Hidayatullah.com | “Tidak ada mesjid yang akan ditutup di Turki dari ancaman virus corona. Penutupan mesjid lebih berbahaya dari virus Corona. Siapa saja yang meninggalkan mesjid hari ini, besok dia akan kehilangan iman karena Dajjal. Percaya kepada Allah, dan hanya Allah pemberi pertolongan.”
Begitulah bunyi pesan bertempelkan gambar presiden Turki, Recep Tayyip Erdoğan, yang tersebar di Indonesia beberapa hari terakhir. Saya dihubungi oleh kerabat dan keluarga, menanyakan kebenaran berita ini. Kesalahan mereka yang menyebarkan informasi ini, bukan hanya memberitakan kebohongan, tetapi juga menjerumuskan orang lain ke dalam bahaya.
Faktanya, sependek pengamatan saya, Turki terhitung amat sigap dan terukur dalam menangani wabah Covid-19 ini. Hanya sehari setelah pasien positif pertama diumumkan pada Rabu, 11 Maret, seluruh sekolah dan perguruan tinggi diliburkan selama tiga pekan. Sehari kemudian, fatwa ditiadakannya sholat berjamaah di masjid, tak terkecuali sholat Jum’at, dikeluarkan oleh Diyanet, otoritas keagamaan setempat.
Hampir genap sebulan berlalu, kebijakan pemerintah makin ketat. Kegiatan belajar di seluruh tingkat telah resmi dirubah menjadi jarak jauh. Sebagai respon, tiga operator seluler menggratiskan akses internet sekian giga per-bulannya. Hanya penduduk berusia antara 20 hingga 65 tahun yang boleh keluar rumah. Itupun diharuskan hanya untuk tujuan penting semisal belanja kebutuhan di swalayan, dan diwajibkan mengenakan masker. Masker dilarang diperjualbelikan, malahan dibagikan secara gratis. Melalui perusahaan pos negara, masyarakat yang mengajukan permohonan akan dikirimkan sepaket masker langsung ke alamat rumah.
Di samping itu, perjalanan antar kota besar dilarang kecuali dengan izin walikota. Seluruh penerbangan berhenti beroperasi. Dan masjid-masjid secara umum ditutup. Hanya saja adzan tetap diperdengarkan, dan tiap bakda isya, doa dan sholawat dilantunkan lewat pengeras suara. Tawakkal memanglah seharusnya dilakukan beriringan dengan usaha maksimal berdasarkan ilmu pengetahuan.
Fenomena ini berkesesuaian dengan prinsip Hifdzunnafs (Menjaga Kehidupan) dalam Maqashid Syariah. Yang oleh Imam Al-Syatibi ditempatkan pada prioritas kedua, persis setelah Hifdzuddin (Menjaga Agama). Dan begitulah perintah “Wa la tulqu bi aydikum ila at-tahlukah“(Jangan jerumuskan dirimu ke dalam kebinasaan), dan kaidah “Dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil masalih” (Menghindari kerusakan lebih diutamakan ketimbang memperoleh manfaat), secara proporsional dimaknai dan diaplikasikan.
Saat ini, bila melihat data yang dirilis oleh WHO, tak dapat dipungkiri Turki memang dimasukkan ke dalam daftar sepuluh besar negara yang terdampak virus covid-19. Hingga Selasa, 7 April, tercatat 34.109 orang dinyatakan positif dan 725 meninggal dunia. Ini dapat dimaklumi karena tes yang telah dilakukan amatlah masif. Berdasarkan data yang tiap malam dapat diikuti pembaharuannya melalui media sosial milik Menteri Kesehatan, Fahrettin Koca, tak kurang dari 222.868 tes telah dilakukan. Dalam tiga hari terakhir, tes yang dilakukan dalam sehari mencapai angka di atas 20.000. Karenanya, sejauh ini situasi dan kondisi di Turki nampak kondusif.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Meskipun pengawasan diperketat, sehingga jalan-jalan umum benar-benar nampak jauh lebih lengang dibanding biasanya, akses masyarakat terhadap pangan tidak terdampak secara signifikan. Mereka yang terdampak situasi dan tak lagi berpenghasilan, sedikit banyak terbantu oleh budaya masyarakat Turki sendiri yang gemar saling-menolong. Bila hal ini terus berlanjut, prediksi para pengamat bahwa wabah ini akan berakhir dalam tiga bulan, dapat benar-benar terwujud. Allahu A’lam.* Usamah Abdurrahman
*Ketua PPI Turki & Mahasiswa Master Filsafat Islam di Necmettin Erbakan Universitesi, Konya