Sambungan tulisan PERTAMA
Bila bicara Islam jangan samakan Raja Ampat dengan wilayah lain di tanah Papua. “Mereka berbeda,” jelas Ketua Departemen Dakwah dan Penyiaran Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah, Shohibul Anwar, awal Juni lalu.
Perbedaan utama, kata Shohibul, “Islam telah lama masuk ke Raja Ampat, bahkan jauh sebelum agama-agama lain.”
Sejarah memang mencatat, meski penduduk Raja Ampat didominasi oleh penganut Kristen Protestan, namun Islam-lah agama pertama yang dianut oleh penduduk kabupaten ini.
Bukti tersebut bisa dilihat dalam catatan perjalanan Miguel Roxo de Brito yang menjelajah ke Raja Ampat tahun 1581 (The Report of Miguel Roxo de Brito in His Voyage in 1581-1582 To the Raja Ampat, the MacClur Gulf and Seram, JHF Sollewijn Gelpke, BKI Vol 150 No: 1 Leiden, 1994).
Dalam catatan tersebut diketahui bahwa Raja Waigeo –Waigeo adalah salah satu dari empat pulau besar di Raja Ampat— telah memeluk Islam. Lantas, dari mana Islam masuk ke Papua lewat pintu Raja Ampat ini?
Catatan tersebut juga menjelaskan bahwa Islam dibawa oleh masyarakat Kesultanan Bacan, salah satu dari empat kesultanan besar di Maluku, pada pertengahan abad ke 15. Sejarah pernah mencatat bahwa Maluku, ketika itu, memiliki empat kesultanan besar: Bacan, Jailolo, Ternate, dan Tidore.
Bukti lainnya bisa terlihat dari nama-nama gelar di kepulauan tersebut. Gelar kaicil, misalnya, adalah gelar anak laki-laki Sultan Maluku.
Dalam catatan Museum Memorial Kesultanan Tidore, Sonyine Malige, disebutkan bahwa Sultan Ibnu Mansur (Sultan Tidore X) pernah berkunjung ke Papua dengan satu armada kora-kora. Ekspedisi ini menyusuri Pulau Waigeo, Batanta, Salawati, dan Misool di Raja Ampat.
Di wilayah Misool, Ibnu Mansur, yang sering disebut Sultan Papua I, mengangkat Kaicil Patra War, putra Sultan Bacan, dengan gelar Komalo Gurabesi. Kaicil Patra War kemudian dinikahkan dengan putri Sultan Ibnu Mansur, yaitu Boki Thayyibah. Dari penikahan inilah Kesultanan Tidore memperluas pengaruhnya hingga ke Raja Ampat.
Di Waigama, salah satu kampung di Pulau Misool, cerita Shohibul mengutip kisah para tetua di sana, Islam pernah dijalankan secara baik. Syariat dipatuhi, syiar Islam semarak. Para wanita telah terbiasa mengenakan dua sarung; pertama untuk menutup bagian kepala, dan kedua untuk menutupi bagian badan hingga kaki.
Di sana juga ada kerajaan Islam. Namanya, Kerajan Waigama. Raja terakhir di kerajaan ini bernama Samsuddin Tafalas. Ia memerintah sampai tahun 1954. Cucunya bernama Said Tafalas, yang kini memimpin Pesantren Hidayatullah di Waigama.
Saat ini, Islam tak tampak lagi di Waigama. Tak tampak lagi masyarakat yang berbondong-bondong pergi ke masjid ketika waktu shalat fardhu tiba. Bahkan, ketika shalat Subuh di masjid terbesar di kampung ini tahun lalu, Shohibul hanya mendapati seorang imam dan beberapa anak kecil sebagai makmum. Padahal masjid di sana besar. Kapasitasnya bisa lebih dari 500 orang. Kubah masjid telah terlihat sebelum perahu menyentuh pelabuhan.
“Islam telah hilang di Waigama,” kata Shohibul.
Mungkinkah Waigama menjadi potret Islam di Raja Ampat? Shohibul menduga, keadaan kaum Muslim di daerah lain di Raja Ampat sama: kurang terbina dengan baik. Hal ini juga diakui oleh Rita Subagyo, Sekretaris Jenderal Komunitas Muslimah untuk Kajian Islam (KMKI) yang Mei lalu sempat berkunjung ke Raja Ampat, “Memang benar bahwa masyarakat Raja Ampat sekarang ini baru menjadi Muslim, belum Mukmin,” katanya awal Juni lalu.
Beberapa Muslim di Raja Ampat sudah tak malu mengenakan atribut-atribut Islam seperti kopiah atau jilbab. Tapi, kata Rita, pemahaman mereka tentang itu belum sampai pada batas-batas yang disyariatkan.
Mereka juga tahu bahwa shalat itu wajib, tapi belum sampai pada kesadaran bahwa shalat berjamaah di masjid adalah penting dan utama bagi laki-laki.
“Apalagi bila diajak bicara soal arus liberalisasi dan sekulerisasi yang merusak kaum Muslim di Indonesia, mereka benar-benar belum berpikir sampai ke situ,” kata Rita.
Padahal, bahaya liberalisasi dan sekulerisasi mengancam mereka. Apalagi tayangan televisi sudah bisa dilihat dengan menggunakan parabola, internet juga sudah bisa diakses di beberapa pulau, dan pelancong bebas hilir mudik di kampung-kampung di Raja Ampat.
Shohibul membenarkan adanya bahaya arus liberalisasi dan sekulerisasi yang mengancam penduduk Raja Ampat, utamanya pemuda. Bahkan, Shohibul menduga arus inilah yang membuat Islam pernah hilang di Waigama.
“Keinginan anak-anak muda untuk merantau ke kota begitu besar,” kata Shohibul. Anak-anak muda itu melanjutkan sekolah atau bekerja di Sorong dan Monokwari. Sebagian merantau juga ke luar Papua seperti Makassar, Sulawesi Selatan. Di kota ini, mereka bukannya membaik, malah membawa pulang budaya bebas yang membahayakan.
500 Tahun Islam di Papua: Dari Raja Ampat Hingga Sultan Papua [2]
Tak heran bila sekarang Waigama telah dilanda persoalan sosial. Mirisnya, yang menonjol adalah hamil di luar nikah. “Dalam setahun bisa ada 4 kasus hamil di luar nikah,” kata Shohibul. Padahal dulu, pergaulan antar muda-mudi sangat dijaga.
Bila merujuk data Biro Pusat Statistik Kabupaten Raja Ampat yang dikeluarkan tahun 2011, komposisi penduduk di kabupaten ini memang didominasi oleh usia muda.
Kelompok umur 0 hingga 4 tahun hanya 12,5 persen, sedangkan usia 75 tahun ke atas hanya 0,31 persen. Itu berarti, jumlah kelompok umur 4 hingga 75 tahun sebesar 87 persen. Adapun penduduk usia 15 hingga 55 tahun mencapai sekitar 70 persen.
Rita menambahkan bahwa anak-anak dan remaja Muslim Raja Ampat sebenarnya sudah pandai mengaji dan hafal surat-surat pendek al-Qur’an. Mereka tahu rukun iman dan rukun Islam. Itu berarti mereka belajar Islam. “Kita punya harapan besar kepada anak-anak ini,” kata Rita.
Namun, Shohibul mengingatkan, jika anak-anak tersebut tidak terus dibimbing dan diarahkan, mereka pun akan “tersesat” sebagaimana kebanyakan anak-anak muda. Bila mereka hendak meneruskan sekolah ke luar Raja Ampat, sebaiknya masukkan mereka ke pesantren atau sekolah-sekolah Islam.
Persoalan lain yang ikut mempengaruhi “hilangnya” Islam di Waigama —juga Raja Ampat— kata Shohibul, kondisi perekonomian masyarakat yang masih lemah.
Ini juga diakui oleh Ketua Al-Fatih Kaaffah Nusantara (AFKN), Fadzlan Garamatan. Menurutnya, distrik-distrik di Raja Ampat yang dipisahkan oleh laut menyebabkan transportasi sulit. Akibatnya, barang kebutuhan pokok juga sulit didapat. Harga-harga barang tinggi, lapangan kerja terbatas, dan modal usaha tak ada.
Oleh karena itu, kata Fadzlan, solusi untuk mengatasi semua ini adalah kerja yang terintegrasi. Para mubaligh jelas dibutuhkan oleh penduduk Raja Ampat. Mereka harus tinggal bersama masyarakat, bukan sekadar datang sewaktu-waktu saja.
Sarana pendidikan yang aman juga mereka perlukan. Setidaknya, kesadaran masyarakat agar tidak ceroboh memasukkan anak-anaknya ke lembaga pendidikan yang bisa merusak aqidah perlu ditumbuhkan.
Namun, kata Fadzlan lagi, penduduk Raja Ampat juga perlu diberikan jalan keluar dari persoalan ekonomi yang menghimpit. Mereka perlu modal dan kecakapan untuk mengolah sumberdaya yang ada.
“Problematika ini menjadi tugas seluruh kaum Muslim untuk mengatasinya. Ayo kita kembalikan kejayaan Islam di Raja Ampat. Jangan biarkan Islam hanya seperti buih di atas ombak. Penganutnya banyak tapi sesungguhnya mereka jauh dari nilai-nilai Islam,” kata Fadzlan.*