Hidayatullah.com– Potensi pengembangan halal di Indonesia sangat besar. Saat ini, menurut data dikutip dari website resmi Kementerian Agama, Selasa (10/12/2019), tercatat ada sekitar 63,5 juta pelaku usaha mikro di Indonesia.
Jika setengahnya saja menjadi target kewajiban bersertifikat halal, ada 30-an juta pelaku usaha yang membutuhkan sertifikat halal. Belum lagi jumlah pelaku usaha kecil yang mencapai 783.132 unit, 60.702 unit pelaku usaha menengah, dan tidak kurang 5.550 unit pelaku usaha besar yang memerlukan dan wajib memiliki sertifikat halal.
Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi mengatakan, data tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi semua pelaku layanan sertifikasi halal.
Tantangan itu, jelasnya, mulai dari aspek kemampuan SDM, infrastruktur halal, jumlah auditor halal, ketersediaan penyelia halal, sebaran Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), pengawas JPH, hingga sistem informasi dan komunikasi yang canggih untuk menopang itu semua.
Oleh karena itu, pentingnya sinergi lintas sektoral antara Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan LPPOM MUI sebagai Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang sudah ada di Indonesia.
“Masih banyak PR yang perlu kita kerjakan. Maka dari itu, saya mohon kerja sama kita semua bahu-membahu. Mengelola halal meliputi mata rantai yang panjang, dari hulu ke hilir,” ujar Wamenag saat membuka acara Rapat Koordinasi Nasional bersama MUI dan LPPOM MUI di Ancol, Jakarta, Senin (09/12/2019) malam. Rakornas yang digelar BPJPH ini membahas tentang Layanan Sertifikasi Halal, berlangsung hingga Rabu (11/12/2019).
Wamenag menilai, regulasi memandatkan kerja sama layanan sertifikasi halal itu pada tiga aktor: BPJPH, MUI, dan LPPOM-MUI. Oleh karena itu, butuh kebesaran hati masing-masing pemangku kepentingan untuk saling bersinergi, bekerja sama secara produktif, dan menanggalkan kepentingan individu atau kelompok demi kepentingan nasional dan umat yang jauh lebih besar.
Selain tiga aktor utama, tambah Wamenag, halal juga berkaitan dengan multi-stakeholders. Penetapan kehalalan produk perlu peran institusi lain: otoritas keagamaan (MUI), lembaga pemeriksa dan pengujian produk (LPH), pengawas produk (BPOM), peredaran barang/produk dari dalam dan luar negeri (Kementerian perindustrian, perdagangan, bea cukai), hubungan luar negeri, kerja sama internasional dengan lembaga halal luar negeri (Kemenlu), hingga lembaga akreditasi (KAN, BSN).
“Belum lagi pelaku usaha yang terdiri atas perusahaan besar, menengah, kecil dan mikro di bawah koordinasi dan pembinaan kementerian/lembaga lain, seperti Kemenkes, Kemenkop UKM, Pemda, dan Kemendag,” ujarnya.
Wamenag mengingatkan, banyak pihak yang saat ini konsen terhadap halal, mulai dari Presiden, Wapres, para menteri, perguruan tinggi, pemda, ormas keagamaan, serta para pelaku usaha dan dunia bisnis. Dalam rangka memastikan layanan sertifikasi halal dipersiapkan dengan optimal, konsolidasi internal dan koordinasi serta komunikasi lintas instansi harus ditempuh.
“Amanat UU mesti dijalankan. Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang,” ujarnya berpesan.
Hadir dalam Rakornas ini Kepala BPJPH beserta jajarannya, pimpinan MUI, pimpinan Komisi Fatwa MUI baik pusat maupun provinsi, Direktur LPPOM MUI beserta pimpinan LPPOM MUI Daerah, serta Satgas BPJPH Daerah/ Kanwil Kementerian Agama seluruh Indonesia.* (SKR)