KINI ada yang berbeda di masjid Sulthan Hasan, di hari Kamis siang masjid itu kini dipenuhi dengan penuntut ilmu dan jama’ah shalat dzuhur di hadiri 400 panuntut ilmu yang dari berbagai negeri. Mereka datang untuk mendengar penjelasan tafsir Al Jalalain yang disampaikan oleh Dr. Hisyam Al Kamil. Sedangkan di hari-hari biasanya, jumlah jama’ah shalat amat sedikit jika dibandingkan dengan kemegahan masjidnya. Demikian pula majelis ilmu di masjid ini, tidak terdengar gaungnya, meski pada awalnya masjid ini adalah madrasah besar bagi 4 madzhab, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.
Masjid Sulthan Hasan bin Nashir Al Qalawun terletak di lokasi amat strategis, yakni berhadapan dengan benteng Shalahuddin. Masjidnya sendiri memiliki kubah dan menara berukuran amat besar dan indah. Bangunannya pun amat tinggi dan kokoh, mirip dengan sebuah benteng. Namun shalat jama’ah di masjid di hari-hari biasa tidak dihadiri banyak orang. Meski sejumlah wisatawan asing keluar-masuk untuk menikmati keindahannya.
Al Maqirizi menyampaikan bahwa menyebutkan bahwa tidak ada dijumpai sebelumya masjid dan sekolahnya yang ukurannya sebesar masjid ini. Pembangunannya memakan waktu 30 tahun. Tiap harinya memakan anggaran sebesar 20 ribu dirham. Karena proses pembangunan yang begitu berat, Sulthan sendiri menyampaikan,”Kalaulah tidak ada yang menyatakan bahwa penguasa Mesir tidak mampu menyelesaikan pembangunan masjid ini, maka aku tidak akan meneruskannya.”
Pada awalnya Sulthan Hasan berencana membangun 4 menara. Namun ketika pembangunan menara ke tiga selesai, tak lama kemudian menara itu roboh, hingga menyebabkan meninggalnya 300 anak yatim yang sedang berkumpul untuk memperoleh santunan. Sehingga, kini hanya tersisa dua menara saja.
Menjadi Markas Pemberontak
Posisi masjid yang berhadapan dengan benteng, sekarang dikenal dengan sebutan benteng Shalahuddin ini menjadikan bangunan ini cukup strategis. Al Maqrizi melaporkan bahwa di masa dinasti Mamalik, masjid yang dibangun tahun 758 H ini dijadikan sebagai lokasi penyerangan terhadap benteng. Di masa itu sejumlah amir yang memberontak berdiri di atas masjid dan melontarkan tembakan meriam.
Karena posisi masjid yang tingginya setara dengan benteng, serangan yang dilancarkan itu cukup merepotkan pihak penguasa. Sultan Janbulat yang berupaya untuk menghancurkan masjid pun menyerah, setelah tiga hari berupaya untuk menghacurkan masjid namun tidak berhasil. Akhirnya, untuk mengurangi kekuatan serangan terhadap benteng, Sultan Barquq menghancurkan tangga kedua menara masjid itu.
Kembalinya Ruh Ilmiah
Di masa ini, meski tidak terlalu marak majelis ilmu, masjid bersejarah ini menjadi tujuan wisatawan asing dan lokasi tujuan para fotografer untuk hunting obyek, serta para pelajar seni yang ingin melukis bangunan ataupun ornamen masjid. Dan dengan adanya majelis tafsir yang disampaikan oleh Dr. Hisyam Kamil di tiap hari Kamis itu, ruh masjid seakan-akan mulai menggeliat kembali, suasana ilmiah itu terasa pelan-pelan mulai hadir. Semoga suasana positif ini terus berlanjut dan semakin mengalami kemajuan.