Hidayatullah.com — Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf, baru-baru ini menyampaikan pandangan bahwa islamofobia tidak lahir karena tragedi WTC 11 September 2001. Islamofobia, menurutnya, hadir sejak lama karena perang yang “mengatasnamakan agama” ratusan tahun.
“Kenapa kita punya seperti ini (islamofobia)? Karena kita mewarisi sejarah dari konflik yang panjang sekali selama berabad-berabad antara dunia Islam melawan dunia non muslim. Misalnya, selama 700 tahun berkuasa, Turki Utsmani tidak berhenti sama sekali berkompetisi militer melawan kerajaan-kerjaan Kristen Eropa di Barat, ” ujarnya saat mengisi Webinar MUI bertema Turn Back Islamophobia, Rabu (30/03/2022).
Selain di dunia barat, Yahya menyebutkan, kerajaan Islam Mughal di India yang berperang dengan umat Hindu di India juga ikut andil. Semua kuil di India bagian utara saat ini, menurutnya, tidak ada yang berusia lebih dari 200 tahun. Sebab, ujar Yahya, semasa zaman kerajaan Mughul, semua kuil dihancurkan.
Yahya menyampaikan, akibat perang itu membekas sampai menjadi wacana di masing-masing pihak.
“Kalau di kalangan Islam ada istilah Islamofobia. Di kalangan non-muslim ada kekhawatiran sama yang dia sebut kafirofobia. Pemahaman seperti ini seperti mengendap dan tumbuh dalam wacana keagamaan masing-masing pihak,” ujarnya.
Tidak hanya pada masalah agama, menurut Yahya, corak berpikir masyarakat zaman ratusan tahun lalu adalah tentang kekuasaan dan wilayah. Adanya Agresi Militer Belanda pasca Indonesia merdeka, kata dia, juga membuktikan bahwa kesadaran wilayah itu belum muncul ketika itu.
Dibandingkan konflik yang sudah berjalan lama itu, menurut Yahya, wacana mencari jalan tengah baru muncul belum genap seratus tahun yang lalu. Kelahiran piagam PBB pada Juni 1945, ujarnya, menandai kesadaran berbagai bangsa untuk mewujudkan perdamaian bersama.
Yahya mengatakan, kelahirkan piagam PBB itu mewujudkan tata dunia baru yang modern dan lebih damai. Piagam PBB, katanya, memiliki dua komponen penting terkait perbatasan wilayah internasional dan nilai kemanusiaan yang universal (HAM).
“Sebetulnya, wacana toleransi dan moderasi merupakan sesuatu yang baru datang kemudian. Dulu dunia ini merupakan rimba persaingan antara identitas baik dalam wilayah agama, negara, maupun kerajaan yang membawa identitas masing-masing, ” ucapnya.
Yahya mengklaim, umat Islam bisa berperan mengurai sisa-sisa perang (Islamofobia) itu dengan cara beragama yang moderat. Ia menyampaikan, penyebutan kafir menjadi “tidak relevan dalam usaha untuk mencapai perdamaian itu”.
Tanpa cara beragama Islam yang moderat, menurutnya, dunia akan tetap diliputi ketakutan, kekhawatiran, serta menimbulkan Islamofobia.
“Syarat berlangsungnya toleransi yaitu kesetaraan hak dan martabat di antara sesama umat manusia. Perbedaan latar belakang identitas tidak boleh jadi alasan untuk mendiskriminasi kelompok yang berlawanan. Semua setara di depan hukum dan dalam nilai kemanusiaan universal,” ujarnya.
Dia menambahkan, menurutnya, mentalitas masyarakat saat ini terbentuk karena wacana keagamaan. Untuk itu, ia mengklaim, butuh konstekstualisasi agama kembali untuk menghapus permusuhan-permusuhan berbasis agama di tengah masyarakat.
“Upaya tersebut bisa dilakukan lebih lanjut yang kemudian disusul dengan sebuah strategi. Sehingga pola pikir umat yang cenderung masih memelihara permusuhan satu sama lain dapat dihapuskan, ” katanya.*