NURDIN Bonggo gemetaran. Tadi malam, selepas sholat Maghrib, Senin (18/02/2013), ia berbicara di hadapan puluhan Pengurus Pusat, Pengurus Wilayah, dan ratusan santri di Masjid Pondok Pesantren Hidayatullah Depok, Jawa Barat.
“Saya gemetaran ini. Saya memang paling takut dengan mimbar, apalagi dengan mimbarnya Gunung Tembak,” ceplosnya di atas mimbar seraya memang sedikit tampak kikuk, tawa jamaah pun riuh.
Meskipun merasa grogi, pengurus Pimpinan Wilayah Hidayatullah Papua Barat ini tetap tampil dengan penuh percaya diri. Senyumnya mengembang selalu. Sambil berkata-kata, sesekali peci putihnya dipermantap posisinya di atas kepala.
“Karena ini amanah, ya kita maju saja,” katanya kemudian. Frase ‘kita’ di di sini maksudnya adalah ‘saya’ atau bisa diartikan sebagai ‘kami’. Dalam tradisi linguistik sebagian besar masyarakat Indonesia Timur, ‘kita’ merupakan kata yang sangat sopan untuk tidak menyebut ‘saya’ atau ‘anda’.
Disela-sela kegiatan Rapat Kerja Nasional (Rakornas) dan Upgrading Manajemen I PW dan PP Hidayatullah di Depok ini, pantia memang menyediakan waktu sejenak setiap lepas Maghrib hingga Isya’ kepada para ustadz ustadz Hidayatullah yang telah bertugas di berbagai wilayah untuk menyampaikan ‘laporan perjalanan’.
Istilah laporan perjalanan memang sudah biasa dan menjadi tradisi Pesantren Hidayatullah sejak dulu. Jika ada tamu dari daerah yang mampir ke pondok pasti dipersilahkan untuk berbagi oleh-oleh kepada jamaah dalam bentuk tauhsiah seperti ini.
Berdiri tegak di atas mimbar kokoh, malam itu, Nurdin Bonggo menyampaikan nasihat kepada para santri untuk terus bekeja dan belajar keras. Pesannya, santri Hidayatullah saat ini harus bersyukur karena memiliki peluang dan waktu yang lebih baik untuk dapat menempuh pendidikan (formal). Tidak seperti masa lalunya, di tahun 80-an di Gunung Tembak, Balikpapan.
“Waktu itu kita tidak pernah sekolah di kelas. Tidak ada sekolah. Sekolahnya di lapangan dengan kerja bakti, bertukang, dan membabat hutan,” kata pria humoris yang kini bertugas di Papua Barat.
Ia pun beharap semoga alumni kader sarjana tiga perguruan tinggi milik Hidayatullah yang ada di Balikpapan (STIS Hidayatullah), Depok (STIE Hidayatullah), dan Surabaya (STAIL Luqman Hakim), dapat melahirkan kader yang lebih berkualitas, yang siap berbuat dan tandang ke gelanggang.
“Mereka harus lebih berkualitas dari kita kita ini yang tidak pernah sekolah. Berkulitasnya bukanya hanya dari sisi ilmu, tapi juga dari segi karakter, mau berbuat, siap dikirim, dan komitmen terhadap perjuangan Hidayatullah,” tegasnya.
Grogi Nudrin Bonggo yang juga alumni KMM (Kuliah Muballigh Muballighat) Hidayatullah Balikpapan ini tidak berlangsung lama, hanya beberapa menit saja. Selanjutnya ia sangat lancar berbicara. Sekitar 30 menit lebih ia berceramah di atas mimbar berbahan kayu jati itu dengan muatan optimisme yang berapi-api. Sesekali diselingi guyonan renyah. Hadirin tampak serius menyimak dan menikmati.
“Tantangan dakwah kami di Papua Barat tidak ringan. Bisa jadi sewaktu-waktu bukan hanya ada ancaman benturan fisik, tapi juga psikis. Maka adik-adik santri harus mempersiapkan mental untuk berdakwah,” katanya memberi nasehat.
Kerja Mati-matian
Seperti sudah diketahui umum di kalangan santri awal Pesantren Hidayatullah, kuliah muballigh yang diselenggarakan melalui KMM di awal-awal perlangkahannya, itu nyaris tak pernah mengadakan program pendidikan layaknya kuliah pada umumnya di ruang-ruang berdinding. Pernah mungkin, tapi kuantitasnya bisa dihitung jari.
Peserta kuliah di program KMM Pesantren Hidayatullah ini sepenuhnya praktik langsung ke lapangan seperti langsung dikirim berceramah ke masjid-masjid, berkebun, hingga menjadi tenaga tetap pembangunan pesantren yang sehari-hari berjibaku dengan alat pertukangan. Sehingga, program KMM yang sebenarnya berarti Kuliah Muballigh Muballighat ini seringkali diplesetkan menjadi ‘kerja mati-matian’.
Namun tak dinyana, dari program KMM inilah kemudian lahir kader-kader militan Pesantren Hidayatullah yang siap tandang di mana saja mereka ditugaskan. Mereka memang tidak bertitel sarjana, apalagi sampai bergelar sarjana strata tiga. Namun celupan-celupan pengkaderan yang mereka dapatkan langsung dari peiode priode KMM telah melahirkan mereka menjadi kader-kader pendobrak.
Bahkan bisa dikatakan perintis-perintis awal Pesantren Hidayatullah di nusantara yang ada hari ini sebagian besar lahir dari rahim program KMM di Pesantren Hidayatullah, Gunung Tembak, Balikpapan.
Selain KMM, sebenarnya dulu juga ada istilah KDI (Kuliah Dakwah Islam). Kalau KMM lebih banyak diisi oleh kader-kader bangkotan alias mereka yang merasa tidak berbakat sekolah kemudian memilih bekerja keras di lapangan. Sementara di KDI ini diisi oleh mereka yang bertugas di posisi yang cukup bergengsi. Anak-anak KDI ada yang jadi pengasuh santri, guru, dan staf kantor. Tapi keduanya sama saja, sama-sama tidak sekolah formal.
Nurdin Bonggo boleh jadi agak sedikit grogi saat berbicara di hadapan ratusan orang tadi malam. Namun, yang pasti, nyalinya sebagai dai tak akan pernah merasa ciut. Ia terus menyampaikan wejangannya, menyalurkan optimismenya, mengalirkan semangat kebangkitan untuk tegaknya peradaban mulia, peradaban Islam!
“Kiprah sarjana Hidayatullah hari ini harus lebih hebat dari mereka yang hanya lulusan KMM,” tutup Nurdin yang memiliki marga kekerabatan Bonggo ini. Bukan penganut eksogam, Baginya, semua Muslim adalah bersaudara.*