Masjid Mudzaffar Syah atau Masjid Kersik dibangun Sultan Ismail Shah, sultan pertama di Kesultanan Melayu Pattani pada 1514, sampai hari ini tetap terjaga
Hidayatullah.com | LEBIH dari 60 tahun merasakan menjadi wilayah konflik yang berat namun suasana islami di Thailand Selatan tetaplah terasa. Baru-baru ini saya diberi kesempatan Allah melakukan safar dan mengunjungi ulama setempat.
Meski tercatat sebagai minoritas, wilayah Thailand selatan memiliki kurang lebih empat ribu masjid. Sebagian besar tersebar di empat Provinsi; Pattani, Yala, Narathiwat dan Satun.
Di setiap provinsi ada masjid Jami’ atau masjid raya. Selama 20 tahun terakhir, kerajaan Thailand memberi perhatian yang lebih terhadap perawatan empat masjid itu.
Salah satu masjid yang paling bersejarah adalah Masjid Mudzaffar Syah atau juga disebut Masjid Keresik, Gresik (Krue – Se). Dinamakan begitu karena lokasinya terletak di daerah bernama Keresik.
Di masjid ini pula sejarah kelam menimpa warga Muslim. Ketika itu, tahun 2004, tentara militer Thailand yang dikomandani oleh Jendral Panlop Pinmanee ‘menguasai’ masjid dan melepaskan tembakan yang berujung meninggalnya 32 orang Muslim.
Akibat peristiwa ini, dua orang anak berumur 17 dan 18 tahun di antara 32 orang tersebut.
Nama Kersik/keresik (Krue-se) tentu menarik. Sebab ada kemiripan nama dengan sebuah kota di Jawa Timur, Gresik. Juga di kota Bangil Pasuruan ada kelurahan bernama Kersikan.
Menariknya, antara Kersik di Pattani, Gresik di Jawa Timur dan Kersikan Bangil sama-sama daerah di pesisir yang mayoritasnya adalah santri. Dahulu pesisir adalah kota maju, disebut bandar.
Dan umumnya mayoritas Muslim awal di Nusantara mendiami daerah Pesisir.
“Kemungkinan daerah-daerah ini yang memiliki kemiripan nama itu dulu ada hubungan rapat,” terang Habib Ali bin Yahya, Ketua LKKN (Lembaga Kajian Khazanah Nusantara) Jakarta.
Saya mengunjungi masjid tua ini pada 29 Januari 2023. Syekh Muhammad Adnan, seorang ulama Pattani yang menemani saya mengatakan, masjid ini masih terpelihara arsitekturnya seperti awal dibangun.
“Dulu masjid ini sempat kosong tak digunakan. Berkat usaha para tokoh, masjid ini direnovasi dan digunakan,” tegasnya.
Letak masjid ini di Pusat Propinsi Pattani. Masjid diapit dua jalan raya yang tidak terlalu besar.
Di depan masjid terdapat sumur dan tempat wudhu yang juga masih asli. Sumur ini rupanya masih digunakan dengan timba dan talinya.
Masjid ini dibangun oleh Sultan Ismail Shah, seorang sultan pertama di Kesultanan Melayu Pattani pada 1514. “Sultan ini dulu beragama Budha kemudian diislamkan oleh Syekh Shofiyuddin Al Abbas, asal Yaman”, jelas Syekh Muhammad Adam.
Pendirian masjid ini atas petunjuk Syekh Shofiyuddin al Abbasi. Ia mengusulkan kepada sultan pertama Pattani itu mendirikan masjid dekat istana.
Masjid ini terbangun dari bahan batu bata. Lantai, halaman, tempat wudhu dan sumur juga dibangun dari batu bata.
Batu bata yang digunakan merupakan batu bata berukuran besar. Sekilas dari bentuknya mirip batu bata zaman Majapahit. Sebagaimana bisa kita jumpai di bekas kotaraja Majapahit di Trowulan Jawa Timur.
Ketika sampai di Masjid Kersik, waktu sudah menjelang Ashar. Beberapa menit kemudian dikumandangkan adzan.
Jamaah sholat di masjid ini tidak banyak, hanya satu baris shaf yang isinya hanya lima orang. Saya diimami oleh Syekh Muhammad Adnan.
Masjid ini merupakan salah satu unsur penopang peradaban Islam di Pattani.
“Kemungkinan dulu istana sultan berada di depan masjid ini,” ujarnya sambil menunjuk ke arah timur.
Saya kemudian mendatangi tempat yang konon adalah istana, yang kini menjadi taman masjid. Beberapa pohon kecil dan bunga ditanam di situ.
Beberapa lantai sekitar tanah dari batu bata. Jangan-jangan ini bekas lantai istana, pikir saya dalam hati.
Peradaban di Pattani kemudian mundur setelah kesultanan mengalami kekalahan perang dengan Kerajaan Siam (Budha).
Seorang warga Pattani bercerita, perang ini sangat dahsyat, sampai-sampai Syekh Abdus Shomad al-Falimani terpanggil ikut berperang. Beliau datang dari Makkah kemudian ke Palembang, langsung ke Pattani, negeri tempat dulu beliau belajar agama. Atas takdir Allah, beliau syahid bersama ratusan pasukan Pattani dan dimakamkan di daerah Chana, perbatasan Songkhla dan Pattani.

Menurut cerita, kepala dan badan beliau terpisah. Makam yang di Chana berisi badan tanpa kepala.
Di sinilah pertahanan terakhir Pattani. Setelah istana dan masjid direbut kembali, tempat ibadah ini dihidupkan kembali.
Melayu-Islam
Di jalan-jalan Pattani kita bisa menemukan geliat tradisi Melayu-Islam. Para wanitanya berjilbab dan menutup aurat.
Pakaian mereka sangat rapi dan sopan, khas wanita Melayu pada umumnya. Para pria banyak memakai sarung, sebagaian memakai gamis saat shalat di masjid.
Tidak jauh beda dengan jalanan di kota-kota kecil di Indonesia. Toko-toko yang menjual baju Muslim mudah dijumpai. Bahkan saya mendapatkan dua toko menjual kitab kunis, kebanyakan berbahasa Melayu dengan tulisan aksara pego (aksara Jawi).
Saya sempat membeli kitab Hidayatus Salikin karya As-Syekh Abdus Shomad Al Falimbangi, ulama besar asal Palembang yang makamnya ada di Songkla dan kitab Darsu Al Jurumiyah ditulis oleh Tuan Guru Syekh Adnan Harun, Kepala Mahad Tahfidz Al Bi’stah Ad Diniyyah.
Atas izin Allah, saya bertemu Syeikh Adnan, di madrasahnya. Kitab ini adalah terjemahan dan Syarah Jurumiyah juga berbahasa Melayu berhuruf pego.
Dua kitab tersebut mempresentasikan tradisi Pattani lama dan kontemporer. Ternyata tradisi Melayu Islam masih hidup, bahkan berkembang baik saat ini.
“Sejak 20 an tahun terakhir ini alhamdulillah banyak kemajuan dan perkembangan baik di sini”, ujar Babo Mad, panggilan masyarakat di wilayah itu.
Geliat peradaban ilmu di Pattani ini juga mulai terasa. Saya cukup terkejut dengan banyaknya sekolah Islam yang maju di Thailand selatan.
Ketika saya sampai di sekolah Al Bi’tsah Ad-Diniyyah pukul 10.00, kesan santri dan Melayu sangat terasa. “Saya memperjuangkan untuk Memelayukan anak-anak saya,” terang Tuan Guru Sholahuddin, Kepala Sekolah Al Bi’tsah Ad Diniyah.
Tuan Guru Sholahuddin menjelaskan bahwa sekolah di wilayah Yala ini adalah sekolah terbesar di Thailand selatan. Jumlah santrinya saja ada enam ribu.
Melayu dan Islam merupakan identitas asli bangsa Pattani. Karena itu, bahasa Melayu dan aksara Jawi merupakan pelajaran wajib di sekolah ini, ditambah bahasa Arab.
“Saya masih memperjuangkan dua bahasa, Melayu dan Arab, sebagai pelajaran utama di sekolah ini,” terang Syekh Adnan Harun.
Ilmu pengetahuan dan kekuatan tradisi bisa menjadi modal berharga untuk melanjutkan nafas peradaban sebagaimana zaman kejayaan dahulu. Amin.*/Kholili Hasib