepemudaan melakukan aksi damai menolak RUU P-KS di depan gerbang gedung MPR/DPR, Jakarta. Aksi damai ini diikuti oleh ratusan massa yang peduli pada kedaulatan bangsa.
Aksi damai yang berlangsung sejak pukul 12.30 WIB ditujukan untuk mengimbau berbagai pihak khususnya anggota DPR RI untuk tidak mensahkan sebuah undang-undang yang menimbulkan pro kontra yang sangat kuat di masyarakat.
Pukul 14.30 perwakilan massa dipersilakan masuk oleh anggota dewan untuk didengarkan aspirasinya. Selain perwakilan dari pihak yang menolak RUU P-KS, hadir pula perwakilan kelompok yang pro pada RUU P-KS. Dalam pertemuan itu, Endang dari Fraksi Partai Golkar menanggapi pro kontra yang terjadi terkait RUU P-KS.
“Jika terjadi polemik di masyarakat maka RUU harus dikaji lebih dalam. Karena RUU ini akan mengikat seluruh masyarakat Indonesia. Maka menurut kami, RUU ini tidak bisa diselesaikan dalam waktu dekat. Akan kami carry over pada periode berikutnya. Dan memutuskan sebuah RUU itu tidaklah mudah. Karena bagi kami ini menyangkut urusan dunia akhirat,” sebutnya sebagaimana keterangan AILA.
Sementara politikus dari Fraksi PDIP, Dyah Pitaloka, menyatakan hal yang sama bahwa RUU P-KS akan dilanjutkan pembahasannya pada anggota dewan periode berikutnya. Periode saat ini sebentar lagi berakhir.
Dyah menyebut bahwa pihaknya serba salah. Menurutnya, jika DPR melakukan pembahasan RUU dibilang lambat, jika memutuskan RUU dibilang terlalu terburu-buru.
“Ibu-ibu harus paham, bahwa mensahkan sebuah RUU perlu pertimbangan yang panjang dan diskusi yang panjang. Maka menurut kami, jika ada masyarakat yang menolak, RUU ini tidak baik-baik saja. Kami akan carry over pada periode berikutnya. Namun kami berjanji akan mendesak RUU ini untuk disahkan pada periode yang akan datang.”
Begitu pula, Rahayu Saraswati dari Fraksi Partai Gerindra menyatakan hal senada.
“Saya masih ingat kok tahun 2017 ibu – ibu AILA datang ke kantor saya untuk menyerahkan DIM (Daftar Inventaris Masalah). Nah bagaimana mau dilihat itu DIM-nya, Bu. Wong pembahasannya saja tidak pernah dilakukan. Kami ini mau diskusi, mau mendengar aspirasi masyarakat. Tapi bagaimana mau diskusi jika pembahasannya saja tidak pernah dilakukan. Ini kan bikin pusing. Makanya, kami menyarankan untuk carry over saja ke periode berikutnya,” sebutnya.
Baca: Banyak yang Ingatkan Panja RUU P-KS Tak Buka Ruang Kebebasan Seks
Setelah mendengar pendapat dari kedua belah pihak, rapat dengan Komisi VIII DPR RI pun dibubarkan. AILA Indonesia bersama perwakilan ormas pemuda kembali ke depan gerbang MPR/DPR untuk bicara di hadapan massa.
Dalam orasinya Rita Soebagio menyatakan, “Bagaimana mungkin sebuah RUU akan disahkan jika tidak melalui pembahasan. Padahal sebuah undang-undang haruslah lahir dari sebuah pembahasan yang komprehensif.”
Selain itu, menanggapi berita yang tersebar di media Kamis (19/09/2019), AILA pun mempertanyakan inkonsistensi Komisi VIII. Diketahui, Ketua Panja Komisi VIII untuk RUU P-KS yaitu Marwan Dasopang diwarta media online nasional, Kamis (19/09/2019) mengatakan RUU P-KS akan tuntas dalam waktu tiga hari.
“Mengapa bisa berbeda pernyataannya? Pernyataan di dalam ruang rapat Komisi VIII telah dicatat dalam sejarah. Namun ternyata pernyataan ini berbeda dengan yang tersebar di media. Kami mempertanyakan, apakah telah terjadi pembahasan – pembahasan dengan pihak tertentu di luar Senayan?” ungkapnya.
Rita pun menegaskan, “Bagaimana bisa sebuah perundangan selesai dalam waktu tiga hari tanpa melalui tahapan pembahasan sebagaimana yang disebutkan oleh anggota panja lainnya.”*