Hidayatullah.com– Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan bahwa hasil hitung cepat (quick count) Pilpres 2019 yang diumumkan sejumlah lembaga survei pasca Pemilu pada Rabu (17/04/2019) lalu menimbulkan mudharat (kerugian) dan mafsadat (kerusakan, Red).
Oleh karena itu, MUI meminta agar penayangan quick count tersebut dihentikan.
Hal itu disampaikan MUI yang mengeluarkan tausiyah kebangsaan menyikapi situasi nasional pasca-Pemilu 2019, secara bersama oleh Dewan Pertimbangan (Wantim) yang ditandatangani Ketua dan Sekretaris bersama Dewan Pimpinan MUI oleh Ketua dan Sekjen.
Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Prof Din Syamsuddin, mengatakan, MUI meminta penyiaran hasil quick count sebaiknya dihentikan sebab dampaknya sudah di depan mata.
Yakni cukup mengganggu serta menimbulkan mudharat dan mafsadat bagi masyarakat. Kalau seandainya yang terpengaruh quick count meneruskan euforia di jalan-jalan, kata Din, maka tak terhindarkan akan ada aksi-reaksi.
MUI menilai pemberitaan hasil quick count merupakan salah satu cara yang mengganggu proses konstitusional tahapan-tahapan lanjutan Pemilu 2019.
“Karena bersifat menggambarkan sesuatu yang belum pasti tapi dapat dan telah menimbulkan euforia berlebihan dari rakyat pendukung yang pada gilirannya dapat mengundang reaksi dari pihak lain,” ujar perwakilan MUI, Yusnar Yusuf di kantor pusat MUI, Jakarta, semalam, Jumat (19/04/2019).
Baca: Pakar Statistik IPB: Hasil Quick Count Bisa Saja Salah
Sebelumnya, Sekjend Ikatan Advokat Muslim Indonesia (IKAMI) Djudju Purwantoro, menduga hasil hitung cepat yang sementara memenangkan pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin adalah suatu hal yang dapat membingungkan dan menyesatkan.
Djudju menilai, lembaga survei tersebut dapat menggiring dan menyesatkan opini publik. Djudju berharap lembaga survei tersebut segera menghentikan hitungan cepatnya tersebut.
“Mengingat situasi rawan (pasca pemilu) saat ini terutama tentang hasil perolehan suara Pemilu-Pilpres berpotensi menimbulkan keonaran, dan bisa memicu ‘chaos’ di masyarakat,” ujarnya kepada hidayatullah.com di Jakarta, Kamis (18/04/2019).
Baca: Eep: Quick Count Tak Bisa Dipakai untuk Rumuskan Konklusi
Djudju mengatakan, publikasi tersebut berpotensi melanggar Pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, tentang Peraturan Hukum Pidana, dan Pasal 28 (ayat 1 dan 2) Undang Undang Nomor 11 tahun 2008, tentang ITE.
Prof Asep Saefudin, guru besar statistika Institut Pertanian Bogor (IPB), mengatakan, hasil hitung cepat (quick count) hanya metode keilmuan yang tentu walaupun tingkat akurasinya tinggi tetap saja ada kemungkinan salah.
“Hitung cepat itu bukan hasil akhir yang secara politik sah. Terdapat dua jenis kesalahan dalam hitung cepat ini yakni ‘type one error’ (alfa) dan salah jenis kedua atau ‘type two error’(beta),” ujarnya di Jakarta, Kamis (18/04/2019).*