Hidayatullah.com | ADA ungkapan menarik dari Kiai AbdullahSaid, sang pendiri Hidayatullah, yang dikutip oleh Ustadad Hasyim HS, juga salah satu pendiri Hidayatullah, saat memberi tausiyah subuh pada acara Sarasehan Pendiri dan Perintis Hidayatullah, 11 Juni 2015, di Batam, Kepulauan Riau.
“Kader Hidayatullah harus kerja ‘gila’!” kata Ustad Hasyim.
Ungkapan seperti ini tak hanya sekali diucapkan oleh Kiai AbdullahSaid, namun berkali-kali dalam berbagai kesempatan. Kerja gila? Ya! “Itulah totalitas dalam berdakwah,” jelas Ustad Hasyim.
Ustadad Abdurrahman Muhammad, sahabat dekat Kiai AbdullahSaid, punya cerita lain soal “kegilaan” para kader Hidayatullah. Kisah ini ia ceritakan dalam sebuah majelis yang dihadiri para tetua Hidayatullah pada Oktober 2012 di Gunung Tembak, Kalimantan Timur.
Suatu ketika di awal perintisan Kampus Hidayatullah Gunung Tembak, cerita Ustad Abdurrahman yang kini menerima amanah sebagai Pemimpin Umum Hidayatullah, Ustadadz Abdullah Said mengumpulkan sejumlah santri muda. Sebenarnya, mereka bukanlah santri-santri pilihan. Mereka tak memiliki banyak keahlian, juga tak terlalu menguasai ilmu-ilmu agama. Mereka hanya santri-santri biasa.
Namun, yang membuat mereka luar biasa adalah keberanian memikul amanah yang rasanya tak akan sanggup bila dipikul anak muda kebanyakan. Yakni, membuka kampus Hidayatullah di Papua, wilayah paling timur Indonesia.
Sekelompok anak muda ini berangkat dengan bekal seadaanya. Uang yang dibawa hanya cukup untuk perjalanan hingga ke atas kapal penyeberangan. Selebihnya, mereka dipersilahkan berikhtiar sendiri seraya selalu berharap pertolongan dari Allah Ta’ala.
Setibanya di Papua, cerita Ustad Abdurrahman lagi, para santri tersebut harus memanggul sendiri bahan-bahan bangunan yang kelak akan dipakai untuk membangun kampus, melewati belantara berjarak puluhan kilometer.
Jika ada persoalan berat yang sulit sekali dipikul, para santri ini diminta mengadukan seluruh persoalan mereka kepada Allah Ta’ala lewat shalat malam. “Mengadulah kepada Allah lewat rukuk dan sujud yang lama,” ucap Ustad Abdurrahman menirukan nasehat sahabatnya Kiai AbdullahSaid kepada para santri tersebut.
Bertahun-tahun kemudian sekelompok anak muda ini telah berhasil mendirikan Kampus Hidayatullah di tanah Papua. Namun, tugas belumlah selesai. Sebagian dari mereka kembali ditugaskan membuka kampus-kampus baru di daerah lain. Bukan di timur, tapi di barat, tepatnya di sebelah utara Pulau Sumatera.
“Beginilah kader-kader Ustadadz Abdullah Said digembleng. Mereka bukan dai biasa. Mereka dai pejuang. Kita semua adalah kader beliau. Kita adalah buah dari kiprah beliau,” jelas Ustadadz Abdurrahman di hadapan para tetua Hidayatullah.
Apa yang dikisahkan oleh Ustad Abdurrahman Muhammad ini diamini oleh Ustad Anshor Amiruddin, kader senior Hidayatullah dalam acara Sarasehan Pendiri dan Perintis Hidayatullah 11 Juni 2015 di Batam, Kepulauan Riau.
“Saat itu, tidak ada rasa takut pada diri kader ketika ditugaskan ke mana saja. Sebab, Allahuyarham Kiai AbdullahSaid selalu berkata ‘Allah yang di Gunung Tembak sama dengan Allah yang ada di tempat tugas yang baru. Jadi, mintalah pertolongan kepada Allah sebagaimana kita di Gunung Tembak juga meminta pertolongan kepada Allah’,” kata Ustad Anshor yang pada AgUstadus 2020 lalu telah dipanggil oleh Allah Ta’ala.
Hal senada juga diutarakan oleh Ustad Sarbini Nasir, di acara Sarasehan Pendiri dan Perintis Hidayatullah. “Sejak awal perintisan kita telah didik untuk berani tampil. Saya yang dulu masih bodoh tak takut berceramah meskipun penguasaan ilmu agama saya terbatas. Sampai-sampai, ketika diminta berceramah di atas kapal (penyeberangan), saya salah menyebutkan lafaz intansurullah yansurkum. Saya sebut intansurkum,” cerita Ustad Sarbini seraya tertawa mengenang masa lalunya.
Lain lagi cerita Ustad Yusuf Suraji, kader senior Hidayatullah, di acara yang sama. “Saya pernah dipanggil Kiai AbdullahSaid, disuruh menikah. Alasannya, karena saya gagah. Jadi, kata beliau, berbahaya jika tidak segera menikah. Padahal banyak Ustadad yang lebih gagah dari saya,” kata Ustad Yusuf.
Mendapati Ustad Yusuf masih terlihat ragu, Kiai AbdullahSaid kembali berkata, “Sudah saya buatkan SK-nya.”
Ustad Yusuf yang berperawakan tinggi besar dan murah senyum itu merasa heran dan bertanya, “Apa itu SK, Ustadad?”
“Surat Keputusan,” kata Kiai AbdullahSaid singkat.
“Bayangkan, menikah saja pakai SK. Saya tentu tak bisa menolak,” cerita Ustad Yusuf sambil tersenyum.
Ustad Yusuf melanjutkan ceritanya ketika ia ditugaskan oleh Kiai AbdullahSaid untuk berdakwah dan membuka kampus Hidayatullah di Papua. “Uang dikasih hanya Rp 25 ribu. Mana cukup? Tapi saya berangkat juga,” kata Ustad Yusuf.
Di Papua, Ustad Yusuf sempat diminta menjadi juri Musabaqoh tilawatil Qur’an (MTQ). Padahal, ketika itu, ia belum lancar mengaji. Ia juga diminta mengisi ceramah di depan anggota Muspida (Musyawarah Pimpinan daerah). Lagi-lagi, dengan segala keterbatasannya, Ustad Yusuf menerima permintaan itu. “Bilal itu kulitnya hitam. Semua hitam, kecuali giginya saja yang putih,” cerita Yusuf menirukan materi ceramahnya dulu.
Ustad Yusuf lupa kalau orang-orang Papua juga berkulit hitam. Rupanya, seorang Bupati yang ikut mendengar ceramah Ustad Yusuf merasa tersinggung. Untunglah Ustad Yusuf menyadari kekeliruannya dan segera meminta maaf.
Kisah yang lebih menegangkan dialami oleh Ustad Sabaruddin, salah seorang kader Hidayatullah yang ditugaskan membuka kampus baru di Wemena, Papua, pada tahun 2000. “Nyawa saya hampir melayang,” cerita Ustad Sabar, panggilan akrabnya, saat ditemui penulis pada akhir tahun 2002 .
Ketika itu, kata Ustad Sabar, ia dan beberapa keluarga Muslim dikepung di sebuah masjid. Para pengepung banyak sekali. Mereka menari-nari sambil memegang parang, tombak, dan panah. Mereka hanya berpakain koteka.
Ustad Sabar hanya bisa mengintip dari balik mimbar. Mau melawan, jelas tidak mungkin. Keluarga Muslim yang berada di masjid itu kebanyakan ibu-ibu dan anak-anak.
Di saat genting seperti itu, Ustad Sabar berdoa sangat khusuk kepada Allah Ta’ala. Muncullah perasaan berani dan yakin akan pertolongan Allah Ta’ala. Lalu, ia kumpulkan ibu-ibu dan anak-anak yang bersembunyi di masjid tersebut, dan ia ajak berjalan pelan mengikutinya dari belakang.
Sepanjang perjalanan, Ustad Sabar tak henti-hentinya membaca surat Yasin ayat 8, mengharap pertolongan Allah Ta’ala. Ajaib! Para pengepungnya sama sekali tak melihat kalau Ustad Sabar dan rombongan telah berjalan melewati mereka. “Kami berjalan tenang, padahal jarak kami hanya 3 meter saja. Allah telah membutakan mata mereka,” jelas Ustad Sabar.
Setelah jauh, barulah para pengepung menyadari kalau buruannya telah kabur. Mereka marah dan membakar masjid tempat Ustad Sabar tadi bersembunyi. Ustad Sabar baru tahu kalau masjid itu dibakar setelah beberapa hari kemudian.
Cerita-cerita seperti ini banyak sekali tersimpan dalam memori para kader Hidayatullah yang ditugaskan berdakwah di wilayah-wilayah terpencil. Mereka berani menerima tantangan dengan segala keterbatasan. Mereka amat yakin dengan pertolongan Allah Ta’ala. Mereka rela memilih jalan yang tak banyak dipilih orang.
Ketika mereka dihadapkan masalah, mereka segera menengadahkan tangan, meminta tolong kepada Allah. “Ya Allah, bantulah kami … ya Allah, bantulah kami,” suara rintihan mereka.
Rupanya, keberanian dan keyakinan seperti ini telah mengundang pertolongan Allah Ta’ala kepada mereka. Buah dari segala pengorbanan tersebut telah mereka rasakan sekarang.
Kini, mereka bisa tersenyum senang melihat Hidayatullah telah ada di lebih dari 370 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Sesuatu yang dulu tak pernah terbayangkan oleh mereka, juga oleh Kiai AbdullahSaid.
Ustad Hasyim, salah seorang pendiri Hidayatullah, mengutip kembali perkataan Kiai AbdullahSaid yang selalu terngiang-ngiang di telinga para kader. “Tampilah ke gelanggang, walau seorang.” * (Bersambung)