Hidayatullah.com–Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan bahwa kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) belum dilarang oleh hukum di Indonesia. Hal itu termasuk pihak yang menyiarkan tayangan LGBT.
Hal itu disampaikan oleh Mahfud saat merespons pernyataan Said Didu di Twitter pada Selasa (10/5/2022), terkait kontroversi selebritas Deddy Corbuzier yang mengundang pasangan LGBT di kanal Youtube-nya.
Said Didu sendiri mengomentari pernyataan Mahfud sebelumnya yang mengatakan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi yang mendukung kebebasan berekspresi. Termasuk bagi Deddy Corbuzier dan pihak yang mengkritiknya.
“Prof @mohmahfudmd yth, pemahaman saya : 1) demokrasi bukan berarti bebas melakukan apa saja. 2) demokrasi harus dibatasi oleh hukum, etika, moral, dan agama. 3) pemerintah harus melindungi bangsa dan rakyatnya dari perusakan moral,” ungkap Said Didu, sebagaimana dikutip oleh Hidayatullah.com.
Mahfud pun menjawab pernyataan tersebut dengan membahas sisi hukum.
“Pemahaman Anda bukan pemahaman hukum. Coba saya tanya balik: mau dijerat dengan UU nomor berapa Deddy dan pelaku LGBT? Nilai-nilai Pancasila itu belum semua menjadi hukum. Nah LGBT dan penyiarnya itu belum dilarang oleh hukum. Jadi ini bukan kasus hukum,” kata Mahfud dalam akun Twitter resminya @mohmahfudmd, Rabu (11/5/2022).
Mahfud menilai saat ini belum ada aturan hukum di Indonesia yang bisa menjerat pidana kelompok LGBT. Karena itu, ia mengatakan seluruh nilai-nilai terkandung dalam Pancasila maupun agama belum semuanya menjadi produk hukum di Indonesia.
Ia lantas mencontohkan bahwa Pancasila mengajarkan bangsa Indonesia nilai berketuhanan. Tapi di sisi lain, tidak ada orang yang dihukum karena tak bertuhan atau ateis di Indonesia.
“Mengapa? Ya, karena belum diatur dengan hukum. Orang berzina atau LGBT menurut Islam juga tak bisa dihukum karena hukum zina dan LGBT menurut KUHP berbeda dengan konsep dalam agama,” imbuh Mahfud.
Mahfud menjelaskan berdasarkan asas legalitas seseorang dapat dijerat sanksi hukum jika sudah ada produk hukumnya. Jika belum ada produk hukum, maka sanksinya sekadar sanksi otonom atau sanksi moral.
“Seperti caci maki publik, pengucilan, malu, merasa berdosa dan lainnya. Sanksi otonom adalah sanksi moral dan sosial. Banyak ajaran agama yang belum menjadi hukum,” kata dia.
Mahfud juga menyoroti soal Pasal 292 KUHP tentang pencabulan. Baginya, pasal itu hanya mengatur soal larangan homoseksual atau lesbian antara orang dewasa dan anak-anak.
Pasal 292 KUHP berbunyi “Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”.
“Kalau lesbi/homo sesama orang dewasa apa ancaman hukumannya? Tidak ada, kan? Kalau kita menghukum tanpa ada ancaman hukumnya lebih dulu berarti melanggar asas legalitas, bisa sewenang-wenang. Makanya ber-Pancasila bukan hanya berhukum, tapi juga bermoral,” kata dia.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu turut merespons usulan agar DPR bisa menindaklanjuti persoalan LGBT ini.
Ia mengatakan masalah LGBT dan zina kini tengah dibahas dalam Rancangan KUHP di DPR. Ditundanya pengesahan RKUHP selama ini, kata dia, karena masih bergelut dengan persoalan tersebut.
“Sekarang ini masalah LGBT dan zina sedang dibahas lagi untuk bisa diatur “seperti apa” di dalam Rancangan KUHP. Tertundanya pengesahan RKUHP juga antara lain karena masalah ini. Silakan DPR-RI dan Bu Fahira. Sikap Pemerintah sudah jelas tapi tentu harus mendengar suara masyarakat,” kata Mahfud.
Ia juga menanggapi tangkapan layer pemberitaan lama terkait pernyataannya soal LGBT dan Zina harus dilarang.
“Ya, ini pernyataan saya yang berlaku dan saya pegang hingga sekarang. Itu usul kepada DPR yang waktu itu (2017) ribut soal pidana zina dan LGBT. Itu nilai-nilai moral keagamaan yang kita usulkan (MK) ke KUHP. Tapi hingga sekarang usul itu belum diterima sebagai hukum dan baru berlaku sebagai kaidah agama dan moral,” ujarnya.*