Sambungan wawancara kedua
Pada tulisan terdahulu dipaparkan betapa kritisnya Fahmi Hamid Zarkasyi kepada pemikiran Barat. Karena kritisnya itu ia sempat dituding anti Barat. Ada juga tudingan lain. Ia diangap terlalu membebek kepada gurunya, seorang filosof jenius dari Malaysia, Prof Dr Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Bagaimana putra ke delapan KH Imam Zarkasyi (pendiri Gontor) menjawab tudingan ini?
Anda kritis pada Barat tetapi tidak kritis terhadap Al-Attas?
Kita punya agenda besar sehingga mengkritik guru tidak menjadi prioritas kami. Selain itu, menangkap ide besarnya saja sudah menjadi masalah sendiri, apalagi untuk mengkritik. Pengetahuan kami tidak cukup untuk memberi kritik.
Bahwa ada hal-hal yang bisa dikritik dari Al-Attas, itu benar. Misalnya, ia dibilang orang tidak banyak tahu syariah. Kritik itu benar, karena ia memang bukan ahli fikih. Ada pula yang mengkritik idenya terlalu filosofis sehingga sulit dipahami orang awam.
Dari pada mengkritik, ada hal yang lebih penting yaitu mendukung ide-ide besarnya.
Apa kesan Anda terhadap Al-Attas?
Kami merasa tidak hanya belajar pada seorang profesor, tapi kami seperti mendapat mandat untuk menyelesaikan ide-ide besarnya, yang belum sempat ia selesaikan. “Ini lho tugas yang harus kita bereskan. Saya tak sanggup lagi karena sudah tua, kalian yang lebih muda yang harus menyelesaikan,” begitu bahasa yang saya tangkap darinya.
Dia juga sangat senang pada mahasiswa yang menulis lebih kreatif dan detil soal isu-isu yang ia bicarakan. Saya pernah menulis di jurnal ISTAC isu yang ia bicarakan. Lalu saya dipanggil, “Bagus,” katanya.
Dia juga peduli kepada keadaan umat Islam Indonesia. Ia bertanya pada saya soal masalah umat Islam di Indonesia. Saat itu di Indonesia lagi ramai dibicarakan pendapatnya Nasir Hamid, ilmuwan dari Mesir. Nasir bilang al-Qur`an itu hasil budaya.
Kata Al-Attas, kalau produk budaya Arab, mengapa Islam dan al-Qur`an ditentang oleh orang-orang Arab sendiri. Menurut saya jawaban itu logis. Tak mungkin ditentang bila al-Qur`an itu produk budaya Arab.
Beberapa tokoh pengusung liberalisme itu lulusan Gontor. Bagaimana itu bisa terjadi?
Saya sering mendapat pertanyaan seperti itu. Saya tegaskan, Gontor tidak mengajarkan liberalisme dan sekularisme. Tapi harus saya akui, dulu santri Gontor worldview-nya belum kuat. Di sisi lain, semangat Islamnya kuat. Maka yang terjadi adalah tergantung orang-orang yang memakainya atau pergaulannya.
Contohnya Cak Nur (Nurcholis Madjid), saat lulus dari Gontor masih bagus. Ia sosok yang idealis dan anti Barat. Tapi begitu keluar dari Gontor dan kemudian dikelilingi orang yang pikirannya macam-macam, jadilah dia orang yang mengibarkan liberalisasi Islam.
Agar itu tidak terjadi lagi, apa yang dilakukan Gontor?
Sebelum lulus (pada kelas akhir), santri kita bekali tentang berbagai aliran-aliran yang menyimpang dari Islam, misalnya Syiah dan sebagainya. Termasuk tentang liberalisasi Islam. Kita juga undang alumni untuk menjelaskan peta pemikiran yang ada di masyarakat. InsyaAllah, dengan begitu worldview santri menjadi matang.
Apa nilai yang Anda tangkap dari ayahanda?
Waktu kelas V (di Gontor) beliau menyuruh saya menulis cerita ke dalam bahasa Arab. Itu untuk melatih bahasa Arab saya. Waktu mahasiswa beda lagi. Saya diberi buku dan disuruh baca. Minggu depannya saya diminta cerita isi buku tersebut.
Saya oleh beliau diobsesikan seperti Mukti Ali, mantan Menteri Agama RI. Dia memperoleh gelar doktor dari Pakistan, karena itu saya dikirim ke sana juga. Waktu saya berangkat itulah pertemuan saya terakhir dengan ayah. Saat saya di Pakistan beliau wafat. Sebelum meninggal, beliau sempat berpesan, “Kamu harus meraih doktor. Ilmumu tak hanya bermanfaat bagi Gontor, tapi juga Indonesia.” Alhamdulillah, saya bisa menjalankan wasiat beliau.*