PERNAH mendengar Suriname? Sebuah negeri di kawasan Amerika Latin ini dulu adalah kawasan dimana banyak orang Jawa yang dihijrahkan ke sana dengan kapal oleh penjajah Belanda. Tepatnya di tahun 1890an atau lebih dari satu abad yang lalu.
Negara besar yang penduduknya tidak lebih dari 1 juta jiwa itu, sekitar tujuh puluh ribuan warganya adalah keturunan Jawa yang dulu bapak-bapak mereka hijrah ke sana menaiki kapal selama dua bulan perjalanan.
Kini, kebanyakan mereka adalah keturunan yang ketiga. Untuk generasi pertama dan kedua, mereka fasih berkomunikasi dengan bahasa Jawa. Bahasa Jawa merupakan bahasa diantara mereka nomor wahid, disamping bahasa resminya adalah bahasa Belanda. So, jangan heran kalau anda bertemu dengan salah satu diantara mereka, kita akan menyangka dia orang “kita”. Hidungnya, warna kulit, dan bahasa Jawa nya. Tapi satu, mereka tidak bisa berbahasa Indonesia.
Dalam sebuah pertemuan yang dihelat di Puncak Cipanas, saya berkesempatan untuk bertemu dengan da’i asal negara Amerika Latin yang berbatasan dengan Brazil tersebut.
Namanya Mr Henry Soeharto. Dulu, konon ayahnya lahir di kapal saat menuju Suriname dari Indonesia. Pria alumnus Universitas Islam Madinah jurusan Syariah ini kini menjabat sebagai Ketua SIS, sebuah kantor urusan keislaman dibawah Kementrian Dalam Negeri Suriname.
Sangat ramah. Ia banyak ngobrol khusus tentang “Jawa” dan Islam di negeri itu. Ada beberapa catatan yang saya rangkum dalam diskusi denganya.
Yang pertama, fenomena masjid dua kiblat.
Di Suriname, masih ada sampai saat ini masjid yang kiblatnya berlawanan dengan arah Ka’bah. Kalau ka’bah ada di sebelah timur, sebaliknya mereka justru sholat menghadap Barat (kulon).
Ceritanya, dulu ketika orang-orang Jawa ini hijrah ke sana, mereka terbiasa shalat mengahadap Barat kulon. Ya, memang kalau dari Indonesia Ka’bah berada di arah barat. Sehingga, terjadi salah kaprah di sebagian masyarakat zaman dahulu bahwa kiblat itu barat. Ketika mereka pindah ke Suriname, mereka tetap bertahan dengan keyakinan tersebut. Padahal, Kiblat ada ke arah timur Suriname. Ketika dijelaskan kepada mereka tentang arah kiblat yang salah, sebagian mereka keukeuh dan berfikir bahwa bumi itu bulat. Meskipun kita membelakangi Kiblat, ujung-ujungnya juga ketemu Ka’bah.
Sebagian kalangan menerima koreksi dan megubah arah sholat, sebagian tetap dengan keyakinannya yang salah. Fenomena tersebut kalau diruntut runtut, karena pada zaman dahulu di era 1800-an, dakwah tidak berkembang seperti sekarang. Jumlah dai, lembaga pendidikan islam tidak sebanyak sekarang. Di saat kejahilan mereka belum terJawab, mereka keburu hijrah ke tanah yang nyaris tidak ada islam. Belakangan, ada beberapa da’I dari Indonesia yang berdakwah ke sana.
Kedua, fenomena adzan dengan Bahasa Jawa
Dulu, ada seorang guru yang datang dari Indonesia sekitar 30 tahun yang lalu. Ketika sampai, sang dai menangis saat mendengar adzan yang dikumandangkan dari masjid dengan berbahasa Jawa.
“Allah Moho Ageng.. Allah Moho Ageng..”(terjemah Jawa Allahu akbar… Allahu akbar…)
Saat itu bahkan hingga sekarang, masih didapati beberapa masjid yang adzannya dengan Bahasa Jawa.
Mr Henry menyebut, masih ada lebih dari 50 masjid yang adzan dengan Bahasa Jawa. Namun, belakangan sudah berkurang jumlahnya. Semangat keislaman mereka belum sebanding dengan ilmu yang mereka miliki dan sedikitnya jumlah da’I yang ada.*/diceritakan Mr Henry Soeharto pada M Adnan Fairuz (bersambung)