Hidayatullah.com–Ribuan orang sudah berkumpul pagi itu. Mereka sudah mulai datang berjejal dari berbagai kota. Sebagaimana biasa, Ahad, adalah hari paling ditunggu banyak orang. Sebagian menjadikannya untuk mencari tempat hiburan, setelah hampir sepekan bekerja tanpa kenal lelah. Sebagian lain, justru menjadikan sebagai hari “pesta” untuk bertemu pasangan tercinta.
Di tempat ini, Victoria Park, adalah tempat mangkal ribuan Buruh Migran Indonesia (BMI). Sebagian orang menyebutnya sebagai “kampung Jawa”. Maklum, di tempat ini, dengan mudah ditemui para TKW yang umumnya datang dari pulau Jawa.
Pagi itu, Ahad, (25/3), Bunga (24), nampak termenung sendirian. Ia seolah tak terpengaruh dengan hiruk-pikuk para ABG (Anak Baru Gede) yang mulai membanjiri lapangan itu.
Tidak seperti biasanya, hari itu ia seolah sedang memikirkan sesuatu hal yang berat. Hidayatullah.com, yang menemuinya berusaha mengajaknya ngobrol panjang lebar. Mulai tentang pekerjaan, keluarga, dan masa depan setelah kembali pulang ke Indonesia. Seolah seperti sahabat lama, Bunga akhirnya bercerita tentang kehidupannya dan kemelut yang sedang melilitnya.
Wanita tomboy asal Malang ini mengatakan, tahun yang lalu ia meninggalkan negara tercinta karena ingin memperbaiki taraf hidup keluarga. Pilihannya jatuh pada negeri ribuan beton bernama Hong Kong.
“Saya ingin membantu orangtua, saya ingin ada perubahan berarti akan nasib yang menimpa keluarga saya yang hidup pas-pasan, “ ujarnya sembari menerawang.
Ia mengaku, ketika pertama menginjakkan kaki ke Hong Kong, rasa takut menghinggapi dirinya. Sebuah negeri asing dengan perbedaan budaya yang kontras dengan di Indonesia.
“Saya bersusah payah beradaptasi dengan budaya dan gaya hidup Hong Kong,” ujarnya kepada hidayatullah.com.
Ia mengaku kaget alang-kepalang. Sebelum ini, ia hanya seorang gadis kampung biasa. Betapa terkejutnya tatkala melihat gaya kehidupan anak muda Hong Kong, termasuk anak-anak Indonesia yang bekerja di Hong Kong yang jauh dari tempatnya lahir, di sebuah perkampungan kota Malang.
“Saya berpikir, kok begini ya mereka, cara berdandannya, cara bergaulnya. Sungguh sangat jauh dengan anak-anak muda di kampung tempat tinggal saya, “ ujarnya.
Terseret Jauh
Meski agak kaget, ia berusaha untuk berlaku biasa. Pengalaman pertama gegar budaya ini terjadi ketika pertama kali ia mendapat jatah libur dari sang majikan.
Hari itu, ia berkenalan dengan rekan-rekan mereka asal Indonesia. Bunga mengaku merasa senang. Ia menemukan teman-teman baik. Setidaknya, ia merasa tidak terlalu asing di tempat baru.
Suatu hari, setelah beberapa bulan kehadirannya di negeri itu, ia baru sadar, tiba-tiba Bunga merasa sudah berjalan terlalu jauh. Ia melihat tanda-tanda aneh terhadap beberapa sahabat dan rekan-rekannya itu. Sesuatu kehidupan tak normal dengan gaya hidup negeri itu.
Meski demikian, Bunga mengaku menikmati apa yang dilihatnya. “Namun saya nikmati saja persahabatan ini, hingga akhirnya saya terseret pergaulan yang tidak sehat, jatuh pada dunia lesbi, ” akunya. Tanpa terasa, Bunga mengaku sudah terhanyut pada kehidupan lesbian, mencintai sesama jenis ini.
Meski nuraninya sebagai wanita normal sering memberontak, dan tetap merasa aneh, Bunga mengaku sangat sulit dan tidak mampu keluar dari lingkungan pergaulan tersebut.
Roda kehidupan glamour Hong Kong dan dunia lesbian, ia rasakan seperti mesin-mesin raksasa, sementara dirinya hanya sekrup-sekrup kecil. Mesin-mesin besar itu, seolah terus berjalan dan menggilas sekrup-sekrup kecil di depannya.
Bunga mengaku, awal mula jatuh di dunia lesbong, begitu istilah lain para pencinta sesama jenis ini, karena salah melampiaskan permasalahan. Ketika itu, ia mengaku telah memiliki masalah dengan sang majikan dan persoalan keluarga di Indonesia.
Sayangnya, semua persoalan itu tak penah kunjung mendapat jalan penyelesaian. Di saat Bunga tak mampu menyelesaikan segala persoalan itu, ia bertemu dengan teman-teman baru yang mengajaknya untuk mengarahkan segala persoalan dengan cara bersenang-senang. Jadilah ia terjerembab di dunia pecinta sesama jenis ini.
Kedok Kelompok Seni
Hasil penelusuran hidayatullah.com, para penganut lesbianis ini terdiri dari beberapa tingkatan, tidak dalam satu genre. Ada yang berada pada tingkat biasa, hanya sekedar berpakaian tomboy dan pacaran, tidak lebih dan tidak kurang. Namun ada pula tingkatan sedang, mereka berpenampilan tomboy, berpacaran dengan sesama jenis, bergaul dengan grup yang mendukung.
Kelompok yang ini, gaya pacarannya memakai hati dan perasaan. Jika punya masalah cinta atau putus hubungan, bisa menyebabkan frustasi, bahkan ada yang sampai bunuh diri.
Yang terakhir adalah tingkatan yang parah. Kelompok ini, selain bisa frustasi jika patah hati, mereka memperlakukan dirinya seperti layaknya orang normal. Terkadang sampai mengingat janji dalam sebuah ikatan perkawinan dan (maaf) kadang berani melakukan operasi kelamin agar bisa menikah dengan pasangannya. Kelompok seperti ini biasanya sulit untuk kembali pada kehidupan normal.
Beberapa cerita dari para pelaku lesbi, untuk dapat sesuai dengan kelompok-kelompoknya, mereka harus menghabiskan cukup banyak uang dan biaya guna menunjang penampilannya. Menurut cerita, mereka gengsi memakai pakaian, kosmetik atau aksesoris dengan merk rendahan. Tak tak heran jika mereka rela membuang ribuan dollar tiap bulan untuk shopping.
Mereka juga tak nongkrong di tempat-tempat murahan. Yang ada adalah kafe, bar, diskotek, dan tempat-tempat hiburan berkelas. Ada juga di antara mereka membentuk grup-grup dance (tarian modern). Kualitas para dancer tersebut tidak diragukan lagi kemampuannya, saat tampil dalam event-event tertentu.
Sebuah perkumpulan wanita-wanita tomboy, sebut saja namanya “Grup Fruit”, memfokuskan pada kegiatan menari tarian modern. Kepada hidayatullah.com, seorang anggota mengatakan, awalnya para pekerja ini susah mendapati tempat yang tepat untuk menyalurkan kegiatan hiburan atau seni. Mereka menilai, pemerintah Indonesia kurang menyediakan tempat menyalurkan kegiatan warganya di sela-sela pekerjaan rutin.
Karena khawatir terjebak pada kebiasaan dugem (dunia gemerlap, red) atau dunia obat terlarang, mereka akhirnya membuat grup tarian modern (dance). Mereka menilai, kegiatan ini positif nilainya, setidaknya bisa menyibukkan pada kegiatan tari-tarian.
Salah satu anggota grup, yang tak mau namanya disebutkan, bercerita bahwa dia bersama teman-temannya yang sepemikiran bertemu tiap hari libur, khususnya hari Ahad. Awalnya disepakati bertemu di taman, namun belakangan berubah pendirian. Agar tidak monoton, pertemuan tidak harus di tempat sama, tergantung kesepakatan.
“Biasanya jika ada anggota baru, kami akan bersama-sama mengajarinya agar beradaptasi dengan cara grup kami, dan jumlah kami tidak tetap, mengalir apa adanya saja. Kalau ada yang bergabung, ya kami terima. Kalaupun tidak ada yang mau bergabung, ya kami tidak pernah mencari anggota baru, “ ujarnya lebih jauh.
Taubat
Tak susah melihat perilaku para lesbong di tempat ini. Pemandangan percintaan kaum sesama jenis ini sangat mudah di jumpai di beberapa sudut kota Hong Kong. Dengan penampilan yang mudah dikenali, berpenampilan tomboy ala laki-laki, terkadang tanpa malu memadu cinta dengan pasangannya di sembarang tempat. Maklum, di negeri yang sempat dimiliki Inggris ini, bercinta merupakan hak individu.
Karena kondisi lingkungan seperti itu, memungkinkan kaum yang perilakunya sangat dibenci Al-Quran ini bisa melampiaskan nafsu nya di mana saja.
Hanya saja, untuk Bunga, petualangan seperti itu rupanya sudah mulai pada titik jenuh. “Saya pribadi sangat merindukan sahabat ikhlas yang mau membantu saya dan rekan-rekan keluar dari kehidupan yang menyimpang ini, “ ujarnya pada Hidayatullah.com dengan mata beningnya menerawang.
Ada sedikit harapan Bunga kepada banyak pihak, setidaknya ia ingin agar ada pihak yang ikut menyelamatkan generasi BMI dari “jebakan” dunia kaum lesbong ini. “Saya berharap, pemerintah membekali pendidikan secara cukup kepada calon TKW agar ketika diberangkatkan, mereka tak terjerumus dunia lesbian, “ ujarnya. Baginya, untuk menjadi lebih baik, seperti manusia normal, tak ada pilihan lain kecuali pulang ke kampung halaman. “Rasanya tidak mungkin untuk berubah jika saya masih berada di sini. Jika sudah pulang ke Indonesia nanti, saya ingin bertaubat dengan benar-benar taubat. “Walaupun saya dan teman-teman berada dengan kehidupan yang menyimpang seperti ini, tapi kami berusaha untuk tetap menabung dari gaji kami tiap bulan, sebagai bekal persiapan pulang nanti, meskipun kadang-kadang kami harus absen menabung karena besarnya biaya yang kami gunakan untuk foya-foya, “ imbuhnya.
Bunga tak lupa memberi pesan pada mereka yang baru datang ke Hong Kong atau anak-anak desa yang masih bercita-cita bekerja di tempat ini. “Saya imbau kepada rekan-rekan yang baru datang, agar tidak mengikuti jejak kami, bercinta dengan sesama wanita, karena jika sudah terjebak dengan kehidupan ini, akan susah untuk keluar,” ujarnya menutup pembicaraan. [anna/cha/hidayatullah.com] foto: anna/hidayatullah.com
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/