TIDAK ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba kegiatan Orientasi Studi Cinta Akademik dan Almamater (OSCAAR) mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran UIN Sunan Ampel mendadak menjadi perbincangan masyarakat sosial media.
Yang membuat heboh antara lain, adalah tema kegiatan “Tuhan Membusuk” [Konstruksi Fundamentalisme menuju Islam Kosmopolitan].
Tak urung, kecaman datang dari mana-mana. Sebagian menilai penyebutan istilah-istilah buruk para mahasiswa UINSA karena gagalnya pengajaran pendidikan berakhlak dan berkarakter. Sebagian menilai karena kurikulum lembaga itu yang sejak lama diajarkan paham liberal dan meyakini semua agama adalah benar. Koordinator Forum Silaturrahim Pejuang Ahlus Sunnah wal Jamaah Garis Lurus, KH Lutfi Bashori bahkan mengirim surat ke Polda Jawa Timur guna menindaklanjuti kasus yang menurutnya dinilai meresahkan.
Benarkah demikian? Hidayatullah.com berkesempatan mewawancarai Dr. Muhid, M.Ag, Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (UINSA). Inilah petikannya;
Bagaimana ceritanya kasus ini terjadi?
Soal OSCAAR itu, jangan panjenengan (Anda), saya sendiri juga kaget. Karena memang hal itu sebelumnya tidak dikonsultasikan dengan pimpinan.
Saya sempat memanggil anak-anak panitia untuk menjelaskan soal penulisan banner “Tuhan Membusuk”
Apa Hasilnya?
Akhirnya saya mendapatkan kesimpulan ada kesalahan antara maksud yang diinginkan (para panitia) dengan redaksi yang dituliskan dalam sepanduk.
Awalnya, saya sendiri mengira, jangan-jangan yang dimaksud antara tulisan dalam sepanduk (Tuhan Membusuk, red) sama dengan persepsi mereka. Apa yang persepsikan panitia tidak sama dengan redaksi (tulisan dalam spanduk, red).
Itu kesimpulan bapak?
Itu pengakuan anak-anak. Dan akhirnya setelah dipanggil pimpinan, anak-anak akhirnya menerima dan meminta maaf pada pimpinan. Jadi itu kronologis banner yang ramai dibahas di jejaring sosial.
Sebenarnya tema aslinya apa?
Mereka mengangkat tema itu karena berangkat dari sebuah realitas keberagamaan masyarakat Indonesia yang belakangan kian memperihatinkan.
Kalau tema awalnya sangat bagus. “Konstruksi Fundamentalisme menuju Islam Kosmopolitan”. Masalahnya, tulisan besar di atanya (Tuhan Membusuk) yang jadi masalah.
Bahkan pagi sebelum saya menghadiri pembukaan OSCAAR di lapangan, saya sudah memanggil panitia. Saya saat itu sudah menyimpulkan, bahwa antara yang dimaksud oleh panitia berbeda dengan apa yang dipahami oleh orang selain mereka. Itu yang saya sampaikan pada mereka. Bahwa apa yang kalian maksud itu bagus tapi ekspresi bahasa tulis justru kebalikannya.
Apa tindakan Anda waktu itu?
Akhirnya kita minta spanduk diturunkan. Hari Kamis sore spanduk diturunkan dan kita mencoba mengganti tema. Bahkan Sabtu pagi, atas kesadaran sendiri, anak-anak (Panitia OSCAAR) membuat acara teatrical dan atas kesahalannya, spanduk itu dibakar.
Apa alasannya membakar?
Akhirnya anak-anak bisa sadar, bahwa apa yang mereka pahami belum tentu sama dengan apa yang dipikirkan publik.
Maksudnya?
Pikiran anak-anak kan begini… maklum namanya pikiran anak muda. Mereka itu memandang bahwa itu seperti kuliah di kelas dan bisa terjadi diskusi yang nanti akan menemukan titik temu pemahaman. Tapi justru itu yang tidak dipahami anak-anak. Bahwa sebenarnya ruang terbuka akan membuka sebuah tulisan bisa dibaca siapapun, termasuk media massa.
Dasar pikiran anak-anak yang belum panjang, itu belum bisa disadari. Bahwa kita ini tinggal dan hidup bukan di tengah hutan, seolah-olah tidak berdampingan dengan masyarakat. Jadi kita kita ini bagian dari sistem kehidupan di mana antara satu sistem dengan sistem lain tak dapat dipisahkan. Itu yang belum dipahami anak-anak.
Padahal mestinya itu adalah forum debatable yang mestinya harus didiskusikan di kelas, tetapi mereka belum bisa menangkap lebih jauh ekses yang dilakukannya.
Misalnya begini, jangan semata-mata ini disebut kajian akademik. Kalaupun terus melakukan dakwah (terkait theologi atau ke-ushuluddin-an) maka sebaiknya harus menggunakan cara yang baik. Sesuatu (maksud) yang baik itu harus dilakukan dengan cara yang baik dan situasi yang baik pula.
Apa yang Anda katakan pada panitia?
Saya katakan, jangan pernah menggunakan asumsi semua orang itu sama dengan pikiran Anda (panitia OSCAAR, red). Itu yang saya katakan. Namanya anak-anak belum dewasa, seolah apa yang mereka pikirkan tidak mengganggu orang lain. Seolah-olah ini kuliah di kelas di mana jika di ruang kelas ada suasana diskusi dan penyelesaian. Jika ada orang tidak sependapat bisa membantah dan pada akhir diskusi ada titik temu.
Apa kesimpulan bapak atas kasus ini?
Kesimpulan saya, momen-momen dan cara-cara yang digunakan para mahasiswa itu belum cukup arif.
Ada sebagian pendapat, peristiwa ini akibat dari buah Fakultas Ushuluddin di UIN atau IAIN yang mengajarkan paham liberal dan kebebasan, paham semua agama sama?
Sebenarnya tidaklah sejauh itu. Kita mengkaji agama itu basic-nya tetap Islam. Kita mempelajari agama orang lain itu juga atas dasar agama kita (Islam, red). Jadi bukan berarti kita menyetarakan dengan agama lain sama dengan agama kita.
Karena dengan ajaran agama kita pun, kita diajarkan bagaimana kita bertetangga dengan orang beragama lain. Bagaimana kita hidup di tengah-tengah masyarakat. Jadi kita bisa membedakan di mana sesuatu harus dibedakan. Antara Islam dan non-Islam ya harus tetap dibedakan. Hal-hal yang bersifat universal, ada di semua agama, itu tetap kita perlakukan sebagai sesuatu yang universal. Sehingga posisi kita jelas.
Kalaupun kita ada kajian agama-agama lain, itu berangkatnya dari Islam.
Tapi aksi mahasiswa itu mencemaskan banyak orang?
Ya saya faham. Tetapi sedih jika ini disebut penistaan agama.*