“INGAT jangan banyak bergerak, sedikit terjadi gerakan, ketinting bisa oleng dan terbalik!”
Abdul Muhaimin, 47 tahun, mengingatkan tim yang akan masuk Dusun Fatu Marando. Dusun ini terletak di Desa Salubiro, Kecamatan Batu Rube, Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah.
Atas izin Allah Ta’ala, Idul Adha 1438 H menjadi momentum strategis untuk menguatkan hidayah yang Allah berikan kepada warga Suku Wana di Dusun Fatu Marando.
Dipimpin oleh Muhaimin, tim Qurban Masuk Desa BMH dengan Pos Dai berangkat ke Fatu Marando sejak Senin (28/08/2017) dan tiba di lokasi pada Rabu (30/08/2017) tepat saat tiba waktu maghrib.
Muhaimin menuturkan bahwa perjalanan ke Fatu Marando bukanlah perjalanan ringan. Dibutuhkan mental dan stamina untuk tiba di lokasi.
“Kita akan naik ketinting dari Lijo sampai Fatu Marando sampai enam jam lamanya. Karena melawan arus sungai. Ingat jangan banyak bergerak, sedikit terjadi gerakan ketinting bisa oleng dan terbalik,” ucapnya dai Hidayatullah ini mengingatkan tim yang sebagian besar baru pertama kali masuk ke dusun itu.
Ternyata peringatan itu benar-benar terjadi. Ketinting yang dinaiki tim tersebut tak pernah benar-benar meluncur dengan stabil. Beberapa kali, ketinting oleng meski tidak sampai terbalik.
Ketegangan bertambah luar biasa saat melawan arus di kawasan bebatuan. Kala ketinting kandas, itu lebih baik, karena semua penumpang turun dan ketinting ditarik ramai-ramai. Tapi jika dalam keadaan tidak kandas, setengah mati mesin ketinting itu meraung-raung melawan derasnya arus.
Semakin ke hulu, deras arus Sungai Bongka semakin tak bersahabat. Beberapa kali tiga ketinting yang dinaiki tim mundur terbawa arus.
Bahkan yang paling menegangkan saat tiba di arus deras yang kondisi sungainya dalam, salah satu ketinting tim kehabisan bensin. Seketika semua panik. Bagaimana tidak, sampan seketika terbawa arus. Pemegang kemudi ketinting pun menahan arus dalam kondisi lebih dari separuh badannya terendam air.
Beruntung, terasa adanya pertolongan Allah. Ketinting itu berhasil dikendalikan di tengah derasnya arus Sungai Bongka yang kian menjadi-jadi.

Setiba di Fatu Marando, semua penumpang basah. Bukan saja pakaian di badan, tas yang ditutup terpal di dalam ketinting pun tak ada yang luput dari kelembaban yang sangat.
Demikianlah sebagian dari sesi perjalanan menuju perkampungan baru kaum mualaf dari Suku Wana di Fatu Marando.
Setelah shalat maghrib dan berbincang-bincang dengan warga Suku Wana yang bisa berbahasa Indonesia, semua ketegangan di air itu seolah terbayar.
“Kami senang masuk Islam, kami hidup lebih baik. Tidak seperti dulu, kami jadi orang yang hidup pindah-pindah di hutan. Capek, setiap tahun harus berpindah sementara hasil tidak ada. Dulu jangankan bisa beli pakaian, beli garam saja kami kesulitan,” tutur Papa Frans (33), salah seorang warga Suku Wana.
Sekarang Alhamdulillah, mereka akunya mulai belajar hidup menetap. “Untung sekali ada Pos Dai membangunkan masjid di sini meski masih proses. Dan, BMH membawakan kami qurban di sini,” imbuhnya.
Sejak kedatangan tim tersebut, warga Suku Wana berangsur-angsur mengunjungi posko pembinaan, mulai dari anak-anak hingga nenek-nenek. Semua berkumpul untuk berbagi cerita dan makan bersama-sama.
Baca: Setelah Bersyahadat, Ratusan Anak Suku Wana Dikhitan Massal Gratis
Qurban untuk Semua
Dalam program tersebut, Tim Qurban itu menyembelih empat ekor sapi, yang mencukupi kebutuhan daging tujuh dusun sekaligus. Yakni Dusun Fatu Marando, Wonsa, Salubiro, Saliano, Fatangilo, Wempanapa, dan Lijo.
Dari semua dusun yang ada, Fatu Marando satu-satunya dusun yang 100 persen penduduknya Muslim. Di dusun selebihnya, umat Islam ada yang sangat minoritas. Seperti di Salubiro, Muslim yang terdata di tim hanya ada dua kepala keluarga (KK). Artinya daging qurban tidak saja dinikmati kaum Muslimin di Fatu Marando, tetapi juga kaum dari agama lain (Kristen) di enam dusun lainnya.
Meski sempat ada provokasi dari pihak-pihak yang tidak suka dengan syiar qurban ini, tetapi akhirnya semua warga hadir dan mengambil daging qurban.
“Sempat ada provokasi, sampai tim harus menunggu daging qurban hingga jam 11 malam. Tetapi, meski dengan berjalan kaki dan malam gulita, akhirnya warga dari Wonsa dan Salubiro berduyun-duyun datang ke Fatu Marando,” terang Muhaimin.
Keesokan harinya, Sabtu-Ahad (02-03/09/2017), warga yang datang seakan tak terbendung.
“Akhirnya semua datang, dan kita tidak peduli, Islam atau bukan, mereka semua mendapat bagian daging qurban sapi,” tegas dai asli Blitar Jawa Timur itu.
Bahkan tidak saja mendapatkan daging, sebelum mereka pulang, semua diajak makan bersama di posko pembinaan mualaf Suku Wana.
Berkelanjutan
Pembinaan mualaf Suku Wana di Fatu Marando tidak saja berhenti di momentum Idul Adha.
“Kami insya Allah akan terus membina masyarakat Wana ini sampai mereka paham betul bagaimana menjadi Muslim. Sebab mereka benar-benar masih baru belajar bagaimana hidup dengan ajaran Islam,” terang Muhaimin, dai yang malang melintang menjalani amanah dakwah di berbagai daerah di Indonesia ini.
Apakah tidak kapok melakukan perjalanan yang sedemikian menegangkan dan melelahkan?
Ayah dari tujuh anak itu menjawab, “Alhamdulillah, selama untuk agama Allah, semua itu siap saya jalani. Toh, Allah sediakan balasan untuk ini. Yang penting bagaimana menjaga hati agar tidak tercemar dari hal-hal yang merusak ketulusan niat.”

Kini suasana kehidupan Islami mulai terbentuk meski masih panjang perjalanan ini. Tetapi dengan yang sudah ada dan sangat tidak seberapa itu, tidak sedikit Suku Wana yang masih nomaden tertarik untuk menetap di Fatu Marando.
“Bahkan dari dusun lain juga ada yang ingin pindah ke Fatu Marando, termasuk kepala sukunya. Ya, kita tidak bisa apa-apa, kalau hidayah sudah Allah bukakan untuk suatu kaum, siapa yang bisa membendung,” ungkap Muhaimin.
Baginya, ini kesempatan para dai untuk ikut andil merawat dan meneguhkan hidayah yang telah Allah tancapkan atas Suku Wana yang ada di Fatu Marando ini.
“Untuk itu, (dakwah) ini tidak boleh berhenti sampai di sini,” tegasnya.*