“JIKA cinta sudah melekat, tai kucing rasa cokelat,” demikian bait lagu “Kugadaikan Cintaku” yang dinyanyikan penyanyi nyentrik asal Surabaya (Alm) Gomboh di tahun 1986.
Bait dalam lagu ini rupanya tidak terlalu jauh dengan kisah nyata dari Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Alkisah, asmara dua sejoli pasangan muda-mudi berlainan keyakinan yang sudah terpatrai rapat sejak dua bulan (Desember 2013-Jan 2014).
Sebut saja Dewi 17 tahun, yang baru saja duduk di bangku kelas satu SMA Gangga Kabupaten Lombok Utara, adalah anak dari seorang pemangku adat umat Budha di kawasan Dusun Baru Desa Bentek Kecamatan Gangga Lombok Utara NTB. Ia tinggal nun jauh di pedalaman Kampong Baru, sekitar 5 Km ke atas Desa Gondang Kecamatan Gangga.
Untuk mencapai lokasi perkampungan sang Dewi, harus ditempuh setelah memalui jalur berkelok, terjal, licin dan segala macam bahaya, utamanya di musim penghujan seperti di bulan Januari 2014 ini.
Untuk pergi kesekolah, sang Dewi yang terkadang menggunakan ojek, terkadang juga diantar keluarganya. Untungnya, ia juga memiliki sebuah HP, sebagai alat komunikasi dengan dunia luar. Sementara sang lelaki yang biasa dipanggil Sahabudin berasal dari Gili Meno, sebuah tempat yang termasuk sebagai salah satu daerah tujuan wisata internasional di kawasan Lombok Utara NTB, juga sering mangkal di beberapa titik, di mana sang Dewi bisa berisitirahat saat rehat siang sekolahnya.
Sahabudin yang kesehariannya tidak memiliki pekerjaan tetap ini, nampaknya sering memasang jurus – jurus jitunya, untuk melemparkan panah-panah asmaranya pada sang Dewi.
Sang Dewipun nampak kesem-sem dengan jurus Sahabudin. Alhasil, tepat di akhir tahun 2013, memasuki minggu pertama awal tahun 2014, keduanya terbelit sebuah perjanjian adat, Selarian. Di mana akibat perjanjian itu, menghantarkan sang Dewi untuk dibawa ke keluarga Sahabudin di Gili Meno Desa Gili Indah Kecamatan Pemenang.
Adat istiadat suku sasak dapat anda saksikan pada saat resepsi perkawinan, dimana perempuan apabila mereka mau dinikahkan oleh seorang lelaki maka yang perempuan harus dilarikan dulu kerumah keluarganya dari pihak laki laki, ini yang dikenal dengan sebutan meracik atau selarian.
Seperti diketahui, dalam adat Sasak, jika seorang pria ingin menikahi gadis pujaan, caranya cukup sederhana. Ia harus melarikan/mencuri si gadis dari rumah wanita ke pihak pria. Konon, ini menjadi prosesi pernikahan yang lebih terhormat dibandingkan meminta kepada orang tuanya. Ada rasa ksatria yang tertanam jika proses ini dilalui.
Selang dua hari (29/12/2013) setelah mereka Selarian, akhirnya keluarga sang Dewi yang notabenanya adalah pemangku adat umat Budha di kawasan Baru Bentek, berikut keluarga dan pucuk pimpinan di tingkat dusun Baru, datang ke Gili Meno untuk membicarakan adat selarian yang dilakoni keluarganya.
Namun sayang dalam perdebatan, yang awalnya pihak mempelai wanita sudah siap untuk penyerahkan perwaliannya ke pimpinan dan menyerahkan anaknya untuk masuk memeluka agama Islam.
Tekad bulat keluarga untuk melepaskan anaknya untuk memeluk Islam, akhirnya kandas di tengah jalan, lantaran pihak keluarga mempelai lelaki, tidak sanggup untuk memenuhi permintaan finansial berbalut adat.
Singkatnya, perkawinan dengan mengucapkan dua kalimah syahadatpun batal dilakukan.
Pindah Agama
Kedua sejoli ini nampak tidak bergeming, meski mereka harus berhadapan dengan hukum sosial di tengah mesyarakat Gili Meno. Keluarga sang Dewi akhirnya mengambil langkah pasti, dibawanya kedua mempelai untuk pulang ke dusun Baru Desa Bentek untuk diproses. Sayang keluarga Sahabudin minta, agar mempelai lelaki membuat surat perjanjian resmi tentang bahwa dirinya (sahabudin) tidak lagi memeluk agama Islam, perjanjianpun akhirnya dibuat pihak wanita.
Dalam surat perjanjian yang terdiri dari tiga butir itu, berisi antara lain, bahwa Sahabudin sanggup dibuang dari Gili Meno, sangggup tidak berkunjung ke Gili Meno, kecuali untuk paling lama dua hari, itupun untuk menjenguk ibunya yang sudah mulai renta.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Keluarga dekat Sahabudin sendiri tidak lagi mau mengakomodir keinginannya. Akhirnya orangtua sang Dwi mengambil kebijakan lebih pasti, di mana keduanya akan dinikah dengan upacara Agama Budha. Sebelumnya, Sahabudin sudah melalui sebuah ritual perpindahan agama dari Islam ke Budha. Ritual dilakukan, yaitu dibawah pimpinan sang pemangku. Pasca. divisudhi (dinobatkan sebagai pemeluk Agama Budha), Sahabudin kini sudah memiliki nama baru yaitu Sadhaputa, dengan nama baru inilah, diakui Suryadi selaku Kepala Dusun Baru, pada 4 jan 2014 belum lama ini dan resmi menikah dalam pelukan agama Budha.
Kabar pernikahan dan pergantian agama warga Muslim Gili Meno ini, akhirnya sampai juga ditelinga Doktor Najmul Ahyar Wakil Bupati Lombok Utara.
Untuk mencari kepastian kisah cinta itu, akhirnya bupati melakukan investigasi dengan harapan agar sang pria masih bisa dikembalikan ke Muslim. Sayang, Sahabudin yang kini sudah berganti nama menjadi Sadhaputa ini sudah membuat pernyataan jika dirinya sudah divisudhi memeluk agama Budha.
Dan Sang Wabup itu hanya bisa mengurut dada.
Semoga kisah ini bisa menjadi pelajaran bersama agar apapun tindakan kita dilakukan dengan penuh pemikiran yang cermat dan matang.*/diceritakan Algas AR (Lombok)