Hidayatullah.com– Jumat (16/11/2018) diperingati sebagai hari toleransi internasional. Di dalam peradaban Islam, tutur sejarawan Alwi Alatas, toleransi merupakan salah satu karakteristik yang menonjol. Dimana komunitas beragama lain dapat hidup dengan relatif baik tanpa diganggu di sepanjang perjalanan sejarah Islam.
Alwi bercerita, orang-orang Yahudi, Kristen, dan non-Muslim pada umumnya bebas beraktivitas sebagaimana tetangga-tetangga Muslim mereka. Mulai dari Semenanjung Iberia (Spanyol/Andalusia) hingga Asia Tenggara dan dari Laut Hitam hingga Samudera Hindia.
Orang-orang non-Muslim ini, kata dia, menjadi pedagang, bekerja di bidang pertanian, menjadi dokter dan ilmuwan, bahkan tidak jarang menjadi pejabat pemerintahan.
“Hal ini berangkat dari pesan Al-Qur’an yang menyatakan ‘tidak ada paksaan dalam beragama’ serta perintah Nabi untuk memperlakukan ahlu dzimmah dengan baik,” ujar dosen sejarah Islam Internasional Islamic University Malaysia (IIUM) ini kepada hidayatullah.com, Jumat (16/11/2018).
Nabi sendiri, lanjut Alwi, telah memulainya di Madinah melalui Piagam Madinah. Sikap toleran terhadap warga non-Muslim secara umum dijalankan oleh pemerintahan-pemerintahan Muslim berikutnya.
“Karena itu kita menjumpai contoh seperti Maimonides, tokoh intelektual Yahudi, yang berguru pada Ibn Rusyd dan belakangan menjadi dokter di istana Ayyubiyah di Mesir,” tuturnya.
Sementara itu, masih kata Alwi, pada abad pertengahan, hal yang sama sangat sulit dijumpai di Eropa.
“Orang Yahudi di sana berulang kali mengalami penindasan dan pogrom, dan Muslim yang negerinya ditaklukkan kerajaan-kerajaan Kristen di Andalusia dan Sisilia, cepat atau lambat dipaksa pindah agama atau hijrah ke negeri yang lain,” pungkasnya.* Andi