Hidayatullah.com—Baru-baru ini, Kementrian Agama (Kemenag) menjadi sorotan karena pemilihan rektor Universitas Islam Negeri (UIN) yang diduga melalui penunjukan langsung dari Menag. Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama (Kemenag) M Ali Ramdhani memberi jawaban terkait hal itu.
Ali Ramdhani memastikan pemilihan rektor di Perguruan Tinggi Keagamaan (PTK) Negeri yang merujuk pada Peraturan Menteri Agama No 68 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor dan Ketua pada PTK masih relevan untuk dilakukan.
“Saat ini sedang berjalan pemilihan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Prosesnya sudah memasuki fit and proper test yang dilakukan oleh Komisi Seleksi (Komsel). Sejauh ini, Kemenag menilai PMA No 68 Tahun 2015 masih relevan sehingga proses pemilihan tetap merujuk pada regulasi yang ada,” kata pria yang akrab disapa Dhani itu dalam keterangannya, Selasa (15/11/2022).
Dhani lantas menjelaskan PMA 68 Tahun 2015 mengatur bahwa pemilihan Rektor PTK dilakukan melalui tiga tahap utama. Pertama, penilaian administrasi dan kualitatif. Tahap ini dilaksanakan oleh senat PTK. Hasil dari proses yang berlangsung di senat, kemudian dikirim ke Kementerian Agama.
“Jadi pelibatan senat justru dilakukan sejak awal. Senat lah yang memberikan penilaian awal tentang kelayakan para calon rektor,” papar Dhani.
Tahap kedua adalah proses seleksi fit and proper test. Tahap ini dilakukan Komsel untuk menetapkan para calon yang sebelumnya diseleksi senat PTK dan ditetapkan masuk tiga besar. Hasil fit and proper test dari Komsel ini selanjutnya disampaikan ke Menteri Agama.
Komsel ini beranggotakan tujuh orang yang dinilai memiliki integritas, kapasitas, kapabilitas dan pengalaman menjadi pimpinan perguruan tinggi. Ada juga unsur birokrasi Kementerian Agama.
“Anggota Komsel rata-rata berasal dari kampus, dan seluruhnya adalah Guru Besar. Jadi Komsel tentu bukan orang sembarangan. Mereka diberi tanggung jawab untuk memilih tiga orang dari calon yang sebelumnya diseleksi Senat PTK,” kata dia.
Tahap terakhir, Menteri Agama lantas memilih satu dari tiga nama yang diusulkan Komsel. Dhani menjelaskan dalam rantai pemilihan rektor, PMA 68/2015 menempatkan Menteri Agama pada ujung proses.
“Seleksi awal dilakukan Senat PTK, lalu diuji Komsel, baru pada akhir proses, Menteri Agama diberi kewenangan menetapkan satu dari tiga pilihan Komsel,” kata dia.
Lebih lanjut Dhani berharap mekanisme seperti demikian diharapkan dapat meminimalisasi potensi politisasi dalam proses pemilihan rektor.
Ia mengatakan dalam beberapa tahun terakhir, seringkali terjadi politisasi dalam pemilihan rektor. Bahkan, tidak jarang hal itu memunculkan lubang perpecahan. Padahal, kampus adalah lembaga akademik, bukan lembaga politik.
“Saya melihat PMA 68/2015 dalam semangat mengembalikan kampus sebagai civitas akademika, bukan civitas politika,” tegasnya.
Dhani juga menjelaskan bahwa seleksi fit and proper test calon Rektor UIN Jakarta akan dilaksanakan di kawasan BSD, Tangerang. Sebelumnya, dikabarkan proses tersebut akan berlangsung di Surabaya.
Terkait masukan dari sejumlah pihak tentang PMA 68/2015, Dhani memberikan apresiasi. Dia berharap masukan itu dapat disampaikan secara akademik, berbasis data dan kajian, serta jauh dari prasangka.
“Beragam masukan kita terima. Sebagai regulasi, PMA 68/2015 terbuka untuk dikaji. Tapi mohon hal tersebut dilakukan secara akademik,” ucap Dhani.
Sebelumnya Guru Besar Ilmu Politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Saiful Mujani mengkritik prosedur pemilihan rektor UIN yang ditentukan oleh menteri agama seorang diri sebagai cara jahiliah.
“Mau-maunya menteri aja mau milih siapa. UIN dan senat universitas tidak punya suara. Ini seperti lembaga jahiliah,” kata Saiful dalam akun Twitternya @saiful_mujani.*