ISU-isu terkait pers, media massa, dan media Islam terus menghangat ke publik belakangan ini. Apalagi beririsisan dengan Hari Pers Nasional (HPN) yang diperingati setiap 9 Februari.
Misalnya, pro kontra terkait pemblokiran sejumlah media-situs Islam oleh pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika beberapa waktu lalu.
Juga berkaitan dengan berita-berita palsu (hoax) yang semakin memvirus. Selain isu itu, baru-baru ini timbul kontroversi terkait verifikasi media massa oleh Dewan Pers.
Terkait kebebasan pers, Penulis Buku Fikih Jurnalistik, Faris Khoirul Anam mengatakan, media Islam memandangnya sebagai sesuatu yang penting.
Faris pun menyinggung kebijakan pemerintah terhadap media-media Islam. Jangan sampai penyebaran ajaran agama, termasuk lewat media Islam, dilarang.
Lebih lengkapnya, simak wawancara Kelompok Media Hidayatullah dengan anggota Dewan Pakar Aswaja Center Nahdlatul Ulama Jawa Timur ini beberapa waktu lalu!
Bagaimana seharusnya media Islam menjalankan aktivitas agar sesuai dengan tuntunan fiqih sekaligus etika jurnalistik?
Sebenarnya banyak aturan pers –meski tidak semua—yang sejalan dengan ajaran Islam. Media Islam memandang penting kebebasan pers karena setiap Muslim memiliki kewajiban untuk ber-amar makruf nahyi munkar dan berdakwah, namun harus memperhatikan konsep dasar kerja pers.
Media Islam harus menjadi contoh kejujuran. Sempurnakan kejujuran dengan akurasi, objektif dalam menjelaskan kejadian, mematuhi kode etik jurnalistik, menolak amplop, dan memperhatikan hak cipta.
Media Islam juga harus memperhatikan larangan dalam pemberitaan, misalnya mengekspos kebohongan, merugikan nama baik, ghibah, menghina, menyebarkan pornografi, dan sebagainya.
Komisi Infokom MUI Pusat: Situs Media Islam Yang Diblokir Merupakan Produk Pers
Beberapa media yang disebut-sebut hoax lantas diblokir oleh Pemerintah. Tanggapan Anda?
Hal ini memang menjadi pro kontra ya. Secara umum kami memiliki beberapa catatan. Pertama, prosesnya, harus objektif dan melewati uji publik. Tidak dilakukan sepihak oleh pihak yang mendudukkan diri sebagai “penguasa informasi”. Harus ada pengkajian, klarifikasi, dan seterusnya.
Kedua, subjeknya. Kementerian bukanlah pengadilan. Pemblokiran adalah sanksi, dan ada lembaga tersendiri yang memiliki wewenang untuk ini.
Ketiga, standar penilaiannya. Pembukaan UUD 1945 menegaskan bahwa negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa.
Janganlah melarang penyebaran informasi (termasuk lewat media. Red) yang mengajak pada iman dan akhlak mulia, sementara informasi yang mengajak pada kekufuran, kemusyrikan, ateisme, penistaan agama, perzinaan, alkoholisme, dan sejenisnya justru dibiarkan bahkan difasilitasi.
Tangkap Jurnalis, Kepolisian Dinilai Ancam Demokrasi dan Kebebasan Pers
Apa sih yang disebut hoax dalam pandangan fiqih jurnalistik?
Hoax adalah berita palsu. Pembuatnya berusaha mengelabui pembaca agar mempercayai berita bohong yang dia palsukan.
Berita apapun bisa mengandung kebenaran atau kesalahan, kecuali berita dari Allah Subhanahu Wata’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Yang jelas, kebohongan merupakan kejahatan yang dilarang dalam ajaran Islam.
Hoax Tumbuh Akibat Ketidakpercayaan Terhadap Pemerintah dan Pers
Bagaimana tinjauan dalilnya?
Allah Subhanahu Wata’ala melaknat para pembohong. “Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta.” (An-Nahl [16]: 105).
Bagaimana mengidentifikasi bahwa suatu berita dikategorikan hoax?
Sangat butuh kecermatan dalam mengidentifikasinya. Pertama, sumber beritanya familiar atau tidak. Saat ini bertebaran website abal-abal. Ini bisa menjadi penilaian awal validitas beritanya. Kedua, perhatikan judulnya. Berita hoax biasanya judulnya cenderung bombastis.
Ketiga, lihat isinya secara umum. Jika banyak kutipan langsung, berarti penulis atau wartawannya telah melakukan wawancara kepada narasumber dan melakukan cover both side. Namun bila sebaliknya, hati-hati itu hoax.
AJI: Jokowi Ingin Kekang Kebebasan Berpendapat dan Kebebasan Pers
Keempat, tulisan hoax cenderung mengarahkan pembacanya untuk berpihak pada pihak tertentu. Biasanya berisi hate speech (ujaran kebencian), provokasi, atau hinaan.
Pemakai media sosial harus mengkaji, meneliti, memahami, sehingga bisa membedakan antara fakta dan isu. Selanjutnya harus cermat dalam mengambil keputusan, berita itu diterima atau tidak, disebarkan atau tidak.
Dalam konteks agama, ini dikenal dengan wara’, yakni kehati-hatian yang luar biasa.* Pambudi Utomo, SKR [Hasil wawancara lebih lengkap silakan baca majalah Suara Hidayatullah edisi Februari 2017 pada rubrik “Wawancara”]