Hidayatullah.com– Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) yang sebelumnya RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) telah “menghapus” wewenang tunggal Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwa halal.
Awalnya, fatwa halal merupakan wewenang penuh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Namun dalam RUU Ciptaker –yang menuai banyak protes–, penetapan fatwa halal diubah menjadi bisa juga dilakukan oleh ormas-ormas Islam berbadan hukum alias bukan lagi wewenang penuh MUI.
Pasal 33 Undang-Undang No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) berbunyi:
“(1) Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI;
(2) Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam Sidang Fatwa Halal;
(3) Sidang Fatwa Halal MUI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengikutsertakan pakar, unsur kementerian/lembaga, dan/atau instansi terkait;
(4) Sidang Fatwa Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memutuskan kehalalan Produk paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak MUI menerima hasil pemeriksaan dan/atau pengujian Produk dari BPJPH;
(5) Keputusan Penetapan Halal Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditandatangani oleh MUI;
(6) Keputusan Penetapan Halal Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada BPJPH untuk menjadi dasar penerbitan Sertifikat Halal.”
Baca: IHW: Bahaya Jika Peran Tunggal MUI pada Fatwa Halal Disingkirkan
Sementara, berdasarkan penelusuran hidayatullah.com pada Kamis (20/02/2020) dalam draf resmi RUU Ciptaker yang dirilis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, dilakukan perubahan regulasi UU JPH itu sebagai berikut:
“Ketentuan Pasal 33 (UU JPH, red) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 33
(1) Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI dan dapat dilakukan oleh Ormas Islam yang berbadan hukum;
(2) Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam Sidang Fatwa Halal;
(3) Sidang Fatwa Halal memutuskan kehalalan produk paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak MUI atau Ormas Islam yang berbadan hukum menerima hasil pemeriksaan dan/atau pengujian produk dari BPJPH;
(4) Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada BPJPH sebagai dasar penerbitan Sertifikat Halal.”
Baca: Bidang Fatwa MUI: RUU Cipta Kerja Mencederai Prinsip Keagamaan
Dengan demikian, dalam draf resmi Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang sudah diserahkan ke DPR itu, JPH tetap ada. Akan tetapi, standarnya diturunkan dari semula harus berdasarkan fatwa MUI, kini bahkan dapat dilakukan oleh masing-masing ormas Islam.
Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW) Ikhsan Abdullah menilai adanya pihak yang hendak membajak Omnibus Law RUU Ciptaker terkait JPH.
Menurut Ikhsan, dalam Omnibus Law RUU Ciptaker, yang menyerahkan wewenang JPH kepada masing-masing ormas keagamaan justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan mengganggu iklim investasi. Hal ini menurutnya seakan kembali ke 30 tahun yang lalu. Padahal dalam MUI puluhan ormas Islam telah ada perwakilannya.
“Ini sangat berbahaya, karena akan memicu disintegrasi dari keulamaan yang selama ini sudah menjadi satu dalam wadah Majelis Ulama Indonesia (MUI),” ujar Ikhsan dalam Forum Grup Diskusi (FGD) yang mengangkat tema ‘RUU Cipta Lapangan Kerja Undang-Undang Jaminan Produk Halal Apakah Mengancam Peran Ulama dan Mengabaikan Kepentingan Umat’, di Jakarta kemarin kutip website resmi IHW pada Kamis (20/02/2020).*