Hidayatullah.com — Pendiri Drone Emprit sekaligus analis media sosial Ismail Fahmi menyebut bahwa fenomena pendengung (buzzer) di Indonesia belakangan telah berubah menjadi profesi. Hal itu ia sampaikan saat mengisi forum webinar bertajuk “Fenomena Buzzer dan Akun Bot di Tengah Proses Demokratisasi Indonesia”.
Melansir laman resmi Muhammadiyah.or.id, Kamis (30/09/2021), Fahmi membawakan data riset yang telah dilakukan sejak tahun 2014.
Di forum itu Fahmi menyatakan jika umumnya buzzer digunakan oleh para aktor politik untuk memanipulasi atau mempersuasi masyarakat awam, kini fenomena buzzer muncul dalam berbagai isu di luar politik. “Sekarang tiap bahas pinjol (pinjaman online), itu ada buzzernya,” kata Fahmi memberi contoh.
Para buzzer sendiri menurut Fahmi sebagian besar adalah otomatisasi dari algoritma komputer. Tetapi, mereka juga memiliki tokoh-tokoh utama yang tampil sebagai influencer atau pengangkut opini yang kemudian disebar oleh akun bot secara terkoordinir.
Lebih lanjut, Fahmi mengatakan bahaya buzzer selain memanipulasi nilai kebenaran menjadi sesuatu yang subjektif adalah pola yang digunakan untuk menghajar sasaran mereka lewat trolling (pelecehan), kampanye hitam, hingga mempolarisasi masyarakat.
Dalam konteks politik di Indonesia, jasa buzzer telah digunakan oleh setiap pihak politik. Kedua-duanya menggunakan cara yang sama berbahayanya bagi kesehatan demokrasi.
“Kesimpulannya, ada upaya disinforrmasi yang itu sudah diindustrialisasikan dan semakin lama semakin profesional,” ungkap Fahmi.
Dengan begitu, Fahmi berharap pemerintah meningkatkan perangkat hukum yang memadai untuk menangkal fenomena pendengung. UU ITE hingga metode internet throttling (pembatasan akses) menurutnya belum sepenuhnya efektif.
Kepada masyarakat, Fahmi menyarankan agar usaha literasi diperkuat, baik melalui peningkatan riset, multi fact checking, ekspos kepada publik, hingga edukasi sebagai bentuk mementahkan fitnah yang diakibatkan.
“Ini masalah internasional dan (pendengung) sudah jadi industri dengan cara yang makin efektif,” tukasnya.*