SETELAH berjuang mengevakuasi korban banjir bandang di lokasi pertama yang tergerus aliran Sungai Tondano (baca tulisan 1, Nyaris Hanyut…), Murdianto bergeser ke lokasi kedua. Di Kelurahan Paal II, Kecamatan Paal II, Lingkungan IV, sekitar 8 km dari pusat Kota Manado, Sulawesi Utara (Sulut) ini, dia sempat mengalami pergolakan batin.
Saat itu ada 2 orang anak perempuan kelas 4 SD dan 2 orang wanita dewasa yang harus dievakuasi. Kedua anak itu pun berhasil dia evakuasi seorang diri. Masalahnya adalah para wanita dewasa tersebut, sebab mereka bukan muhrim.
Saat itu, keduanya berada di lantai 2 sebuah rumah, dengan kedalaman air sudah 5 meter. Tinggal 15 cm lagi air akan menggenangi lantai tersebut. Sekilas jiwa kelelakian Murdianto, 38 tahun, terusik.
“Perasaan saya seperti sebuah perangkat elektronik menerima sinyal Wifi. Alhamdulillah, ‘Wifi’ di ‘perangkat’ dimatikan. Lintasan wajarlah. Namun saya kembali meluruskan niat. Jangan sampai kesusahan, capek, jadi tidak bernilai,” akunya saat bincang-bincang dengan Hidayatullah.com di Jakarta melalui sambungan telepon dan obrolan jejaring sosial baru-baru ini.
Murdianto lantas bertanya kepada kedua wanita yang salah satunya berjilbab tersebut.
“Anda bisa berenang?”
“Bisa, pak!” jawab mereka, membuat Murdianto senang bukan main.
“Syukur (mereka) bisa berenang. Sehingga niat tidak tercampur dengan kekurangmantapan menolong karena sesuatu (wanita. Red),” imbuh ustadz di Pesantren Hidayatullah Bitung ini.
Kisah lainnya pada Rabu, 13 Rabiul Awal 1435 H (15/1/2014) itu, ketika dia mengevakuasi seorang ibu yang lagi sakit. Ibu tersebut, saat itu mengaku sudah (maaf) buang air besar sebanyak 14 kali.
“Kami evakuasi sendirian dengan kedalaman air kurang lebih 5 meter. Dan arus sangat deras mengarah ke sungai besar yang berjarak 15 meter dari jalur kami,” tutur suami dari Sri Lestari beranak 7 ini.
Kisah lucunya, saat evakuasi sudah selesai, namun masih tersisa 6 orang laki-laki. Semuanya mengaku bisa berenang. Mereka tidak mau dievakuasi oleh Murdianto. Alasan karena menjaga barang. Namun akhirnya, barang-barang mereka hanyut juga.
Evakuasi di Sekolah Advent
Dua jam kemudian, sekitar pukul 12.00 WITA, Murdianto menunaikan shalat Zhuhur berjamaah di halaman parkir sebuah rumah. Dalam keadaan basah-basah, dia ditemani 2 orang korban banjir dan seorang tuan rumah yang tak kena banjir.
Usai shalat yang dijamak Ashar itu, seorang jamaah nyeletuk, “Baru kali ini saya shalat dalam keadaan basah, dan di halaman parkir,” ujarnya.
Sejurus kemudian, tendengar kabar dari warga setempat jika ada pasukan TNI datang dengan membawa perahu karet. Setelah memastikan tugas evakuasinya di situ berakhir, Murdianto pun bergeser ke tempat lain. Kali ini dia menumpang sebuah truk Badan SAR Nasional (Basarnas) yang melintas di jalan poros Manado-Bitung itu.
“Azam juga ikut. Motornya disimpan di tempat dekat shalat tadi, di tempat jamaah masjid,” jelasnya.
Di atas truk, Murdianto mengganti jerigennya dengan pelampung khusus pemberian anggota Basarnas. Mereka lalu bergeser ke Pasar Segar, masih di Kecamatan Paal II. Anggota Tim SAR Hidayatullah dan Basarnas pun bersinergi mengevakuasi titik-titik banjir yang dilewati.
“Sama mengevakuasi di SD-SMP Advent Paal II. Yang terjebak ada lebih dari 100 orang. Gedungnya 3 lantai, banjir masuk ke lantai 1, (tingginya) sekitar 1,5 meter. Kita masuk ke dalam sana, kita ambil (korban) dengan perahu karet bersama Basarnas, membawa mereka ke tempat aman, karena banyak orang tua yang sudah nunggu,” jelas Murdianto.
Dia pun menyambangi kantor Basarnas Manado, di Kaasar, Air Madidi, ibukota Kabupaten Minahasa Utara, dan bertahan di situ hingga pukul 00.00 WITA. Malam itu juga dia pulang bersama putranya, meski hujan masih mengguyur deras.
Putranya sendiri, walau seharian membuntuti ayahnya, kondisinya baik-baik saja. Bahkan dia kesenangan. “Abi, besok kalau kita turun (evakuasi), ikut lagi,” ujar Azam kepada Murdianto.
Rasa lelah dan dingin pun baru dirasakannya begitu tiba di rumah. Untuk mengurangi dingin, dia merendam kedua kakinya, yang kulitnya sudah keriput, dengan air panas tak mendidih. Namun, saking dinginnya, panasnya tak dia rasakan.
“Malam itu betul-betul minta diselimuti sama istri. Dan saya baru sadar, harus berenang dari pagi ternyata saya belum makan,” ujar Murdianto.
Meski begitu, dia merasa mendapat hiburan tersendiri. Kamis keesokan harinya, dia dan sejumlah anggota Tim Search and Rescue (SAR) Hidayatullah kembali turun lapangan, melakukan pemulihan pasca bencana di daerah Paal II dan Jembatan Ketang Ternate Baru. Di Paal II, Murdianto menemukan pemandangan indah.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
“Allah memberi hiburan yang luar biasa setelah kami seharian membersihkan Masjid Ashabul Kahfi. Saat shalat Zhuhur dengan pakaian basah sejak pagi, di pojok itulah kami shalat bersama jamaah para pengungsi. Walaupun badan mereka sebagian besar bertato, tapi terdengar isak tangis sayup-sayup. Itulah bayaran yang luar biasa dari Allah siang itu,” ujar staf ekonomi Pimpinan Wilayah Hidayatullah Sulut sejak 2010 ini.
Pada hari kedua itu, Murdiyanto kembali mengajak Azam. Namun malang, tangan kiri putranya tersabet seng saat menemani sang ayah membersihkan puing-puing bekas banjir. Bagi Murdianto, kengorbanan dan keikhlasan harus dimiliki seorang relawan dalam bertugas.
“(Ketika) seseorang dalam keadaan bahaya dan dia tidak bisa mengatasi sendiri, tentulah dia berdoa dan minta tolong. Alangkah bahagianya jika saya dikirim oleh Allah untuk menyelamatkannya. Itulah motivasi saya,” jelasnya, seraya merasa terpanggil mengevakuasi karena status SAR-nya.
Sehari-hari, Murdianto adalah pengasuh Pesantren Hidayatullah Bitung. Juga aktif berdakwah di tengah masyarakat umum, termasuk sebagai khatib. Salah satu sumber penghidupannya dengan berjualan majalah bulanan Suara Hidayatullah. Selain mengantar majalah, dia sekalian silaturahim dakwah ke 30 pelanggannya.
Ketika panggilan kemanusiaan dan nurani datang, sumber nafkahnya itu mau tak mau dikesampingkan. Jangankan bajunya yang basah, dia pun harus, “Merelakan majalah basah,” pungkasnya, yang tergabung dalam relawan Baitul Maal Hidayatullah (BMH) pada masa recovery hingga kisah ini ditulis.*