Hidayatullah.com | Sejak awal Maret 2020, pertama kalinya pemerintah melalui Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus positif pertama Covid-19 di Indonesia, sudah sekitar dua bulan masyarakat menanggung berbagai resiko dan dampak pandemi virus corona jenis baru.
Dampak yang paling dirasakan terutama oleh kalangan menengah ke bawah adalah sektor ekonomi. Selain terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) berjuta-juta karyawan, sektor usaha mikro kecil menengah (UMKM) juga paling terdampak. Ekonomi rakyat menurun drastis.
Kapan pandemi ini berakhir, sebuah pertanyaan yang masih sulit ditebak kepastiannya. Ada yang memperkirakan wabah Covid-19 di Indonesia berakhir pada Juni mendatang. Sementara menurut Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, Selasa (05/05/2020), Covid-19 “sudah mulai bisa dikendalikan”.
Jika memang kasus Covid-19 segera berakhir sebagaimana diharapkan banyak pihak, apa harus segera dilakukan? Menurut Kepala Bagian Perencanaan dan Pengembangan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), Khuzaifah Hanum, ekonomi masyarakat harus segera dipulihkan.
Seperti apa? Khuzaifah mengungkapkan kepada Azim Arrasyid, wartawan hidayatullah.com dalam wawancara yang dilakukan jarak jauh karena adanya PSBB, penghujung April 2002 lalu. Berikut petikannya!
Sejak Covid-19 masuk ke Indonesia, sejauh mana ekonomi masyarakat terdampak menurut Baznas?
Covid-19 itu secara langsung kan menyerang sistem kesehatan kita ya secara masyarakat. Yang dilakukan oleh pemerintah adalah Social Distancing, sebetulnya yang dilakukan udah cukup tepat walau agak lambat. Tadi dikabarkan Covid-19 itu masuk bulan Maret ya. Tapi dari Peneliti UI di Rumpun Kesehatan mengingatkan Covid-19 itu sudah terindikasi dari data pemerintah sejak Januari, cuma enggak dibuka.
Sebetulnya ada dampak, turunan dari Covid-19 ini, dia tidak hanya menyerang fisik kesehatan tapi menyerang sisi ekonomi masyarakat. Otomatis semua pekerja terdampak aktivitas bekerjanya. Yang dipabrik, mereka dirumahkan. Yang di kantor-kantor mereka juga sudah tidak aktif. Walaupun sebagian dari mereka bekerja dari rumah, tapi mungkin, sedikit sekali efektifitasnya dalam urusan bisnis.
Tapi perekonomian kita sebagian besar dari ekonomi mikro ya. Perkantoran di Jakarta itu punya ekonomi turunannya, yaitu UKM, pedagang makanan yang ada di sekitar perkantoran itu, otomatis itu berhenti. Lalu ada juga yang terdampak besar ada ojek online, yang mereka biasanya hidup di celah-celah kemacetan, sekarang ini hampir tidak mendapat orderan, walau pun jasa pengantaran barang masih tetap berjalan.
Jadi sebenernya Covid-19 ini, dia berdampak secara makro, tapi ekonomi yang sifatnya mikro juga terdampak berdampak. Pedagang kali lima, yang sebenarnya mereka ini hidup dari aktivitas perkantoran, pabrik, kantor mereka berhenti, maka supporting bisnisnya juga berhenti. Warung-warung makan banyak yang tutup, jadi sebenarnya hampir semua terdampak.
Kalau PNS walaupun mereka tidak ngantor mereka tetap digaji oleh APBN, tapi yang swasta ini. Mulai goyang yak, bisnis tidak jalan maka kemampuan perusahaan untuk membayar gaji untuk pegawainya berpengaruh. Karena tidak mungkin dia membayar gaji itu sementara pendapatannya menurun atau bahkan berhenti. Jadi semua lini terkena, tapi yang paling parah sebenarnya usaha mikro.
Sejauh ini Baznas sudah melakukan pemetaaan soal itu?
Iya, sejak pandemi Covid-19, Baznas pertama-tama kali kita melakukan WFH (work from home), kita menyebutnya BDR (Bekerja Dari Rumah) walaupun sebagian menyebutnya “Badar” gitu, “Perang Badar nih”. Baznas memprediksi ini bakalan panjang, karena Baznas melihat gelagat pemerintah yang tidak tegas dalam hal arus masuk pekerja dari luar terutama dari China.
Jadi imbauan untuk WFH dari Presiden udah lebih dulu kami melakukannya, sebelum ada intruksi dari pemerintah.
Di internal Baznas, kami udah membuat skema darurat tersebut.
Nah, langkah kedua kami ingin mencoba memaksimalkan layanan kepada masyarakat. Jadi kami setiap tahun memiliki dokumen perencanaan yang disebut RAKP. Tapi kami saat ini banyak melakukan penyesuaian terkait dengan penyaluran zakat ini. Hampir sebagian besar bisa dikatakan difokuskan penyaluran ini untuk recovery, untuk masyarakat miskin yang terdampak Covid-19 ini.
Skemanya ada dua sebenarnya, bagi yang terdampak langsung atau yang kedua terdampak tidak langsung.
Terdampak langsung adalah keluarga miskin yang keluarganya terkena Covid-19, jadi diberikan bantuan baik pengobatan, maupun kebutuhan ekonominya. Sementara yang kedua di sini, mereka yang tidak terkena Covid-19 tapi usaha mereka terhenti karena kondisi hari ni.
Jadi Baznas sendiri membuat tiga skenario. Pertama adalah, fase menuju, out break di awal-awal kemarin, ketika pemerintah belum merespons Baznas udah membuat.
Skenario pertama yaitu mitigasi atau pengendalian penyebaran. Kita mendorong pekerja-pekerja informal untuk bargabung dalam program namanya cash for work. Jadi kami mengundang umumnya supir-supir, ojek yang mereka kekurangan orderan. Kita tawari untuk membersihkan sarana transportasi publik, waktu itu masih belum ada Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB). Jadi kita mempekerjakan sopir-sopir ojek untuk membersihkan transportasi umum.
Yang kedua adalah, program skenario kedua ketika dalam kondisi bencana. Tepat ya hari ini, hari ini aktivitas ekonomi masyarakat terhenti. Baznas menyiapkan semacam aset ketahanan keluarga untuk masyarakat miskin di wilayah Jabodetabek, walaupun memang, masih dalam proses finishing (akhir Aprili, red). Baznas mengajak lembaga zakat lain, baik Baznas di provinsi atau Baznas di daerah dan juga LAZ-LAZ yang ada untuk menyusun skema program kerja yang sama; ketahanan pangan bagi keluarga miskin.
Karena kalau Baznas sendiri, kita enggak sanggup untuk meng-cover semua, penduduk di Jabodetabek.
Alhamdulillah respons teman-teman dari Forum Zakat (FOZ) positif, mereka juga mendukung. Pemerintah kan menjanjikan akan adanya Bantuan Langsung Tunai, itu udah hampir sebulan disampaikan tapi sampai sekarang (saat wawancara, red) skenario anggaran juga belum berubah. Jadi Baznas dan teman-teman Laz mengantisipasi ini.
Banyak keluarga miskin dan rentan miskin, yang mengalami guncangan ekonomi hari ini. Jadi yang awalnya dia enggak miskin, dia enggak masuk dalam data penerima manfaat kartu-kartu miskin pemerintah. Dalam kondisi begini mereka terpuruk secara ekonomi.
Sederhananya, yang biasanya dagang gitunya, punya warung Tegalan, dia awalnya bukan orang miskin, tapi karena kondisi hari ini omsetnya turun. Nah Baznas dalam kondisi begini mencoba mensikapi masyarakat yang dalam kondisi tersebut.
Yang ketiga adalah recovery (pemulihan). Strateginya mungkin dilakukan setelah pemerintah menyatakan periode penyebaran Covid-19 selesai. Tapi yang ketiga ini masih agak lama seperti itu.
Rencana skema recovery ini seperti apa yang disiapkan Baznas?
Recovery belum kita jalankan dalam waktu dekat. Tapi kira-kira mencoba membangkitkan ekonomi masyarakat miskin dalam bentuk pelatihan, pengelolaan usaha, bagaimana bangkit dari keterpurukan ini.
Sebenarnya Baznas sedang lakukan floating project dengan membuat komunitas-komunitas bisnis informal. Cuma ini masih terbatas.
Hari ini ada hikmahnya juga ya, kondisi pandemi hari ini ekonomi ultra masyarakat bergerak hari ini. Yang tadinya belanjanya ke super market, ke retail besar, hari ini muncul jaringan-jaringan sosial perdagangan dari grup-grup WA. Itu saya pikir bagus dan ke depan, justru akan membangkitkan ekonomi mikro.
Jadi Baznas juga melihat itu, misal ada yang mulai merintis dagang menyediakan suplai sembako dan petani, diperkuat jaringan usahanya.
Berarti ini terkait ketahanan pangan masyarakat. Pada konteks ini, bagaimana pandangan Anda?
Sebenarnya kalau saya melihat Covid-19 itu justru sangat cepat menyebar di wilayah perkotaan, ketika interaksi sosial tinggi. Sementara kalau di desa, Covid-19 itu agak lamban menyebar, tapi dampaknya di desa lebih buruk dibanding di kota. Kalau di kota ketika (seseorang) terindikasi, dia bisa langsung dilayani dengan fasilitas kesehatan. Tapi kalau di desa, ketika dia terdampak, prosesnya jadi agak lambat.
Secara ekonomi, ketahanan pangan di desa tetap diharapkan jadi suplai pangan bagi masyarakat kota. Artinya Baznas mencoba begitu ya tetap mempertahankan aktivitas ekonomi di desa.
Baznas dan FOZ kita berkoordinasi, terkait penyiapan logistik masyarakat miskin di kota yang itu dibeli dari petani-petani mustahik di desa. Jadi ini harus dijaga. Kalau tidak, kita berikan bantuan langsung tunai, nanti orang miskin atau mustahik yang dapat bantuan tunai kan mereka engga beli dari mustahik yang di desa gitu ya, tapi mereka beli dari retail besar. Jadi justru dampaknya ekonomi mati gitu, harta terserap ke retail besar, sementara petani-petani di desa kelimpungan dengan produk-produk mereka.
Jadi dalam hal kondisi ini Baznas mencoba menjembatani itu, enggak cuma Baznas sih, Baznas bekerja sama dengan Laz.
Menurut Anda, sejauh mana pemerintah fokus dalam ketahanan pangan saat ini?
Jadi kami di gerakan zakat juga gemes dengan keberpihakan pemerintah terhadap petani ya. Sejak 2009 gerakan zakat udah berinisiatif pemberdayaan terhadap petani, memproduksi beras secara mandiri. Tapi apa yang terjadi ketika panen gitu ya, pemerinah itu malah memberkalukan impor beras.
Yang pertama hak impor itu hanya dikuasai oleh kelompok tertentu aja, artinya ada orang-orang yang menikmati impor beras itu.
Yg kedua adalah harganya beras impor itu jauh di bawah kapasitas produksi masyarakat lokal, ini juga problem. Ini kenapa petani-petani lokal itu produksi berasnya mahal, karena efektifitas pertaniannya rendah. Lahan yang dimiliki terbatas, sehinga produksi ya tidak besar-besar banget. Sederhananya begini.
Satu orang petani idealnya dia mengelola sawah itu 1 sampai 2 hektare, itu satu orang ya. Jadi satu orang bisa bekerja mengelola satu hingga dua hektare dengan alat produksi yang di-support mesin traktor.
Baca: BAZNAS: Berdayakan Petani, Hindari Petaka Ganda Pandemi
Hari ini petani paling memiliki lahan cuma 500 meter (persegi). Artinya apa? Dia bekerja sangat tidak efektif banyak nganggurnya, karena waktu produksinya banyak terbuang, kuantitas produksinya rendah, maka harga pokok produksinya jadi mahal. Ini yang jadi problem petani kita gagal bersaing dengan beras-beras impor.
Nah, Baznas dan Laz melakukan pemberdayaan di sisi itu. Bagaimana melakukan intensitensi pertanian, jadi waktu produksi petani itu efektif. Produktivitas naik, harga turun.
Isu Ketahanan pangan sebenarnya adalah isu keberpihakan saja. Mau berpihak kepada petani atau kepada, pengusaha-pengusaha yang memegang hak impor itu. Isu ya di sini.
Sejauh mana pengaruh pandemi saat ini terhadap perolehan zakat, infak, dan sedekah?
Kondisi ini memberikan dampak di dua sisi sekaligus. Yang pertama adalah dari sisi pengumpulan. Dari data muzakki kita umumnya dari kelompok kelas menengah. Kelas menengah itu mereka yang bekerja di perusahaan, di perkantoran, di pabrik, mereka umumnya bukan pengusaha.
Artinya ketika kondisi hari ini, pendapatan mereka juga turun gitu ya. Maka dari sisi ini, belanja mereka untuk bersedekah, kalau zakat mungkin tidak berubah, tapi bersedekah dan berinfak mereka jadi berkurang, karena mereka dalam kondisi membutuhkan juga. Itu sih di satu sisi.
Nah ini menjadi program umum di teman-teman Laz juga, gitu. Apalagi momen Ramadhan ini hampir dari semua Baznas titik puncak pengumpulan. Jadi kalau dibuat rata-rata, Ramadhan itu bisa dibuat hampir setengah pengumpulan setahun. Bahkan ada yang lebih dari itu. Dan strategi ya diperbanyak, di mall, di perbelanjaan. Maka ketika PSBB diberlakukan, pengumpulan ini sangat dikhawatirkan turun.
Beberapa teman Laz juga sharing, mulai bertanya, bagaimana ya cara untuk mempertahankan pengumpulan di tahun ini. Di Ramadhan ini, alternatifnya mungkin ya dengan sosial media dengan digital. Walaupun ini jadi tantangan baru ya, karena engga semua muzakki familiar dengan feature digital.
Baca: BMH Yogyakarta Tebar Paket Sembako Kepada Masyarakat Terdampak Covid-19
Kedua, pandemi ini juga menerpa dari sisi penyaluran. Jadi beberapa permberdayaan sebagiannya berhenti, karena tidak mungkin (dilakukan). Terutama di kota, program yang utamanya pendampingan bagi UKM, petihan, penyuluhan, itu terhenti.
Jadi ini yang tidak kalah menghawatirkan juga. Walaupun teman-teman di penyaluran berinovasi dengan mengkonversi pertemuan fisik dengan pertemuan via alat komunikasi sosmed dan digital ya. Cuma dalam segi efektifitas tentu menurun, tidak seefektif bertatap muka.
Yang kedua adalah kebutuhan penyaluran distribusi itu jadi sangat tinggi hari ini, bantuan pangan, pembelian alat kesehatan, APD, dll. Itu jadi prioritas hari ini. Maka penyaluran bergeser dari penyaluran pemberdayaan ke arah penyaluran yang sifatnya sehari-hari.
Zakat itu kan untuk kebutuhan dasarnya, maka ketika kondisi darurat, program yang sifatnya pemberdayaan agak berkurang, bergeser ke penyaluran bantuan konsumsi dan kesehatan. Itu dampak pengelolaan zakat.
Jadi data perolehan zakat, infak, sedekah menurun atau malah meningkat?
Saya belum dapat laporan resmi dari teman-teman, Laz juga ya, kalau dari Baznas sendiri kami merasakan adanya penurunan itu.*