Hidayatullah.com– Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi menyatakan bahwa Indonesia menolak pernyataan Amerika Serikat (AS) yang mendukung hak Israel untuk membangun permukiman haram (ilegal) Yahudi di Tepi Barat, wilayah Palestina yang diduduki Israel.
“Tentunya kita tidak bisa terima karena ini bertentangan dengan hukum internasional dan bertentangan dengan seluruh resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB,” ujar Menlu Retno dalam pidato kuncinya disampaikan pada acara Rakernas Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia bidang Hubungan Internasional di Jakarta, Selasa (19/11/2019) kutip Antaranews.
Amerika Serikat, dengan pemberian dukungan bagi Israel itu, berarti AS telah meninggalkan pendirian yang dipegangnya selama 40 tahun, yaitu bahwa pembangunan permukiman itu “tidak sesuai dengan hukum internasional”.
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengatakan bahwa pernyataan-pernyataan AS soal permukiman di Tepi Barat—yang dicaplok oleh Israel pada 1967—selama ini tidak selaras.
“Pembangunan permukiman sipil Israel tidak, per se, tidak konsisten dengan hukum internasional,” ujar Pompeo kepada wartawan di Departemen Luar Negeri AS, yang sekaligus membalikkan posisi hukum formal yang dianut oleh AS di bawah presiden Jimmy Carter pada 1978, dilaporkan Reuters.
Merespons kebijakan AS tersebut, Indonesia yang saat ini duduk sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) tengah menyiapkan langkah untuk menangani isu tersebut.
“Kita sedang konsultasi apa yang akan kita lakukan mengenai isu Palestina yang semakin lama semakin suram,” ungkap Retno.
Perkembangan penjajahan Israel terhadap Palestina yang telah berlangsung puluhan tahun, dinilai malah semakin tidak membaik, mengingat beberapa aspek negosiasi malah dilemahkan oleh banyak pihak.
Sebelum ini, AS diikuti sejumlah negara antara lain Australia dan Honduras, telah pula mengakui Jerusalem Barat sebagai ibu kota Israel.
“Permukiman ilegal sudah dipreteli, status Jerusalem sudah dipreteli, masalah pengungsi juga. Pada akhirnya, apa yang tersisa untuk dinegosiasikan? Ini yang membuat kita khawatir,” ungkap Retno.*