Hidayatullah.com– Ramainya tudingan radikal kepada sejumlah ormas dan pribadi Muslim beberapa tahun belakangan ini menjadi salah satu sorotan dalam acara Silaturahim Nasional Forum Ukhuwah Islamiyah MUI 2019 yang berlangsung pada Rabu (18/12/2019) di Gedung MUI Pusat, Jakarta.
Tudingan tersebut, menurut para peserta, tidak membuat suasana ukhuwah semakin baik, malah semakin berjarak.
Jauhari, peserta dari Syarikat Islam, berpendapat sebaiknya pemerintah membuat lembaga pengkajian khusus hal-hal yang perlu didefinisikan. Sehingga tidak ada lagi tudingan tidak berdasar seperti celana cingkrang dan cadar sebagai ciri orang radikal, katanya.
Baca: Prof Din: Arahan Jokowi ke Menag Atasi Radikalisme Sangat Tendensius
Menanggapi hal ini, Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi menyatakan bahwa pemerintah sebenarnya telah membuat kriteria tentang paham radikal. Ada tiga kriteria, jelas Zainut Tauhid di hadapan utusan dari ormas-ormas Islam dan pemuda-pemuda Islam.
Pertama, jika suatu paham menistakan nilai-nilai kemanusian, seperti bertindak anarkis dan membahayakan orang lain, apalagi sampai melakukan bom bunuh diri, maka paham tersebut terkategori radikal.
Kedua, jika ada paham yang mengingkari kesepakatan nasional, maka paham itu juga terkategori radikal. Kesepakatan nasional tersebut, misalnya, kata Zainut Tauhid, menentang Pancasila dan NKRI yang telah menjadi kesepakatan bersama termasuk para pendahulu kita.
Ketiga, jika ada paham yang merasa paling benar dan intoleran, maka ia juga terkategori radikal. Misalnya, kelompok yang suka mengkafirkan orang lain. Seakan-akan cuma kelompoknya sendiri yang masuk surga. Yang lain masuk neraka, jalas Zainut Tauhid.
Adapun soal larangan bercelana cingkrang dan bercadar, menurut Zainut Tauhid, itu hanya berlaku untuk aparatur sipil negara (ASN). Di luar ASN silahkan saja, katanya.
Baca: Anggota DPR: Kasihan Rakyat Indonesia Dijejali Isu Radikalisme
Sementara sebelumnya, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir berharap agar radikalisme tidak dilekatkan pada agama, apalagi tertuju pada agama tertentu.
“Beragama, bernegara, berideologi, bersosial itu juga ada kecenderungan ekstrem dan radikal yang mengarah pada kekerasan. Kita banyak contoh kejadian-kejadian di Tanah Air kita ini bahwa korban dari tindakan-tindakan yang ekstrem bukan hanya karena agama. Oleh karena itu harus terukur,” pesannya saat ditemui wartawan di kediamannya di Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (23/10/2019) diberitakan hidayatullah.com pada Kamis (24/10/2019)..
Sebab, jelas Haedar, dalam konteks apa pun, baik agama maupun dalam konteks umum, perlu ada pemahaman yang komprehensif agar tidak menyamaratakan dalam melakukan penanganan.
Karena, lanjutnya, bukan hanya agama, bahkan perilaku berbangsa, perilaku sosial juga memiliki bagian-bagian yang berpotensi ekstrem dan radikal.
Sedangkan Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof M Din Syamsuddin menjelaskan, radikalisme, yang ingin mengubah akar kehidupan kebangsaan (Pancasila) tidak hanya bermotif keagamaan, tapi juga bersifat politik dan ekonomi.
“Sistem dan praktik politik yang ada nyata bertentangan dengan Sila Keempat Pancasila, begitu pula sistem dan praktik ekonomi nasional dewasa ini jelas menyimpang dari Sila Kelima Pancasila,” jelas Din dalam keterangannya di Jakarta diterima hidayatullah.com, Jumat (25/10/2019).
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Lantas, Din mempertanyakan, mengapa sistem dan praktik politik itu tidak dipandang sebagai bentuk radikalisme nyata (yang tidak lagi bersifat pikiran tapi sudah perbuatan menyimpang) terhadap Pancasila.
“Bahkan ada sikap dan tindakan radikal terhadap negara Pancasila seperti komunisme (yang pernah dua kali memberontak) atau separatisme yang ingin memisahkan diri dari NKRI tapi tidak dipandang sebagai musuh negara Pancasila,” lanjutnya.
Din mengatakan, jika Presiden Jokowi dan Pemerintah hanya mengarahkan tuduhan dan tindakan anti radikalisme terhadap kalangan Islam, maka itu tidak akan berhasil dan hanya akan mengembangkan radikalisme yang bermotif keagamaan.
“Umat Islam yang sejatinya tidak radikal bahkan berwawasan moderat sekalipun akan tergerak membela mereka yang dianggap radikal jika diperlakukan tidak adil,” imbuhnya.
Din menilai, kebijakan dan tindakan anti radikalisme demikian akan gagal dan akan dilawan karena dianggap sebagai bentuk radikalisme itu sendiri dan diyakini sebagai bentuk ketidakadilan atau kedzaliman.* (Mahladi)