BEBERAPA perempuan berabaya coklat dan hitam dilengkapi cadar hilir mudik di Masjid Nabawi, Madinah. Mereka terlihat sigap. Para perempuan berabaya coklat sibuk bertugas menjaga kebersihan masjid. Sedang Asykar (tentara) perempuan bercadar hitam sibuk mengawasi, dan menangani jamaah.
Inilah kiprah kaum Hawa di tengah kesibukannya melayani tamu-tamu Allah di Masjid Nabawi, Madinah yang juga merupakan kota terakhir Rasullah hidup.
Jangan keliru, sebagian besar perempuan berabaya coklat itu adalah tenaga kerja wanita (TKW) yang berasal dari Indonesia. Kedatangan mereka di Masjid Nabawi disalurkan oleh bebera[a perusahaan Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI).
Tentu latarbelakang mereka beragam. Ada diantaranya pernah menjadi pembantu rumah tangga di tanah air. Ada juga yang berpengalaman sebagai pedagang. Juga beragam alasan personal membawa mereka bisa sampai di salah satu dari tiga masjid yang diberkahi ini.
Masing-masing pekerja memiliki tugas berbeda. Beberapa diantaranya: mengganti tong-tong kosong dengan tong yang sudah terisi air zam-zam, mengepel lantai yang becek akibat air zam-zam yang tumpah, memunguti plastik atau kertas bawaan jamaah yang tercecer, merapihkan dan menyisihkan Al Qur’an pemberian jamaah yang tidak sesuai standar Al Qur’an di Masjid Nabawi.
Peranannya bahkan sampai di luar masjid seperti di toilet dan tempat pengisian air minum non air zam-zam. Di toilet, mereka sudah terbiasa membersihkan kotoran manusia. Bekerja dalam diam, cekatan bergerak, ciri khas mereka. Berbicara pada jamaah-pun seperlunya saja.
Namun, hidayatullah.com beruntung bisa bercakap cukup lama dengan mereka pada pertengahan April lalu menjelang shalat Subuh.
Atijah, perempuan asal Purwakarta, Jawa Barat, duduk merapat pada peralatan kebersihan miliknya. Ia duduk di barisan paling belakang. Sembari menunggu adzan Subuh dikumandangkan, sementara matanya tak lepas mengawasi jamaah.
“Mafi kurusy ya, Mama (Tidak ada kursi, Bu),” jawabnya ketika ada seorang jamaah menanyakan persediaan kursi.
Rupanya di sana cukup banyak jamaah yang shalat duduk di kursi. Biasanya jamaah berusia lanjut yang menggunakan kursi. Sayangnya, persediaan kursi telah habis.
Hampir setahun perempuan berusia 45 tahun itu bekerja di sana. Bersama teman-temannya sesama pekerja di Masjid Nabawi, Atijah tinggal di sebuah asrama di Madinah. Waktu tempuh perjalanan sekitar 30 menit. Datang dan pergi diantar oleh bus yang sudah disediakan.
Setiap dua bulan sekali, pekerjaannya berganti. Jam kerja terbagi tiga shift: jam 06.00-14.00, 14.00-22.00, 22.00-06.00. Di lain waktu, bisa saja Atijah bertugas membersihkan toilet perempuan atau mengurusi pengisian ratusan tong air zam-zam.
Ada kalanya Ia mengerjakan pekerjaan yang sama, namun ditempatkan di ruang ibadah lainnya.
Saat ditemui hidayatullah.com, tugas Atijah memunguti sampah di dalam ruang ibadah perempuan yang dimasuki melalui Pintu nomor 29.
Begitu juga dengan pekerja lainnya. Pekerja yang bertugas mengisi air zam-zam yang terdapat di dalam masjid dekat tempat ibadah, misalnya. Pergerakan mereka berputar dari satu lokasi tong zam-zam ke lokasi tong zam-zam lainnya.
Dalam satu lokasi berjajar ratusan tong di sisi kiri dan kanan. Jika tong tersebut kosong, para pekerja akan menggantinya dengan tong yang sudah dipersiapkan dibelakangnya.
Bisa dibayangkan betapa lelahnya pekerja seperti Atijah. Membersihkan masjid yang setiap harinya didatangi ribuan jamaah. Belum lagi tingkah laku jamaah antar negara berbeda satu dengan lainnya. Ada diantara mereka berwudhu dengan air zam-zam di depan tong-tong itu demi kepraktisan.
Untuk menjangkau toilet dan tempat wudhu, diperlukan waktu minimal 15 menit karena lokasinya di pelataran masjid. Belum lagi jika masjid sudah sesak oleh jamaah. Memakan waktu lebih lama menjangkaunya. Jika berwudhu dengan air zam-zam, air akan berceceran di lantai ruang ibadah. Setiap itu pula pekerja harus mengepelnya.*/bersambung “Leluasa Berdoa di Raudhah setiap Saat”