Hidayatullah.com– Sudah 72 tahun bangsa Indonesia berdiri di atas kemerdekaannya. Namun masih ada pertanyaan yang sering terlontar, benarkah negeri ini sudah betul-betul merdeka?
Dalam upaya menjawab itu, momentum 17 Agustus 2017 diharapkan menjadi pemicu bangsa ini untuk menuju kemerdekaan seutuhnya. Yaitu kemerdekaan yang tak sebatas perayaan dan pengucapan ritual tahunan.
Bukan pula kemerdekaan yang hanya dirasakan sebagian golongan di republik ini. Tapi betul-betul kemerdekaan yang dirasakan segenap elemen bangsa, termasuk rakyat kecil.
Seirisan itu, bagi Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, HUT RI ke-72 harus dimaknai sebagai momentum pembuktian (syahadah) dari kemerdekaan yang telah diperoleh. Yaitu, dengan menghadirkan kemerdekaan yang memerdekakan rakyat Indonesia.
“Bagaimana kemerdekaan bisa membebaskan rakyat dari kemiskinan dan pemiskinan, membebaskan rakyat dari kebodohan dan pembodohan, sehingga cita-cita kemerdekaan Indonesia raya yang adil dan makmur (tercapai. Red),” ujar Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak, dalam pernyataan tertulisnya bertepatan HUT RI ke-72, Kamis (17/08/2017).
Baca: HUT RI ke-72, Bangsa Indonesia Harus Merdeka Sepenuhnya
Meningkatkan Kemerdekaan
Betul, Indonesia secara konstitusional telah merdeka dari penjajahan asing seperti Belanda dan Jepang. Namun, kemerdekaan menyeluruh yang ada saat ini belum sepenuhnya dirasakan oleh sebagian pemilik bangsa ini.
Sehingga, kemerdekaan itu harus ditingkatkan, agar yang merasa belum sepenuhnya merdeka bisa merasakan arti merdeka yang sesungguhnya itu.
“Maka inilah tugas yang harus kita dorong, agar seluruh komponen bangsa bisa menikmati kemerdekaan yang sesungguhnya, yaitu kemerdekaan lahir, batin, fisik, dan mental,” ujar Wakil Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI), Amirsyah Tambunan, di Gedung MUI, Jakarta Pusat, Rabu (16/08/2017), di hari MUI menyampaikan tausiyah kebangsaan menyambut HUT RI ke-72.
Secara lebih khusus, makna kemerdekaan adalah berkeadilan dan berkeadaban, menurut Pimpinan AQL Center, Ustadz Bachtiar Nasir. Dari sisi makna ini, bisa dilihat jika belum sepenuhnya rakyat merasakan kemerdekaan atau keadilan tersebut.
Dalam hal kesenjangan ekonomi, misalnya, utamanya kepemilikan lahan tanah di Indonesia saat ini, menurut Bachtiar, persoalan tersebut menjadi otokritik bagi bangsa Indonesia.
“Banyak sekali rakyat miskin yang sebetulnya mereka pemilik tanah tetapi sekarang mereka bagai tuan yang tak memiliki tanah. Mereka harusnya menjadi tuan di negeri sendiri, tetapi pada akhirnya pemilik tanah bukanlah tuannya sendiri di negeri ini,” ujarnya dalam konferensi pers kegiatan ‘Syiar Persatuan, Mengisi Kemerdekaan dengan Qur’an’ di Tebet, Jakarta, Senin pekan ini.
Baca: 72 Tahun RI, MUI Desak Pemerintah Lebih Serius Atasi Kesenjangan Sosial dan Hukum
Berdasarkan data laporan yang dikeluarkan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), akhir tahun lalu, menunjukkan, 1 persen penduduk Indonesia menguasai hampir 70 persen aset negara.
“Ini menjadi salah satu faktor yang memicu terjadinya ketimpangan sosial di dalam negeri,” ujar Ketua Badan Pengurus Pusat (BPP) HIPMI, Anggawira, dalam keterangannya kepada hidayatullah.com di Jakarta, Ahad, 11 Desember 2016.
Selain sosial, dari sisi hukum pun demikian. Umat merasakan adanya ketimpangan penegakan hukum di negeri ini. Apalagi dewasa ini, pasca kasus penistaan agama dengan terpidana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), hukum dirasa tajam ke bawah, khususnya terhadap umat Islam, tapi tumpul ke atas.
Dalam kasus Ahok itu, contohnya, disebut sebagai kasus penistaan agama yang gelar perkaranya terpanjang, menghabiskan anggaran dan energi rakyat Indonesia, sedangkan Ahok dirasa lama baru dijebloskan ke tahanan. Sementara dalam kasus serupa sebelumnya, pelakunya begitu cepat ditangkap.
Kondisi demikian dikhawatirkan berdampak pada para penerus bangsa Indonesia. “Ini akan menjadi catatan pahit generasi pelanjut negeri ini,” ungkap Ketua Umum Syabab Hidayatullah, Suhardi, awal Mei 2017, saat sidang-sidang kasus Ahok sedang berproses.
Baca: 1 Persen Penduduk Indonesia Menguasai Hampir 70 Persen Aset Negara
Meretas Problematika
Oleh karena itu, HUT RI ke-72 sepatutnya menjadi momentum bagi bangsa ini untuk bangkit meretas problematika tersebut. Baik di jajaran pemerintahan, pada tataran pelaku bisnis, maupun dalam ranah masyarakat akar rumput, dan sebagainya.
Dalam hal penguasaan aset, sebagai contoh kasus, salah satu bentuk kemerdekaan adalah ketika pemilik tanah negeri ini dimiliki oleh tuannya sendiri. “Peringatan kemerdekaan semoga harus semakin menguatkan kedaulatan Republik Indonesia,” ungkap Bachtiar yang juga Ketua GNPF MUI.
Pun dalam lingkup kepemimpinan nasional, kemerdekaan harus disyukuri dengan merealisasikannya dalam bentuk kepemimpinan yang dipimpin oleh pribadi-pribadi berhikmah.
Secara lebih khusus, kemerdekaan ini harus diisi dan ditingkatkan oleh para pemuda bangsa.
“Peran pemuda saat ini bekerja pada upaya pembuktian mengisi kemerdekaan tersebut, dengan meninggikan produktivitas dan merawat integritas (akhlak yang baik),” pesan Dahnil.
Baca: Bachtiar Nasir: Merdeka Harusnya Menjadi Tuan di Negeri Sendiri
Di sisi lain, perlu diperhatikan faktor-faktor penghambat “pemerataan kemerdekaan” tersebut. Salah satunya, masifnya praktik korupsi di negeri yang sedang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla ini.
“Maka salah satu PR (pekerjaan rumah. Red) kekinian dan masa depan pemuda adalah melakukan perlawanan terhadap praktik korupsi,” pungkas Dahnil berpesan.*