Hidayatullah.com– Indonesia adalah laboratorium bencana. Bencana-bencana yang telah terjadi di Indonesia menjadi pelajaran mahal, sebab menimbulkan banyak kerugian, memakan korban, dan merusak lingkungan. Karenanya tiap bencana harus dipelajari.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Pemberdayaan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Lilik Kurniawan, dalam acara literasi bencana di ruang teater Perpustakaan Nasional, Salemba, Jakarta Pusat, Senin (15/10/2018).
Lilik berujar, kadang-kadang bangsa ini lalai dalam mempelajari bencana. Semua sibuk dengan tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi.
Baca: IAGI Dorong Edukasi Bencana Masuk Kurikulum Pendidikan SD
“Penting bagi kita untuk mempelajari bagaimana bencana itu terjadi. Bagaimana cerita-cerita di balik bencana. Inilah bahan literasi kita untuk disampaikan pada generasi lain. Sehingga bangsa kita selalu tercerdaskan dari pelajaran-pelajaran bencana,” terangnya.
Harus diakui, kata dia, bahwa literasi bencana di Indonesia sangat minim, sepertinya belum berbudaya dalam menuliskan pembelajaran-pembelajaran tentang bencana. Masih baru mungkin satu dua orang yang menuliskannya. Meski sekarang sudah mulai banyak yang menulisnya.
BNPB sudah menulis beberapa buku tentang bencana. Di antaranya ada buku berjudul Melampaui Penderitaan yang menceritakan kisah ketangguhan masyarakat Desa Sumbang Timur, Kabupaten Bojonegoro, dalam menghadapi banjir Bengawan Solo tiap tahunnya.
“Bagaimana mereka harus memenuhi kebutuhan dasarnya dan bagaimana mereka memanejemen bencana itu dengan baik. Ada di buku ini,” kata Lilik.
Baca: Perlu Mengubah Pola Pikir Hadapi ‘Kepungan’ Potensi Gempa
Buku lainnya, Hidup dalam Pasang Surut Danau, menceritakan bagaimana masyarakat yang tinggal di sekitar Danau Tempe menghadapi pasang surut yang tak menentu tiap harinya. Ditambah lagi pengaruh perubahan iklim dunia, lalu musim hujan dan kemarau yang tidak menentu. Sehingga mempengaruhi adaptasi masyarakat, kata Lilik.
Buku ketiga tentang masyarakat di Pulau Palue yang sangat tergantung dengan Laki Musa atau Musa Laki.
Laki Musa ini, kata Lilik, seperti tuan tanah atau raja kecil yang bisa memerintah masyarakat di sana. Ketika Gunung Rokatenda meletus pada beberapa tahun yang lalu, Laki Musa ini keberatan masyarakat di sana pindah ke tempat lain yang lebih aman. Karena dia merasa tenaga kerjanya ikut hilang.
“Laki Musa kemudian menggunakan mitos-mitos untuk mempertebal keyakinan dari warganya supaya mempercayai dirinya,” tutur Lilik.
Lalu buku tentang kehidupan masyarakat Mentawai yang tinggal di tempat rawan gempa dan tsunami. Jika sebelumnya mereka tinggal di daerah pesisir dan bekerja sebagai nelayan, tapi setelah terjadi tsunami, kata Lilik, mereka tinggal di tempat yang lebih tinggi dan memaksa sebagian mereka menjadi petani atau peladang.* Andi
Baca: ‘7 Pelajaran dari Gempa NTB Agar Tak Terulang di Sulteng’