Berbagai pengalaman menegangkan dialami Plestia Alaqad ikut menghadirkan suara rakyat Gaza kepada dunia
Hidayatullah.com | DI MASA awal perang Gaza, nama Plestia Alaqad sempat disebut-sebut karena keberaniannya meliput agresi ‘Israel’. Video memilukan yang dibagikan gadis ini menjadi viral di dunia.
Plestia merekam momen-momen meresahkan di lingkungan sekitar Kota Gaza meski dihujani peluru.
“Saya mencoba memberikan gambaran jelas tentang apa yang terjadi di Gaza. Tapi, kamu bisa mendengarkannya sekarang,” ujarnya melalui salah satu klip, merujuk pada suara serangan rezim Zionis yang mendapat lebih dari 200.000 LIKE.
Sebagian besar follower gadis berusia 22 tahun itu juga bertanya-tanya bagaimana dia bisa tetap ‘tenang’ dan tanpa ekspresi saat menghadapi situasi perang di Gaza.
Plestia selalu bercerita tentang situasi di Gaza pada tahap awal agresi Israel yang kejam. “Itu mungkin salah satu alasan mengapa video yang saya bagikan menjadi viral. Banyak yang bertanya apakah saya normal atau trauma menghadapi situasi seperti itu,” ujarnya melalui aplikasi Zoom.
Upaya Plestia untuk menggunakan Instagram sebagai platform untuk berbagi tentang situasi terkini di Gaza juga mendapat pujian dari banyak orang. Sebelum agresi terjadi, gadis tersebut bekerja di sebuah agen pemasaran dan terus-menerus mengunggah foto aktivitasnya sehari-hari.
Tujuan utama Plestia adalah menjelaskan kepada para follower-nya bahwa masih ada hal-hal membahagiakan di Gaza terlepas dari agresi dan kehancuran seperti yang sering digambarkan di media.
Pembagian yang berani ini membuat jumlah pengikut gadis itu meningkat dari 4.000 menjadi sekitar 4,5 juta orang dan dia bahkan tidak repot-repot membaca pesan dan email yang tak henti-hentinya.
Plestia menggunakan Instagram sebagai platform untuk mengkomunikasikan kemajuan perang Gaza.
“Instagram menjadi catatan harian pribadi saya untuk terhubung dengan orang-orang. Saya ingin menunjukkan nilai kemanusiaan yang ada dalam diri saya dan bukan sekedar pekerjaan saya sebagai jurnalis tetapi saya merasakan pengalaman nyata berada di zona perang,” jelasnya.
Menurut gadis tersebut, ia sempat mengalami kesulitan dalam mengisi daya ponselnya yang merupakan satu-satunya gadget dan mendapatkan jangkauan internet, terutama setelah pasokan listrik dan komunikasi terputus beberapa kali di Gaza.
“Saya tidak ingin orang-orang melihat perang Gaza hanya sebagai berita belaka,” katanya.
Tugas yang menantang ini mencapai klimaksnya ketika kepala kelompok media Press House-Palestina, Belal Jadallah, syahid akibat serangan udara penjajah Israel.
Ia bertekad mengembalikan rompi dan helm yang bertuliskan ‘Press’ tersebut karena khawatir akan bernasib sama seperti Jadallah yang menjadi sosok inspiratif bagi jurnalis Palestina.
Setelah 45 hari rela mempertaruhkan nyawanya untuk menutupi dampak kehancuran di Gaza, Plestia akhirnya meninggalkan Gaza dan menuju ke Melbourne di Australia.
Meski demikian, ia tetap mencermati perkembangan agresi di wilayah terkepung yang kini memasuki bulan ketiga dan belum menunjukkan tanda-tanda akan mereda dalam waktu dekat.
Berperan Penting
Plestia Alaqad lahir pada tahun 2001 dan menempuh pendidikan di American International School of Gaza.
Dari tahun 2015 hingga 2019, gadis ini mendedikasikan dirinya untuk melanjutkan studinya sebagai cara untuk membuka jalan menuju masa depan yang lebih cerah.
Ia kemudian menjadi mahasiswa di Eastern Mediterranean University (2019-0222) karena ketertarikannya yang mendalam dalam mendalami dunia komunikasi dan media.
Setelah lulus, Plestia mulai berbagi ‘cerita’ tentang Gaza dan menarik minat jaringan berita besar seperti The Washington Post dan Reuters.
Ia terus menjadi ‘suara’ masyarakat marjinal Gaza dan menjabat sebagai Manajer Sumber Daya Manusia di StepUp Agency sejak Mei lalu.
Pada bulan April hingga Agustus, Plestia biasa menyumbangkan keahliannya sebagai Pelatih Klub Media Inggris untuk The Press House dengan mengadakan lokakarya terkait.
Sebelumnya, ia juga mengemban tanggung jawab ganda sebagai editor berita dan manajer media sosial dengan mengelola akun @palsawa di Instagram. Ia juga menjadi penerjemah di Society for Culture and Free Thought pada Juni lalu.
Plestia bukan sekadar jurnalis yang berempati tapi ia yang memiliki dampak besar pada dunia dan bahkan narasi gadis tersebut menunjukkan kekuatan bercerita dari lokasi nyata.*