KEDUA mata Muhamad Rafi Ediananta menatap layar laptop yang menyala. Jari telunjuk tangan kanannya sibuk berselancar di atas touchpad yang warnanya mulai memudar.
Di depan Rafi, sapaan akrabnya, terdapat lintasan robot berbentuk persegi. Sebuah Robot XLine versi 3.0 pun melaju cepat mengikuti jalur berupa garis hitam; Maze Solving, pada lintasan dengan latar berkelir putih ini.
Robot buah hasil riset sendiri itu bergerak sesuai dengan program yang sudah diatur lebih dahulu menggunakan laptop. Senyum Rafi pun pecah seketika mendapati robotnya melaju dengan sempurna.
“Lagi latihan untuk persiapan lomba Mecbot di Yogyakarta,” jelas siswa kelas XI SMA Negeri 4 Surabaya ini, ketika hidayatullah.com tanya tentang aktivitasnya di sebuah ruko pada Rabu (18/12/2019) petang itu.
Mecbot singkatan dari Mechatronic Robot. Prof. Dr. Estiko Rijanto mendefinisikan mechatronic (baca: mekatronik) sebagai rekayasa (teknologi) yang menggabungkan teknologi mesin, elektronik, dan informatika untuk merancang, mengoperasikan, serta memelihara sistem dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan.
“Mudahnya, mekatronika adalah gabungan dari ilmu teknik mesin, teknik elektro, teknik informatika, dan teknik kendali,” jelas Estiko pada satu artikel di website Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2 TELIMEK LIPI).
Rafi tak sendiri. Di ruang sempit lantai 3 sebuah ruko di Surabaya tersebut, juga ada 5 anak muda sejawatnya yang bergelut dengan robot serupa.
Ibarat pepatah, demi meraih mimpi, ketiga tim (tiap tim terdiri dari 2 orang) ini rela mati berkalang tanah. Hampir setiap waktu; siang, sore, dan malam selama sepekan tak pernah kendor untuk latihan, baik secara mandiri maupun didampingi oleh sang mentor.
Mereka adalah murid Adicita Wiraya Guna (AWG) Robotic Course Surabaya. Sebuah tempat kursus robotika, yang muridnya banyak mendapatkan gelar juara ataupun penghargaan. Tak sekadar dari ajang kompetisi di dalam negeri, tetapi juga luar negeri mulai dari Malaysia, Thailand, Korea Selatan, Beijing, sampai Osaka-Jepang.
Sementara, segudang prestasi yang pernah disandang Rafi antara lain Juara I Lomba Mecbot 2018, Juara I Kontes Robot ITS Expo, Juara I Kontes Robot Nusantara, dan seterusnya.
“Seru, belajar robotika. Ada kepuasan tersendiri, ketika ikut lomba lalu mendapat juara. Terus, dapat hadiah uang yang bisa ditabung. Juga teman baru. Mungkin di arena lomba mereka menjadi lawan, tetapi ketika kompetisinya berakhir bisa jadi teman baik,” ujar Rafi.
Rafi berharap, semakin banyak generasi muda yang tertarik sama dunia teknologi. Karena, perkembangannya setiap waktu semakin maju. Buah manfaat yang bisa dipetik dari mempelajari teknologi, pun sangatlah bejibun, baik untuk diri sendiri maupun masyarakat.
Bermula Ingin Mendongkrak Nama Sekolah
Hendro Yulius Suryo Putro menjadi salah seorang sosok penting yang mencetuskan berdirinya AWG Robotic Course Surabaya.
Pria kelahiran Mojokerto, 18 Mei 1985 ini, memang memiliki ide-ide yang cemerlang, di luar gagasan kebanyakan orang. Ia selalu berpikir ke depan mengikuti perubahan zaman, seperti teknologi yang terus berkembang sampai sekarang.
“Bermula dari tahun 2007, ketika saya diterima bekerja di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Islam al-Azhar 13 Surabaya. Saya jadi guru mata pelajaran fisika,” lelaki yang akrab dipanggil Hendro ini membuka cerita.
Waktu itu, kata Hendro, jumlah muridnya setiap tahun mengalami penurunan. Saat pertama kali ia mengajar, murid kelas VII cuma 6 orang. Lalu, murid kelas VIII ada 14 orang. Sedangkan murid kelas IX mencapai 32 orang.
“Dulu, nyari murid itu susah sekali. Nyari 20 orang saja, susahnya minta ampun,” katanya menghela napas.
Awal tahun 2008, menjadi puncak seluruh kegelisahan. Sampai-sampai, pengurus yayasan ingin menutup SMP Islam al-Azhar 13. Namun, dengan penuh keyakinan, Hendro bergegas menawarkan sebuah solusi sebagai bentuk kepedulian.
Bak seorang pahlawan, lulusan jurusan fisika Universitas Negeri Surabaya (UNESA, 2006) ini berseru lantang, “Saya siap berjuang. In syaaAllah bisa. Minimal dapat murid 20 orang.”
Gayung bersambut, Hendro tak ingin menyia-nyiakan kepercayaan yang diberikan oleh pihak yayasan. Ikhtiar yang ia kerjakan secara total selama sekira 5 bulan berbuah kabar yang menggembirakan. Tahun ajaran baru 2008, SMP Islam al-Azhar 13 mendapat murid 20 orang. “Alhamdulillah, sesuai harapan,” ungkapnya bersyukur.
Dua tahun berikutnya (2010), putra dari pasangan Gatot Supriadi dan Siti Aminah ini mendapat amanah baru sebagai wakil kepala sekolah.
Saat itu, susahnya mencari murid masih menjadi masalah utama sekolah yang dipimpinnya. Karena itu, Hendro berinisiatif mencari jalan keluar yang benar-benar mampu menuntaskan persoalan itu.
“Nah, tahun 2010-2011 ramai-ramainya Kontes Robot Indonesia (KRI). Kalau nggak salah, 2010, KRI pernah diadakan di Kampus ITS. Waktu itu, saya lihat, kok asyik ya. Seru. Kemudian saya mikir, ini kan brand-nya teknologi. Sudah mulai akan tergantikan fungsi-fungsi pekerjaan manusia menjadi robot,” jelasnya mengenang.
Sepulang dari acara KRI, Hendro seolah mendapatkan secercah petunjuk dari Tuhan. Terbesit di dalam benaknya untuk membuat program bidang teknologi, supaya menghasilkan karya yang baik. Sehingga, diterima oleh masyarakat dengan baik. Dan yang paling utama adalah mampu mendongkrak nama sekolahnya.
“Dari situ, saya cetuskan untuk membuka ekstrakurikuler (ekskul) robotika tahun 2011. Padahal, saya nggak paham dunia robotika,” akunya seraya tertawa lebar.
Hendro sadar betul, bahwa dirinya tak mengerti sama sekali seluk beluk dunia robotika. Karena itu, ia harus mencari mentor khusus.
Pucuk dicintai ulam pun tiba. Hendro dapat rekomendasi seorang mahasiswa tetapi jurusan fisika. Karena waktu itu belum mengerti tentang robotika, maka, ia menerima mahasiswa tersebut menjadi mentor ekskul robotika SMP Islam al-Azhar 13 Surabaya.
Untuk pertama kalinya, murid-murid diajari membuat Robot Land Flower (Penyiram Tanaman) menggunakan analog. Bukan sensor.
“Anak-anak bisa nyolder. Robot bisa jalan mengikuti garis lintasan. Lihat anak-anak bisa melakukan hal itu, saya ikut senang. Bahagia sekali. Lalu, saya tantang guru robotika ini agar mengikutsertakan anak-anak dalam lomba robotika sampai dapat juara. Harapannya supaya bisa membangun nama baik sekolah,” terangnya.
Namun ternyata, keberuntungan belum memihak murid-muridnya. Tim perdana yang diikutkan lomba robotika untuk pertama kalinya kalah. Saat itu, Hendro juga tak dapat mendampingi, karena harus menghadiri kegiatan lain di Pasuruan, Jawa Timur.
Lalu, Oktober 2011, beberapa tim diberangkatkan untuk mengikuti lomba robotika. Lokasinya bukan lagi di Kampus UNAIR Surabaya. Namun, di SMP Negeri 4 Jombang. Hendro pun ikut mendampingi.
“Robot Line Follower kompetitor jalannya banter-banter (kencang). Ibaratnya, kualitas robotnya bagus-bagus. Sementara, kita bawa 2 sensor robot yang jalannya gedhek-gedhek. Pelan banget. Bahkan untuk menyelesaikan 1 misi saja tak mampu. Dari situ, saya minta mentor supaya mengajari anak-anak membuat robot seperti milik kompetitor, tapi ia tak sanggup dan mengundurkan diri,” jelasnya.
Setelah mentor pertama gagal memenuhi target yang disepakati, ia pun segera mencari pengganti. Kampus Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS), yang tak jauh dari lokasi AWG Robotica Course menjadi target utama suami dari Anis Kusuma ini, dalam berburu mentor yang kedua.
“Padahal, saya nggak tahu harus menemui siapa. Pokoknya jalan saja. Pikiran saya waktu itu masak nggak ada UKM-UKM robotika di sana,” katanya melepas senyum.
Setelah berjalan tanpa arah serta tujuan di Kampus PENS, ketika menyusuri lantai 2 sebuah gedung ia mendapati ruangan dengan pintu yang sedikit terbuka. Di pintu terdapat tulisan, “Selain Crew Dilarang Masuk”.
“Karena penasaran, saya dekati, melihat sekilas ke dalam ruangan. Ada banyak sekali robot. Saya beranikan diri masuk. Ternyata ada orang. Dia kaget sebab saya muncul tiba-tiba,” kenangnya tertawa.
Dari situlah, Hendro mendapat rekomendasi lagi. Namanya Rodik. Mahasiswa PENS jurusan robotika. “Kami pun deal-dealan sampai terbentuk kesepakatan,” katanya.
Hendro mulai bisa bernapas lega. Sensor robot yang mulanya lelet minta ampun lajunya, oleh Rodik berhasil diubah menjadi lumayan cepat. Ia mengamati, jika teknologi yang digunakan antara mentor pertama dengan mentor keduanya jauh berbeda.
“Nah, April 2012, ada lomba robot pembersih sampah di ITS Expo. Kami ajari anak-anak bikin robot untuk ikut lomba tersebut. Dapat Juara I. Alhamdulillah, itu pertama kalinya dilatih Mas Rodik. Saya bahagia sekali. Termasuk anak-anak. Apalagi orangtuanya. Pihak yayasan pun bangganya minta ampun,” bebernya.
Di bawah kolaborasi antara Hendro dan Rodik, kemampuan murid-murid ekskul robotika pun semakin melejit. Mereka tidak sekadar bikin robot analog, tetapi juga mulai belajar pemrograman robot atau sesuatu yang berkaitan dengan teknologi. Bahkan juga melakukan berbagai riset (penelitian) secara mandiri.
“Itu untuk meningkatkan level kemampuan mereka,” katanya saat berbincang dengan hidayatullah.com, di lantai 2 sekretariat AWG Robotica Course Surabaya.
Dengan meningkatnya kemampuan serta pengalaman mengikuti berbagai ajang kompetisi, murid-murid ekskul robotika ini pun jadi langganan juara. Seiring dengan keberhasilan itu, nama baik SMP Islam al-Azhar 13 Surabaya, juga terbangun dengan sendirinya.
Hendro tak ingin kesuksesan yang diraihnya dalam mem-branding sekolah lewat teknologi, hanya dirasakan oleh SMP Islam al-Azhar 13 Surabaya. Namun, juga sekolah-sekolah lainnya di Indonesia.
“Kebetulan Mas Rodik punya teman, yang sudah lama memiliki CV bernama AWG Market dan bergerak di bidang pengadaan barang-barang elektronik. Kami ajak berdiksusi buat mendirikan lembaga kursus robotika. Tetapi ternyata nggak bisa pakai CV. Harus bikin yayasan,” papar Kepala Sekolah SMP Islam al-Azhar 13 Surabaya (2016-2019) ini.
Setelah yayasan berdiri (2016), sambil mengurus izin operasional AWG Robotica Course, Hendro bergerilya ke sekolah-sekolah lain untuk menawarkan kerja sama, entah dalam bentuk pelatihan atau pengadaan robot. Tergantung kebutuhan masing-masing sekolah.
“Dulunya, awal-awal yang kita tembak masih sekolah-sekolah al-Azhar. Seperti SDI al-Azhar 11, SDI al-Azhar 35. Setelah al-Azhar tuntas, baru ke sekolah lain seperti al-Hikmah dan sebagainya,” terang konsultan pendidikan yang gemar berpetualang ini.
Sejak izin operasional keluar tahun 2017 sampai sekarang, sudah ada 21 sekolah, yang menjalin kerja sama dengan AWG Robotica Course. Kebanyakan memang sekolah di Surabaya. Di luar itu ada yang dari Mojokerto, Jombang, Pasuruan, Bojonegoro, Solo, Palu, Gresik, serta Sorong. Total jumlah muridnya mencapai 389 orang.
“Nah, khusus yang Sorong dan Palu, gurunya datang ke Surabaya selama 2 bulan. Selama itu, kita berikan pelatihan. Untuk sekolah-sekolah yang bisa kita jangkau, yang dilatih murid-muridnya. Dan kurikulumnya semua dari kita,” imbuh Hendro.
Selain berbagi inspirasi, ayah dari Nur Hamida al-Latifa serta Nur Hamida al-Kamila ini ingin membangun kesadaran pada generasi muda agar melek terhadap teknologi. Bukan lagi sekadar menjadi pengguna, tapi lebih dari itu sebagai pencipta berbagai perangkat teknologi yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat luas.
“Di antara manfaat dari belajar programing menghasilkan kran air dengan sensor khusus. Jadi, kita nggak perlu lagi memutar kran, tinggal taruh tangan di bawah kran, air akan mengalir sendirinya,” tuturnya memberi contoh.
Selain dilirik berbagai sekolah di Indonesia, kiprah Hendro dalam bidang teknologi, juga mampu membuat PT. Astra Internasional Tbk simpatik. Ia pun didapuk sebagai salah satu dari 6 penerima apresiasi SATU Indonesia Awards 2019. Sebuah ajang menjaring generasi muda yang kreatif, inovatif, dan berpotensi membawa perubahan di tengah masyarakat.
Ajang penghargaan yang telah memasuki usia satu dasawarsa ini dipelopori perusahaan Astra yang sejak 1957 senantiasa berkarya untuk kemajuan bangsa Indonesia.*