HUSNAN Bey Fananie mempunyai banyak kisah yang menarik dalam perjalanan hidupnya. Antara lain perjalanannya makan bangku kuliah di negeri orang.
Duta Besar (Dubes) Republik Indonesia untuk Azerbaijan ini menuturkan, ia menempuh pendidikan sarjananya selama 6 tahun di Pakistan. Perjalanannya di negeri ini diawali pada tahun 1988.
Waktu itu, ia diterima di International Islamic University of Islamabad (IIUI) melalui tes di Jakarta.
“Tapi karena visa saya lama tidak keluar akhirnya saya mengajukan sendiri visa untuk berlibur,” tuturnya di hadapan puluhan pelajar asal Indonesia di gedung Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk Pakistan di Islamabad, Jumat terakhir Februari lalu.
Di Pakistan, ia sempat menunggu selama satu semester untuk bisa menjadi mahasiswa IIUI.
“Ternyata nama saya belum keluar di kampus, dan saya disuruh menunggu dan diperbolehkan tinggal di Hostel Faisal (Masjid Faishal),” imbuh anak dari salah satu Pendiri Pondok Modern Darussalam, Gontor, KH Zainuddin Fananie ini.
Selama masa penantian tersebut, Husnan sempat menempuh pendidikan Bahasa Inggris di National Institute of Modern Languages (NIML), Islamabad.
Merasa hidupnya biasa saja, Husnan akhirnya memutuskan untuk mendaftar kuliah di University of The Punjab di Lahore, Pakistan, jurusan History dan Islamic Studies. Ia memperoleh gelar Bachelor of Art (BA)-nya pada tahun 1992.
Selain itu, Husnan juga sempat kuliah di Government College, Punjab University, Lahore, Pakistan. Pendidikan tersebut diselesaikannya pada tahun terakhirnya di Pakistan, tepatnya 1993.
“Government College itu merupakan lembaga pendidikan yang berada di bawah Punjab University, waktu itu saya mengambil Fakultas Political Science (Politik Sains),” terang Staf Khusus Menteri Agama RI tahun 2010-2014 ini.
Baca: Kisah Muslimah Tunadaksa, Demi Jadi Guru “Gadaikan” Ijazah kepada Allah
Pindah ke Belanda
Usai menyelesaikan pendidikan sarjananya, Husnan berkeinginan pergi ke Belanda.
“Dengan bantuan teman saya akhirnya saya mendapatkan panggilan visa (Calling Visa) ke Belanda. Waktu itu saya menunggu selama 3 hari,” ungkap Husnan.
Atas bantuan seorang temannya, selama di Belanda, Husnan tinggal di sebuah mushalla kecil bernama Al-Ittihad.
Pemuda kelahiran Jakarta, 13 November 1967 ini bertutur, kedatangannya ke Negeri Kincir Angin itu dengan tujuan untuk melanjutkan pendidikan.
“Di Belanda saya juga pernah bekerja di restoran Turki sebagai tukang bersih-bersih,” ujarnya sambil terkekeh.
Husnan menceritakan, di Belanda ia berjumpa dengan seseorang bernama Saiful Hadi, Kepala Biro Antara News Agency yang juga merupakan anak dari tokoh Nahdlatul Ulama (NU), Idham Chalid.
Oleh Saiful Hadi, Husnan mendapatkan tawaran untuk membantu di salah satu kantor berita tersebut.
“Akhirnya saya bisa memperpanjang visa saya sampai 2 tahun karena saya hanya mendapatkan visa selama 3 bulan,” ungkap mantan politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini.
Meski sudah mendapatkan pekerjaan layak, Husnan mengaku bahwa ia tetap pada tujuan awalnya, yaitu belajar.
Akhirnya, mantan Asisten Pribadi Wakil Presiden (Aspri Wapres) Hamzah Haz ini mengajukan pendaftaran program magisternya pada tahun 1994 di INIS Rijks Universiteit Leiden, Belanda, Fakultas Teologi dan Budaya (Faculty of Theology and Art).
“Itu pun saya harus ikut ujian semacam persamaan karena ijazah saya dari Punjab tidak bisa diterima. Karena pada saat itu Belanda tidak mempunyai kerja sama dengan Pakistan,” katanya.
Masalah lain, lanjutnya, ia harus menunjukkan bahwa dalam rekeningnya sudah tersimpan uang sebesar 30.000 gulden (sekitar 60 juta rupiah). Hal itu sebagai jaminan uang pembiayaan kuliah selama kurang lebih 2 tahun.
“Karena saya tidak punya uang, akhirnya saya dipinjami uang oleh salah seorang dari KBRI. Namun setelah itu saya kembalikan lagi,” kenangnya sambil tertawa.
Akhirnya, Husnan mampu menyelesaikan program magisternya pada tahun 1997. Tesisnya yang berjudul “Modernism in Islamic Education in Indonesia and India. A case study of Pondok Modern Gontor and Aligarh” dijadikan mahar untuk melamar (calon) istrinya yang bernama Rosdiana.
Ujian Itu Diterjang, Bukan Ditakuti
Dari lika-liku pengalamannya tersebut, Husnan, khususnya kepada para pelajar ataupun mahasiswa, agar tidak ada rasa takut terhadap segala macam bentuk ujian.
“Jangan sekali-kali untuk takut dengan ujian, seharusnya ujian itu diminta dan dihadapi, bukan ditunggu,” tutur mantan anggota Komisi I DPR RI ini kepada hidayatullah.com ditemui seusai acara di Islamabad, Jumat (23/02/2018) itu.
Pria yang pernah menjadi Ketua Persatuan Pemuda Muslim se-Eropa (PPME) ini berpesan, dengan menghadapi ujian, seseorang akan dapat mengangkat citra diri sendiri dan orang-orang terdekat.
“Jika ada harimau di depanmu lebih baik kalian terkam dulu, karena lebih baik mati menerkam harimau daripada mati diterkam harimau,” pesan penulis buku Menapaki Kaki-Kaki Langit ini.* Ali Muhtadin