Hidayatullah.com—Dosen perlindungan konsumen Universitas Airlangga (UNAIR) Dian Purnama Anugerah SH MKn LLM mengatakan bahwa penyematan logo halal terhadap produk yang belum bersertifikasi halal dapat menjadi masalah.
Pernyataan ini disampaikan terkait aduan banyak Netizen yang menemukan adanya gerai Mixue memasang logo halal, padahal, produk tersebut belum memiliki sertifikat halal.
Ia menerangkan, dalam UU Perlindungan Konsumen tidak ada UU spesifik yang mengatur label halal. Namun, berdasarkan UU Pasal 4A tentang Hak dan Kewajiban Konsumen, disebutkan bahwa konsumen memiliki hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa.
“Penyematan logo halal itu berbicara tentang bagaimana konsumen umat muslim dapat mengonsumsi barang atau jasa secara aman dan nyaman. Konsumen muslim tidak akan aman dan nyaman kalau kemudian mengonsumsi produk yang tidak halal. Makanya di Pasal 4A diatur mengenai hak atas kenyaman, keamanan, dan keselamatan mengonsumsi barang atau jasa,” ujarnya dikutip laman resmi Unair.
Selain itu, lanjut Dian, penyematan logo halal juga harus memperhatikan amanat UU Pasal 4C tentang Hak dan Kewajiban Konsumen yang menyatakan bahwa konsumen memiliki hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
“Ketika logo halal disematkan pada suatu produk, berarti produk itu harus benar-benar halal. Dalam hal ini, pelaku usaha jangan memberikan informasi yang tidak benar. Hal ini akan berkorelasi dengan pasal 4A. Ini mengelabui konsumen, hak atas kenyamanan dan keamanannya tidak terpenuhi. Jadi, harus dimaknai logo halal itu suatu informasi mengenai kehalalan suatu produk,” ungkapnya.
Halal dan tayib
Dosen Fakultas Hukum UNAIR itu menyampaikan bahwa proses sertifikasi halal memerlukan pemeriksaan yang tidak hanya subscene atau halal, tetapi juga cara atau proses pembuatan. Oleh karena itu, halal akan selalu bersamaan dengan tayib. Jika bahannya halal, tetapi prosesnya tidak tayib, maka sertifikasi halal tidak dapat dikeluarkan.
“Kalau kita lihat, bahan baku Mixue dan pabriknya ada di Tiongkok sana. Inilah yang menjadi problem menurut saya. Lembaga pemeriksa halal secara otomatis tidak hanya memeriksa bahan baku, tapi juga bagaimana bahan baku itu diproduksi di negara asalnya,” ucap Dian.
Kemudian, Dian menegaskan bahwa produk yang tidak memiliki logo halal bukan berarti produk tersebut menjadi tidak halal. Meskipun Pasal 4 pada UU No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal menyatakan produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.
Akan tetapi, dalam prosesnya terdapat ketentuan peralihan yang tercantum dalam UU Pasal 67 ayat 1 tentang Jaminan Produk Halal yang mengatur terkait kapan berlakunya kewajiban status halal tersebut.
“Kewajiban bersertifikat halal itu lima tahun terhitung sejak UU JPH (Jaminan Produk Halal, Red) diundangkan. Kalau UU itu diundangkan 17 Oktober 2014, maka kewajibannya itu mulai 17 Oktober 2019. Pada saat itu keluar PP No 39 Tahun 2021, yang mana pada Pasal 139 ayat 1 menyebutkan kewajiban bersertifikasi halal dilakukan secara bertahap,” ucapnya.
Berdasarkan UU tersebut, pemerintah memberikan waktu kepada para pelaku usaha untuk memenuhi sertifikasi halal. Untuk kategori makanan dan minuman, dimulai dari 17 Oktober 2019 sampai 17 Oktober 2024. Sehingga, setelah 17 Oktober 2024, semua makanan dan minuman sebelum diedarkan harus memiliki label halal sesuai amanat UU.
Dengan demikian, sambung Dian, aturan tersebut berimplikasi terhadap produk-produk yang beredar saat ini. Oleh karena sekarang belum berlaku kewajiban itu, maka produk yang belum bersertifikasi halal boleh diperdagangkan dan diedarkan dengan syarat tidak menyematkan logo halal.
“Jangan sampai miss, produk Mixue tidak ada logo halal, maka tidak boleh diperdagangkan. UU memberikan kelonggaran di ketentuan peralihan dan PP tadi terkait dengan tahapan. Bagaimana selain produk lainnya selain makanan dan minuman, jangkanya macam-macam,” jelas Dian.
“Ini normanya wajib, tapi gak bisa langsung serta merta langsung wajib semua karena UU itu kemudian menciptakan salah satu institusi baru yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BJPH). Dulunya gak ada, pasti ke MUI, tapi sekarang pemerintah menciptakan BPJH yang memberikan kelonggaran dan batas waktu,” pungkasnya.
Mutual recognition agreement
Lebih jauh, Dian mendorong agar pemerintah Indonesia memiliki mutual recognition agreement (kesepakatan pengakuan bersama) untuk proses sertifikasi halal produk impor seiring dengan era globalisasi.
Jika sebuah produk impor sudah terjamin halal oleh lembaga berwenang di negara asalnya, maka produk tersebut tidak perlu proses lagi untuk mendapatkan sertifikasi halal di negara ekspornya.
“Saya tidak tahu apakah Indonesia punya MoU mutual recognition dengan China. Apakah di sana punya lembaga semacam MUI atau lembaga sertifikasi halal yang diakui pemerintah kita. Kalau itu ada, kemudian dilakukan MoU, masalah-masalah seperti ini akan lebih cepat untuk pengeluaran sertifikasi halal,” ujar Dian.
Sebelumnya, Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama M. Aqil Irham mengingatkan pihak Mixue tidak memasang logo halal sebelum sertifikasi halalnya keluar.
Menurut Irham, logo dan label Halal Indonesia hanya boleh dipasang pada produk yang memiliki sertifikat halal. “Logo dan label halal baru bisa dipasang jika suatu produk sudah bersertifikat halal. Saat ini, Mixue belum punya sertifikat halal, jadi jangan pasang logo Halal Indonesia di gerainya,” tegas Aqil Irham, di Jakarta, Senin (2/1/2023).
Menurut Aqil, data Sistem Informasi Halal (SiHalal), Mixue mengajukan pendaftaran sertifikasi halal pada 13 November 2022. “Saat ini prosesnya sudah masuk tahapan audit oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) LPPOM MUI,” papar Aqil Irham, sambil menerangkan setelah itu proses akan dilanjutkan ke Komisi Fatwa MUI untuk dilakukan sidang fatwa hingga dikeluarkan BPJPH setelah ada Ketetapan Halal dari Komisi Fatwa MUI.*