Hidayatullah.com- Ekonomi Indonesia hingga saat masih tertinggal bahkan dilampaui oleh sejumlah negara ASEAN. Pada tahun 1958, pemerintah pernah menerbitkan Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia, tapi sayangnya hal itu dinilai tetap tidak membuahkan hasil signifikan.
Dalam pandangan Presiden Indonesian Islamic Business Forum (IIBF), Heppy Trenggono, nasionalisasi aset justru hanya membuat bangsa ini melakukan pengulangan sejarah. Menurut Heppy, pembangunan ekonomi seharusnya dimulai dari pembangunan karakter atau mentalitas manusianya.
Ia menilai, membangun ekonomi anak bangsa tidak dengan menasionalisasi aset, melainkan dengan melakukan pembelaan yang kuat dan terang terangan (affirmative action) terhadap kedaulatan ekonomi Indonesia.
“Berbicara pembangunan ekonomi, kalau dugaan saya, jika terjadi nasionalisasi, hari ini kekayaan itu akan kembali kepada titik ketika pertama kali kita nasionalisasi,” ujarnya sebagai salah satu narasumber pada Webinar Series 03 Pra Munas V Hidayatullah bertajuk “Mencetak 10.000 Wirausahawan Mandiri dan Berdaya Guna”, Sabtu (27/09/2020).
Founder dan CEO United Balimuda Group memperhatikan negara tetangga, Malaysia, yang membangun ekonomi mereka sangat berani melakukan affirmative action. “Affirmative action ini adalah sesuatu yang luar biasa, yang, menurut saya, juga lazim digunakan di manapun. Kita tahu, China juga afirmatif. Amerika, Jepang apalagi,” sebutnya.
Namun demikian, Heppy menilai affirmative action sebenarnya tiak sempurna jika datangnya cuma satu arah dari kebijakan pemerintah. Sehingga, kata Heppy, kita harus kembali kepada teori dasar dalam membangun ekonomi. “Jadi konsep dasar membangun ekonomi, membangun kesejahteraan, membangun kekayaan, itu sebetulnya yang dibangun pertama kali adalah mentalitas atau karakter,” jelasnya.
Menurut Heppy, sejumlah negara lain juga punya karakter pembelaan itu yang kemudian menjadi karakter ideologi ekonomi mereka, misalnya Jepang. Happy menganggap bahwa Jepang membangun dengan luar biasa dan begitu bangganya menggunakan produknya sendiri.
“Saya pernah di sana di salah satu hotel, saya menemukan tulisan “beras yang kami gunakan kami jamin adalah beras produksi Jepang”. Artinya, dia merasa akan diadili orang kalau dia menggunakan beras dari tempat lain,” ujarnya.
Baca: Masalah Utama Perekonomian Bangsa: Karakter Masyarakat dan Pemimpin
Ada kisah lain terkait kebanggaan kepada produk sendiri ini yang dituturkan Heppy pada webinar yang digelar panitia Munas V Hidayatullah itu.
Tuturnya, ia pernah ke Amerika dan bersama istrinya mendatangi satu kompleks bernama Beverly Wilshire. Keduanya hendak membeli jajanan, lalu masuk ke salah satu minimarket cukup besar. Saat sampai di kasir, istrinya menyampaikan bahwa ternyata barang yang mereka beli produksi ‘Israel’. Akhirnya, keduanya mencoba cari lagi yang lain.
“Rupanya satu toko itu produk Israel semua. Saya baru menyadari bahwa yang datang ke situ adalah orang-orang Yahudi. Dulu, saya pernah diceritain, kalau orang Yahudi naik taksi, kalau pengemudinya bukan dari kalangan mereka, dia gak akan naik. Saya pikir itu cerita,” tuturnya.
Ada cerita lain pula, katanya, kalau ada anak bayi nangis, jika belum ketemu susu produk ‘Israel’, tidak dikasih susu walaupun nangis. “Itu saya pikir hanya cerita. Tapi dengan melihat begitu, saya baru tahu,” ujarnya.
Heppy pun mengaku, kisah-kisah itu di antara pendorong dirinya menginisiasi sebuah gerakan bernama Beli Indonesia. Gerakan ini sebagai upaya membangun kekuatan ekonomi bangsa menjadi gerakan seluruh anak Indonesia, untuk mewujudkan dan membangun kesadaran masyarakat mencintai produk lokal.
“Jadi intinya, bagaimana kita membangun karakter. Nah, membangun karakter ini tidak diartikan dalam konteks yang sangat rumit. Tetapi dalam hari hari kita, bentuk pembelaan ini harus kita bangun,” ujar Heppy.
Pada webinar itu Heppy juga mengaku sering menyampaikan masalah terkait pembangunan karakter dalam ekonomi tersebut. Tetapi menurutnya sangat sulit dipahami, sebab di negeri ini tidak menganut pembangunan karakter ini.
Baca: “Ada 70 Undang-Undang tidak Memihak Kepentingan Nasional”
Heppy menilai, pembangunan mentalitas ini selaras dengan sinyalir dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang mengatakan, tidaklah orang itu disebut orang kaya karena hartanya. Orang itu disebut kaya karena jiwanya.
Heppy menilai masalah ini sangat sederhana. Sehingga, kalau seandainya kekayaan itu dikumpulkan dan dibagi rata oleh seluruh penduduk Indonesia, maka pada kurun waktu 10-20 tahun itu keadaannya akan kembali seperti ini.
“Yang miskin tetap miskin, yang ngumpulin duit banyak semakin banyak. Kenapa? Karena tidak terjadi pembangunan karakter itu, Dan, repotnya, karakter itu tidak terbangun di pusat kekuasaan. Kita hari ini semakin jauh dari logika pembangunan karakter ini,” ungkapnya yang mengisi webinar dengan penuh semangat.
Webinar via Youtube Hidayatullah.Id yang disaksikan hampir 700 penyimak ini juga menghadirkan narasumber Dewan Penasihat Aosiasi Pengusaha Hidayatullah (APHIDA), Asih Subagyo, serta dipandu oleh Musliadi Raja, juga pengusaha kuliner di Depok, Jawa Barat. Untuk diketahui, Hidayatullah akan menggelar Musyawarah Nasional V pada 29-31 Oktober 2020 secara virtual dan berpusat di Depok.* (Ainuddin)