Hidayatullah.com– Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono mengatakan, berdasarkan hasil riset pihaknya, banyak dimensi yang menunjukkan bahwa telah terjadi krisis agraria di Indonesia.
Seperti, tutur Yusuf, adanya ketimpangan struktur kepemilikan tanah yang sangat tajam, konflik agraria yang masif dan persisten, serta laku kerusakan ekologis yang semakin cepat dan luas.
Kemudian, tambahnya, adanya alih fungsi lahan pertanian dan yang tidak terkendali, serta besarnya kasus kemiskinan yang berasosiasi dengan ketiadaan lahan produktif bagi masyarakat kelas bawah.
“Undang-Undang Agraria No 5/1960 menjelaskan populisme, dimana hak milik individu diakui namun harus memilki fungsi sosial. Dengan prinsip ini, penggunaan hak atas tanah tidak dibenarkan semata-mata untuk kepentingan pribadi, terlebih dengan merugikan masyarakat. Setiap kepentingan tanah dibebani kepentingan umum, maka politik agraria harus mengedepankan asas produktivitas tanah, kelesatrian tanah, dan kepemilikan tanah yang merata,” kata Yusuf dalam acara diskusi pemaparan riset yang bertajuk “Tanah Untuk Rakyat, Utopia Reformasi Agraria” di Jakarta, Selasa (15/10/2019).
Selain itu, amanah dalam UU Agraria itu bahwa setiap keluarga petani memiliki tanah pertanian dengan luas minimum 2 hektare. Namun pada realisasinya hingga kini, tambahnya, amanat tersebut gagal dilaksanakan. Tercatat, terangnya, pada tahun 2018 dari 27,7 juta Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP), 89,1 persen di antaranya hanya memiliki lahan pertanian kurang dari 2 hektare.
Baca: IDEAS: RUU Pertanahan Banyak Melanggar Prinsip UU Agraria
Peneliti Ideas, Meli Triana Dewi memaparkan, pada tahun 2018, ada 58,7 persen dari RTUP yang hanya memiliki lahan pertanian kurang dari 0,5 hektare, petani gurem ini tersebar di berbagai penjuru negeri.
“Kantong petani gurem terkonsentrasi di Jawa dimana sebagian besar RTUP berada. Daerah dengan presentase petani gurem yang sangat tinggi ada di Papua yang didominasi pertanian palawijaya dan holtikultura. Adapun di Jawa yang didominasi oleh pertanian tanaman padi. Sedangkan pertanian gurem yang rendah banyak ditemui di Sumatera yang didominasi perkebunan,” jelas .
“Ironisnya petani gurem ini terkonsentrasi justru di daerah sentra padi, terutama di Jawa, seperti Tasik, Bojonegoro, dan Indramayu,” tambahnya.
Untuk diketahui, istilah gurem merujuk pada binatang kecil yang keberadaannya nyaris tidak diperhitungkan manusia. Maka, petani gurem dapat digambarkan sebagai sosok petani kecil yang mencoba bertahan hidup dalam keterbatasan.
Yusuf mengatakan, di samping itu, hak atas tanah untuk tempat tinggal juga menjadi masalah serius. Masyarakat di Indonesia masih sangat banyak yang tinggal hanya di atas tanah kurang dari 8 m. Padahal dalam Undang-Undang Dasar 1945, konstitusi menetapkan bahwa setiap warga negara berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah (pasal 28B ayat 1). Serta berhak hidup layak lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta memperoleh pelayanan kesehatan (pasal 28H ayat 1).
Nyatanya, kata dia, hingga tahun 2010, dari 61,2 juta rumah tangga, masih terdapat 17,5 persen rumah tangga yang luas lantai tempat tinggal per kapitanya kurang dari 8 meter. Di saat yang sama, masih terdapat 6,8 persen rumah tangga yang luas lantai tempat tinggalnya kurang dari 20 meter. Rumah sempit keluarga miskin ini banyak ditemui di kawasan timur seperti Papua, serta kawasan padat penduduk perkotaan, termasuk Jakarta.
Terakhir, menurut Yusuf, program land reform (revolusi pertanahan) harusnya tepat sasaran agar memiliki dampak langsung yang signifikan pada penurunan kemiskinan. Petani miskin yang mendapat tanah pertanian serta dibantu biaya produksi yang memadai, dengan begitu kemiskinan yang ada pada petani akan hilang.
Sependapat dengan Yusuf, Meli juga menyampaikan hal serupa agar pemerintah seharusnya mengambil kebijakan utama dalam mempertahankan dan mengembangkan skala kecil di Jawa yang harus difasilitasi dengan kebijakan revolusi pertahanan.
“Arah kebijakan ini tidak hanya akan menjamin ketahanan pangan nasional, namun juga akan menurunkan kemiskinan dan kesenjangan secara mengesankan,” tutup Meli.
Ideas juga mengkritikRancangan Undang-Undang Pertanahan yang sebelumnya pada bulan September lalu secara cepat DPR menyelesaikannya dan nyaris disahkan pada periode lalu.
RUU ini memang merupakan inisiatif DPR Sejak tahun 2005. Akan tetapi RUU tersebut ternyata baru dibahas secara serius pada Agustus 2019 dan diklaim akan melengkapi UU pokok yaitu UU No 5 Tahun 1960 tentang Agraria.
“RUU Pertanahan yang kemarin itu nyaris lolos di DPR itu merupakan sebuah ironi besar bagi cita-cita besar bangsa ini yaitu melaksanakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, ini cita besar sejak lama didorong oleh pendiri bangsa kita itu termaktup dalam Undang-Undang Agraria Tahun 1960,” ujar Yusuf.* Azim Arrasyid