Hidayatullah.com–Jamaah berduyun-duyun keluar dari Bab Al-Assad (Lion’s Gate) usai melaksanakan shalat Jumat di kompleks Masjid al-Aqsha. Dari kejauhan, Zeina Amro mengamati mereka. Wanita itu pernah menjadi guru dan pemandu wisata di kompleks Masjid al-Aqsha. Namun, kini ia tidak bisa lagi secara legal melangkahkan kaki ke tempat suci ketiga ummat Islam itu.
Sebagaimana dikutip laman Sahabat Al-Aqsha dari Al Jazeera 26 March 2016, berbulan-bulan, Amro beserta puluhan lelaki dan wanita lainnya dilarang mengunjungi Masjidil Aqsha. Penjajah Zionis tengah berupaya memberantas Murabithun dan Murabithah. Kedua kelompok yang mengategorikan diri mereka sebagai pembela al-Aqsha itu secara terbuka berselisih dengan petugas keamanan yang mendampingi para pemukim ilegal Yahudi di kompleks Masjidil Aqsha.
Tahun lalu, penjajah Zionis menyatakan ilegal kelompok pembela Masjidil Aqsha itu dan menyalahkan mereka atas meningkatnya kekerasan di Baitul Maqdis yang meluas hingga ke penjuru Tepi Barat terjajah. “Saya ditangkap di ‘rumah’ saya; gerbang kompleks Masjidil Aqsha. Wajah saya dipukuli dan diinterogasi, namun dilarang masuk Masjidil Aqsha merupakan hukuman terberat,” kata Amro, yang mengenakan jilbab ungu dan mantel hitam berkancing, kepada Al Jazeera.
“Tempat ini merupakan bagian dari diri saya, tentang siapa saya. (Masjidil Aqsha) membantu saya lebih dekat dengan Allah. Ini merupakan hukuman terkejam.” Amro tidak bisa membayangkan masa depannya tanpa al-Aqsha di kalbunya.
Sebelum dilarang masuk Masjidil Aqsha, Amro (50) menghabiskan waktunya untuk shalat, mengajar dan belajar di dalam Al-Aqsha. Kompleks Masjidil Aqsha selalu menjadi bagian dari hidupnya. Ia tumbuh dewasa di tengah bangunan batu kuno dan mosaik-mosaik indah. Ia juga menyekolahkan empat putra dan dua putrinya ke sekolah di dalam Masjidil Aqsha. Dulu Amro mengorganisir wisata untuk menerangkan kepada para pengunjung mengenai kekayaan sejarah kompleks Masjidil Aqsha.
Amro yakin bahwa Muslim mana pun yang mengunjungi Al-Aqsha merupakan bagian dari Murabithun dan Murabithat. Namun tentu saja kelompok inti terdiri dari ratusan pria dan wanita yang tetap hadir secara rutin di kompleks Masjid al-Aqsha. Mereka telah berada di sana selama lima tahun. Awalnya, kata Amro, mereka menerima sedikit dana dari LSM yang terkait dengan Gerakan Islam cabang utara yang kini dinyatakan ilegal oleh Zionis, namun kini mereka bekerja secara sukarela.
“Ribuan orang yang baru saja meninggalkan masjid adalah Murabithun, karena mereka terhubung dengan (perintah) agama dan menaatinya,” kata Amro, menunjuk ke arah arus jamaah yang keluar melalui Bab al-Assad. “Akan tetapi, pasukan penjajah Zionis menggunakan istilah itu untuk membuat ini terkesan negatif, bermasalah, dan berada di luar hukum. Kami menolak itu.” Menurut Amro, biang keladi gelombang kekerasan di Baitul Maqdis dan Tepi Barat belakangan ini adalah para pemukim ilegal Yahudi yang terus berupaya memasuki kompleks masjid dengan pengawalan ketat petugas Zionis bersenjata.
Muslimin khawatir karena ada upaya aktif penjajah Zionis untuk mengubah status quo di al-Aqsha, yang disebut kaum Yahudi sebagai Temple Mount dan dikenal kaum Muslim sebagai Al-Haram Asy Syarif (tanah suci yang mulia). Lokasi itu dianggap sebagai salah satu tempat suci kaum Yahudi dan sejumlah orang Yahudi secara terbuka menyatakan keinginan membangun Kuil Ketiga di sana.
Non-Muslim secara resmi telah dilarang melakukan ritual di kompleks Masjidil Aqsha selama berabad-abad. “Masuknya para pemukim ilegal Yahudi ke dalam Masjidil Aqsha merupakan bentuk hasutan; inilah yang menyebabkan berbagai masalah,” kata Amro. “Jika Anda masuk (dengan didampingi pasukan keamanan), berarti Anda datang untuk berkelahi. Anda datang untuk bertempur. Yang kami lakukan adalah meneriakkan ‘Allahu Akbar’ (Allah Maha Besar).”
Amro menyadari bahwa ancaman terhadap tempat suci ketiga ummat Islam itu tidak akan bisa diatasi hanya dengan “beberapa wanita dan pria menyelenggarakan kelompok-kelompok belajar.” Akan tetapi, ia tetap ingin kembali ke dalam kompleks masjid untuk melakukan perannya, yakni menuntun para siswa dan menyampaikan kisah-kisah masa lalu dan masa sekarang Masjidil Aqsha kepada para turis di sekitar kompleks Masjidil Aqsha. “Inilah yang saya cintai,” kata Amro. “Al-Aqsha merupakan bagian dari agama dan kitab suci saya, Al-Quran. Saya menghabiskan banyak waktu dan dibesarkan di sini. Al-Aqsha membutuhkan saya seperti saya membutuhkannya. Al-Aqsha segalanya bagi saya. Al-Aqsha adalah seluruh hidup saya,” tegasnya.
‘Israel’ Ingin Ambil Alih Al-Aqsha
Petugas keamanan Zionis berdalih, mereka menawarkan pengawalan karena adanya ancaman terhadap para pengunjung Yahudi dan wisatawan oleh anggota-anggota “provokatif” Murabithun dan Murabithah yang “mengganggu dan kadang-kadang bahkan menyerang para pengunjung.” Orly Benny Davis, relawan dan anggota gerakan Temple Mount, yang mendukung kaum Yahudi melakukan ritual di kompleks Masjid al-Aqsha, mengatakan pada Al Jazeera bahwa seluruh kelompok agama harus belajar “berbagi ruang”.
Namun, beberapa bulan belakangan ini, kelompok-kelompok Zionis garis keras menuntut pengambilalihan penuh al-Aqsha, menawarkan imbalan finansial kepada orang Yahudi yang ditahan saat melakukan ritual di kompleks masjid, serta mendorong peruntuhan Masjid al-Qibli sehingga bisa membangun Kuil Ketiga di sana. Bahkan, Wakil Menteri ‘Israel’ Tzipi Hotovely telah menunjuk kompleks Masjidil Aqsha sebagai “pusat kekuasaan warga ‘Israel’”.
Menurut salah seorang anggota Murabithah, Umm Abdullah (bukan nama sebenarnya), hal itu meningkatkan kekhawatiran atas pembagian Al-Aqsha. Dan ada contoh konkrit pembagian seperti itu. Seperti diketahui, setelah insiden pembantaian di Masjid Ibrahimi pada tahun 1994 penjajah Zionis membagi masjid menjadi dua bagian, yakni untuk kaum Muslim dan Yahudi. Dengan begitu, Muslimin hanya mendapat kurang dari setengah tempat suci itu. Banyak yang khawatir hal itu juga akan terjadi pada al-Aqsha. “Mereka ingin membagi al-Aqsha. Mereka ingin merampasnya. Namun, al-Aqsha milik kami, ini tempat kami,” kata Umm Abdullah yang berbincang dengan Al Jazeera di bawah mosaik keramik indah berwarna merah, emas dan hijau di dalam Dome of the Rock. Umm Abdullah dan puluhan anggota Murabithah lainnya khawatir suatu saat akan mengalami hal serupa.
Umm Abdullah mengatakan, ia akan terus melakukan pertemuan rutin di dalam Dome of the Rock, shalat dan membaca Al-Quran bersama para Muslimah lainnya di sana. Jika ia menyaksikan para pemukim ilegal Yahudi melanggar aturan dengan melakukan ritual di Al-Aqsha, “Kami akan menendang mereka ke luar atau menyerang mereka,” tegasnya. “Peran saya dalam menjaga Al-Aqsha adalah dengan keberadaan saya. Setiap kali kami mendengar ada ancaman, atau jika Al-Aqsha kosong, kami datang dan duduk untuk menunjukkan pada mereka kami ada di sini setiap saat,” kata Umm Abdullah.
Meskipun agama berada di pusat pertarungan atas al-Aqsha, akar konflik sebenarnya lebih dalam lagi. Selama puluhan tahun warga Palestina hidup di bawah penjajahan, menyaksikan tanah mereka dirampas, rumah mereka dihancurkan, dan kerabat mereka dibunuh atau diusir dari negeri mereka sendiri. Dengan latar belakang ini, perampasan atau pembagian satu dari tempat-tempat suci mereka tak bisa ditolerir, kata Najeh Daoud Bkerat, direktur wakaf Islam yang mengelola al-Aqsha.

Bkerat, yang memiliki gelar PhD di bidang sejarah Baitul Maqdis dan mengajar di Universitas Al-Quds, menuliskan daftar sejumlah penyerangan terhadap status quo al-Aqsha sejak dari puluhan tahun lalu. Yakni, ketika pasukan Zionis secara bertahap melakukan “pengamanan” di kompleks Masjidil Aqsha dan terus meningkatkan pembatasan akses bagi jamaah Palestina. Di antara serangan-serangan paling mematikan adalah pembantaian pada tahun 1990 yang dikenal dengan Black Monday. Ketika itu petugas keamanan Zionis membunuh 20 warga Palestina yang memprotes para relawan Yahudi yang meletakkan batu pertama untuk pembangunan Kuil Ketiga di dalam kompleks Masjidil Aqsha.
Belakangan ini, saat ketegangan kian meningkat antara berbagai kelompok pemukim ilegal Yahudi dan jamaah Palestina di Masjidil Aqsha, petugas Zionis berulangkali menyerbu kompleks Al-Aqsha dengan menembakkan bom, peluru dan gas airmata sehingga mengakibatkan kerusakan pada bagian dalam Masjid al-Qibli. Pasukan keamanan Zionis juga menginjak karpet merah dan karpet emas ruang shalat dengan menggunakan sepatu boot. Padahal sepatu tidak boleh menginjak bagian dalam masjid. “Berkas-berkas penyerangan yang dilakukan warga ‘Israel’ di kompleks Masjidil Aqsha tak ada habis-habisnya,” kata Bkerat kepada Al Jazeera.
Menurut Bkerat, sejak penjajah Zionis mencaplok Timur Baitul Maqdis pada tahun 1967, ada lebih dari 1.700 kasus penyerangan atau pengrusakan properti di kompleks masjid. Tentu saja itu di luar serangan-serangan yang tak terhitung terhadap individu, termasuk penangkapan, pemukulan dan perintah-perintah yang mengekang. “Ini telah berkembang dari awalnya meminta masuk untuk mengizinkan mereka melaksanakan ritual Yahudi dan berbagai perayaan, kemudian berkembang menjadi upaya menghancurkan al-Aqsha demi memuluskan rencana pembangunan Kuil Ketiga,” kata Bkerat.
Ia juga yakin tindakan keras penjajah Zionis terhadap Murabithun dan Murabithat hanyalah bagian kecil dari tujuan lebih besar, yakni “mencekik” keberadaan warga Palestina di kompleks Masjidil Aqsha. Terkait hal ini, kata Bkerat, warga ‘Israel’ “bermain dengan api”. “Tanpa adanya solusi bagi warga Palestina di Baitul Maqdis, tak akan pernah ada keheningan. Tak akan pernah ada solusi yang jelas,” kata Bkerat. “Penjajah berupaya membuatnya terlihat seperti perang agama, tapi sebenarnya, ini konflik atas hak-hak… Ketika Anda mencabut hak-hak saya, jika Anda berupaya menghentikan saya dari hak beribadah di masjid saya sendiri, itu berarti Anda mencoba untuk memicu peperangan,” tegas Bkerat.
Rela Berkorban Demi Bela Al-Aqsha
Nitham Abu Ramouz (33) merupakan satu di antara mereka yang dilarang beribadah di al-Aqsha. Penduduk Silwan, sebuah kawasan di Timur Baitul Maqdis terjajah itu telah menjadi bagian dari Murabithun selama sekitar tiga tahun, dan selama periode itu ia mendapat tiga surat perintah larangan masuk al-Aqsha. “(Ini karena) ketika para pemukim ilegal Yahudi memasuki al-Aqsha, kami meneriakkan ‘Allahu Akbar’,” kata Abu Ramouz kepada Al Jazeera. Hingga kini ia masih dilarang masuk al-Aqsha. Akan tetapi, ia tetap pergi sedekat yang ia bisa dan shalat di luar gerbang kompleks masjid setiap hari. “Ini tempat suci kami. Kami harus melindunginya dari berbagai serangan. Ini bagian dari iman kami; akan jadi bencana jika kami tidak berusaha melindunginya. Meski dipukuli, ditangkap dan diadili, kami akan terus melindungi al-Aqsha,” kata Abu Ramouz.
Ia menyatakan kekhawatirannya perihal metode yang digunakan ‘Israel’ untuk mengubah status quo, termasuk menawarkan wisata kepada para pemukim ilegal Yahudi dan para wisatawan dimana “mereka tidak membicarakan tentang kompleks Masjid al-Aqsha, tapi membicarakan soal Temple Mount. Jadi, mereka mengubah seluruh landmark dan sejarah.”
Namun, terlepas dari serangan-serangan fisik oleh pasukan keamanan Zionis di al-Aqsha selama bertahun-tahun, para anggota Murabithun tak akan pernah meninggalkan al-Aqsa, ungkap Abu Ramouz. Ia yakin hal itu akan menghentikan warga ‘Israel’ untuk berbuat lebih jauh lagi. “Keberadaan kita merupakan hal terpenting. Tak hanya pada hari Jum’at, tapi setiap hari. Alih-alih duduk di kafe, kita bisa datang ke sini. Saya ajak istri dan anak-anak saya ke kompleks Masjid al-Aqsha dua kali dalam seminggu. Kami ingin rakyat menjadi lebih kuat dan berhenti membiarkan pelanggaran terhadap Masjidil Aqsha. Meski jika kita akan dihukum, kita harus terus melakukannya.” *