Fenomena baru muncul di China, banyak pria memilih jadi ‘ayah penuh waktu’ (bapak rumah tangga), sementara wanita sibuk mencari nafkah
Hidayatullah.com | KITA lazim mendengar ibu rumah tangga, sementara bapak bekerja mencari nafkah di luar rumah. Namun di Tiongkok lain, belakangan muncul fenomena baru ‘ayah penuh waktu’ atau ‘bapak rumah tangga’, sementara para wanita sibuk mencari nafkah.
Banyak ayah di China memutuskan berhenti bekerja untuk memilih melakukan pekerjaan rumah tangga, seperti; mengasuh anak mereka di rumah, memasak, membersihkan rumah, dll.
Chen Hualiang, yang kini mengerjakan tugas-tugas rumah tangga yang biasanya diserahkan kepada istri, menentang tradisi patriarki yang sudah mengakar dan bahkan menginspirasi sebuah acara TV terkenal.
Perlu diketahui, norma sosial di Tiongkok berabad-abad menetapkan bahwa laki-laki alias pria mencari nafka, sementara perempuan mengurus rumah tangga dan anak-anak.
“Saat Anda bekerja, Anda memimpikan karier yang hebat dan uang ini akan membantu keluarga Anda,” kata Chen Hualiang kepada AFP dari sebuah vila di pinggiran kota Shanghai, dengan putrinya yang berusia empat tahun dan putranya yang berusia 11 tahun bermain di dekatnya.
“Namun tidak ada yang pasti, dan gaji belum tentu merupakan hal yang paling dibutuhkan keluarga Anda.”
Norma sosial di Tiongkok selama berabad-abad telah menetapkan bahwa laki-laki adalah pencari nafkah, sementara perempuan mengurus rumah tangga dan anak-anak.
“Ayah saya hanyalah seorang ayah. Saya tidak pernah merasa bahwa ia dapat membantu saya, kecuali dalam hal keuangan,” kata Chen. “Saya ingin menjadi seperti teman bagi anak-anak saya, sehingga mereka dapat berbagi banyak hal dengan saya,” tambah dia.
Lebih dari separuh pria China kini mengatakan mereka setuju untuk menjadi ayah rumah tangga, demikian sebuah survei tahun 2019 yang dikutip oleh media pemerintah menunjukkan – naik dari hanya 17 persen pada tahun 2007.
Hal itu bertepatan dengan pengakuan yang lebih luas terhadap hak-hak perempuan dan akses mereka ke pendidikan tinggi, meskipun mereka masih kurang terwakili dalam peran senior.
“Peningkatan jumlah ayah rumah tangga terjadi karena perempuan memiliki status yang lebih tinggi saat ini,” kata Pan Xingzhi, pendiri platform konseling psikologis daring, kepada AFP.
Orang-orang juga melihat “nilai uang” – bagi pasangan, mengorbankan gaji dan mengurus bayi mereka sendiri seringkali lebih murah daripada menyewa pengasuh anak, kata Nyonya Pan.
‘Sangat membantu’
Bagi Chen, keputusannya untuk tinggal di rumah memberikan waktu luang bagi istrinya, Ibu Mao Li, seorang penulis buku laris tentang ayah yang mengurus rumah tangga.
“Pada awal pernikahan kami, saya bertanya-tanya tentang kesediaannya menolong sebagai seorang istri,” katanya.
“Dia banyak bekerja, jadi dia tidak membantu saya mengurus anak-anak dan tidak terlalu memperhatikan saya. Namun sekarang dia mengurus anak-anak dan tinggal di rumah, saya merasa dia sangat membantu,” katanya.
“Saya memberinya nilai 9,5 dari 10.”
Di Xiaohongshu, media sosial sejenis Instagram di Tiongkok, para ayah muda yang mengurus rumah tangga dengan bangga mempromosikan pilihan gaya hidup mereka.
Chang Wenhao, 37 tahun, seorang conten creator dan wirausahawan pendidikan asal kota Zhuhai, Tiongkok selatan, adalah salah satu orang yang bertobat.
Ia menyesuaikan jam kerjanya agar 80 persen waktunya dapat digunakan untuk putrinya yang berusia tujuh tahun dan putranya yang berusia lima tahun, dengan mengajak mereka berkemah, menunggang kuda, bersepeda, dan hiking.
“Dalam hal metode pendidikan, dorongan, cara membangun kepercayaan diri, mengembangkan keterampilan mereka, kemandirian mereka dalam hidup, saya berikan mereka hal-hal yang tidak mereka pelajari di sekolah atau dari orang dewasa lainnya,” katanya.
Buku karya Mao telah mengilhami serial televisi 36 episode berjudul Husband And Wife dengan tema ayah penuh waktu, yang menghidupkan kembali perdebatan yang terkadang panas tentang peran pria di rumah di Tiongkok.
“Orangtua saya agak khawatir karena saya adalah seorang ayah rumah tangga,” kata Nyonya Chen.
“Ada yang bilang, terutama di media sosial, saya hidup dari istri saya.”
Banyak ayah rumah tangga lainnya juga melaporkan penolakan dari keluarga mereka. Xu Xiaolin, 34 tahun, dari kota Xiamen di Tiongkok timur, telah menjadi ayah rumah tangga sejak perusahaan tempat ia bekerja bangkrut.
“Pada awalnya, orang tua dan kakek-nenek saya sering berkata: ‘Kamu harus bekerja,’” kata Xu kepada AFP.
“Tetangga yang lebih tua terkadang berkomentar kepada mereka. Itu mengganggu mereka, jadi mereka menekan saya.”
Orang-orang yang lewat terkadang mengolok-oloknya saat dia mengajak putranya yang berusia dua tahun jalan-jalan sendirian, katanya.
“Namun orang-orang yang berusia di bawah 35 tahun tidak lagi memiliki mentalitas itu.”
Chang, sang wirausahawan, juga mengatakan bahwa ia telah menyadari mulai adanya perubahan dalam beberapa tahun terakhir. “Banyak ayah mulai menghargai kebersamaan dan pendidikan anak-anak mereka”, dan mendengarkan kebutuhan mereka.
“Ini akan terus berkembang,” katanya. “Namun perubahan yang mendalam masih memerlukan waktu,” katanya dikutip AFP.*