Hidayatullah.com– Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas baru saja mengukuhkan sembilan kiai sebagai Majelis Masyayikh. Mereka dikukuhkan dalam rangka menyelenggarakan penjaminan mutu pendidikan pesantren untuk masa khidmah lima tahun ke depan.
Pengukuhan ini menuai sorotan dari berbagai pihak. Terkait sorotan itu, Kementerian Agama (Kemenag) menyampaikan klarifikasinya.
Menurut Dirjen Pendidikan Islam Kemenag, Muhammad Ali Ramdhani, pengukuhan Majelis Masyayikh ini dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri Agama No 31 tahun 2020 tentang Pendidikan Pesantren. Dalam pasal 69 diatur bahwa Majelis Masyayikh ditetapkan oleh Menteri Agama dengan jumlah minimal sembilan orang dan maksimal 17 orang. Anggota Majelis Masyayikh juga harus merepresentasikan rumpun agama Islam.
“Penetapan Majelis Masyayikh diatur dalam PMA menjadi kewenangan Menteri Agama,” tegas Ali Ramdhani di Jakarta, Jumat (31/12/2021) dalam siaran pers Kemenag diterima hidayatullah.com.
Menurut Dhani, sapaannya, calon anggota Majelis Masyayikh dipilih oleh Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA) yang beranggotakan sembilan orang dari satu unsur pemerintah dan delapan asosiasi pesantren. Unsur AHWA dari pemerintah ditunjuk Menteri Agama. Unsur AHWA dari unsur asosiasi pesantren berasal Dewan Masyayikh dan asosiasi pesantren berskala nasional dengan memperhatikan jumlah keanggotaan pesantren secara proporsional.
“AHWA juga ditetapkan oleh Menteri Agama berdasarkan usulan dari Dirjen Pendidikan Islam,” sebut Dhani.
Selanjutnya, kata Dhani, AHWA memilih Majelis Masyayikh dengan kriteria memiliki komitmen kebangsaan, memiliki integritas, sehat jasmani dan rohani, memiliki pengetahuan dan/atau pengalaman terkait pendidikan pesantren, memiliki keahlian dalam bidang keilmuan agama Islam, berusia paling rendah 40 tahun saat dipilih, bukan pengurus partai, dan bukan anggota AHWA.
“AHWA kemudian menetapkan bakal calon anggota Majelis Masyayikh berdasarkan prinsip proporsionalitas dan representasi rumpun ilmu agama Islam,” terang Dhani.
Rumpun ilmu agama Islam mencakup Al-Qur’an dan ilmu Al-Qur’an, Tafsir dan Ilmu Tafsir, Hadis dan Ilmu Hadis, Fikih dan Ushul Fikih, Akidah dan Filsafat Islam, Tasawuf dan Tarekat, Ilmu Falak, Sejarah dan Peradaban Islam, serta Bahasa dan Sastra Arab.
AHWA, sambung Dhani, selanjutnya menyampaikan calon anggota Majelis Masyayikh kepada Menteri Agama. Dalam ayat (6) pasal 75 diatur bahwa menteri menetapkan calon anggota Majelis Masyayikh dengan Keputusan Menteri.
“AHWA kemarin mengusulkan 21 nama. Sesuai Pasal 69 ayat (3), Menteri Agama kemudian memilih sembilan nama untuk ditetapkan sebagai Majelis Masyayikh,” tegasnya.
“Jadi penetapan Majelis Masyayikh itu sudah sesuai dengan prosedur yang diatur dalam PMA No 31 Tahun 2020 tentang Pendidikan Pesantren,” tandasnya.
Kritik dari Pimpinan MPR
Sebelumnya, Anggota Komisi VIII DPR RI sekaligus Wakil Ketua MPR RI M Hidayat Nur Wahid mengkritisi penetapan anggota Majelis Masyayikh sesuai UU Pesantren oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, setelah proses pemilihan oleh Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA) yang juga pernah dikritisi publik.
Sikap kritis HNW -sapaan akrabnya- tersebut karena belum terpenuhinya asas representatif yang dapat mewakili 3 jenis pesantren yang diakui di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.
Padahal, menurutnya, hal tersebut sangat dipentingkan, apalagi ini sebagai bentukan awal, yang akan dirujuk dan menjadi pola untuk yang berikutnya. Karenanya mestinya hadirkan “sunnah hasanah” atau tradisi yang baik, benar, dan adil, dengan mengakomodasi secara proporsional representasi dari 3 jenis Pesantren yang diakui oleh Pasal 2 ayat (2) UU Pesantren, yakni Pesantren yang mengkaji kitab kuning (Tradisional), Pesantren dengan sistem Muallimin (Modern), dan Pesantren yang padukan antara Ilmu Umum dan Agama.
“Saya mengapresiasi dibentuknya Majlis Masyayikh, serta ditetapkannya para Kiai dan Nyai sebagai anggota Majelis Masyayikh. Namun, baru saja diumumkan, saya mendapatkan masalah yang juga merupakan aspirasi komunitas Pesantren yang mengkritisinya, karena bila diperhatikan komposisi Majelis Masyayikh yang terpilih, maka itu belum merepresentasikan tiga jenis pesantren yang diakui oleh UU Pesantren.
Karena kemungkinan baru mewakili 2 dari tiga jenis saja, yaitu Pesantren Salafiyah (yang mengkaji kitab kuning) dan Pesantren yang mengintegrasikan antara pendidikan Agama dengan pendidikan Umum, sementara yang jenis Muallimin (Modern), yang Pesantrennya juga besar dan banyak, malah belum terwakili sama sekali. Mestinya Majelis Masyayikh sesuai dengan prinsip Ahlul Halli wal ‘Aqdi, merepresentasikan secara adil dan proporsional semua jenis Pesantren yang diakui oleh UU Pesantren,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Kamis (30/12/2021).*
Baca juga: Penetapan Majelis Masyayikh Pesantren Tidak Proporsional dan Kurang Adil