Hidayatullah.com–Kasus spanduk kontroversi dalam kegiatan Orientasi Akademik dan Cinta Almamater (OSCAAR) 2014 Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya masih menyisahkan banyak pertanyaan.
Apa dan bagaimana seharusnya Institut Agama Islam Negeri (IAIN) atau Universitas Islam Negeri (UIN)?
Belum lama ini, wartawan hidayatullah.com mewawancarai seorang dosen tafsir di IAIN Surakarta, Dr. Abdul Kholiq Hasan El-Qudsy M.A., M.Ed.
Lulusan Islamic Science University, Sudan, yang juga pernah mengajar di UIN Yogya dari tahun 2007-2011 saat ini menjadi pengajar di IAIN Surakarta juga dosen di Fakutas Ushuluddin Universitas Muhammadiyah Yogjakarta (UMY) dan Univeritas Muhammadiyah Surakarta (UMS).
Ayah dari dua anak yang juga Ketua MUI Surakarta bidang fatwa ini memberikan banyak masukan tentang bagaimana seharusnya kampus perguruan tinggi Islam harus berbuat untuk ummat. Di bawah ini petikan wawancaranya yang kami potong menjadi beberapa bagian dan tema;
Bagaimana pendapat bapak soal kasus Tuhan Membusuk yang terjadi belum lama ini di UIN Sunan Ampel Surabaya?
Sebenarnya dalam era globalisasi yang semacam itu mungkin dianggap orang sebagai suatu hal yang lumrah, tetapi hal itu jika dikaitkan dengan institusi Islam sekelas UIN/IAIN maka ini menjadi permasalahan yang tidak sepele lagi. Kenapa? Karena selama ini UIN/IAIN itu kan milik umat Islam jadi hak umat Islam untuk memberikan kontrol, memberikan masukan, jadi tidak benar jika suatu lembaga kemudian mengatakan kebebasan akademik lah kemudian mereka tidak mau dikontrol oleh masyarakat.
Ini tentu sangat bertentangan dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi . Diantara isinya perguruan adalah pengabdian masyarakat. Bagaimana masyarakat itu bisa memberikan sebuah respon yang baik terhadap kebijakan-kebijakanyang dikeluarkan.
Dari sisi lain, kasus spanduk kontroversial ini mungkin bisa dimaklumi jika yang ngomong bukan orang UIN/IAIN. Tapi ketika yang bicara mahasiswa atau dosen UIN/IAIN misalnya, masyarakat akan bertanya-tanya, ini orang yang dikenal belajar di institusi agama kok malah seperti itu?
Ujungnya akan memberikan trauma kepada masyarakat tentang eksistensi lembaga-lembaga Islam seperti IAIN atau UIN, walaupun mungkin kita bisa mengatakan itu oknum saja.
Yang menjadi catatan kita adalah bahwa kejadian seperti ini bukan yang pertama. Dulu pernah seingat saya, mahasiswa IAIN di Bandung, bertakbir “******hu akbar”, semacam itu kan secara attitude, secara akhlak, jauh dikatakan sebagai pelajar Islam apalagi menyandang sebuah perguruan tinggi Islam lagi. Bahkan di pondok pesantren saja, sebelum masuk perguruan tinggi, mereka diajarkan Kitab Ta’lim Muta’alim, kitab tetang adab-adab mencari ilmu dan berguru yang tentu sangat jauh sekali perilaku seperti ini dilakukan pelajar Muslim.

Mengapa kasus keteledoran semacam ini terus berulang?
Bisa jadi secara kelembagaaan tidak ada niatan ke situ. Hanya saja, karena ini globalisasi, pemikiran-pemikiran terus berputar dan terus berkembang bahkan menjadi virus bagi sebagian mahasiswanya, ada kecenderungan untuk berpikir liberal, berpikir pragmatis. Itulah tugas institusi untuk selalu memberikan bimbingan yang terbaik, kemudian harus ada sebuah tindakan pencegahan dan jauh lebih penting adalah bagaimana para stake-holder mampu mengarahkan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat.
Perlunya kesadaran setiap dosen untuk selalu mampu membina dan mengarahkan mahasiswanya baik secara intelektual yang benar, kemudian secara akhlak yang benar dan bertanggung jawab agar tidak lahir perilaku-perilaku semacam itu.
Jangan sampai masuk di UIN/IAIN tradisi santri malah jadi jadi hilang. Itu tidak benar, kalau itu terjadi maka kita gagal.
Apa sebagaiknya sikap kita atas peristiwa ini?
Mari saling memantau dan memberikan masukan. Masyarakat juga punya hak untuk memantau, jadi jangan sampai lembaga pendidikan ini merasa alergi ketika kita diperingatkan oleh masyarakat tentang aktivitas mahasiswanya. Toh ini suatu lembaga yang ada karena masyarakat. Jika masyarakat sendiri sudah tidak percaya dengan lembaga ini, maka siapa lagi yang akan mengisinya? Nah ini kan harus menjadi sebuah pemikiran para stakeholder, para pemangku kebijakan di UIN/IAIN. Jangan sampai lembaga ini ditinggalkan oleh umat Islam sendiri, jangan sampai lembaga yang kita buat kemudian ditinggalkan oleh masyarakat sendiri.*