Hidayatullah.com– Maret 2018, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan darurat pornografi pada anak Sekolah Dasar (SD).
Dari 6.000 sampling anak usia SD di 4 provinsi, yakni di Aceh, Jawa Tengah, Jakarta, dan Yogyakarta, ditemukan 91,58 persen anak telah terpapar pornografi, 6,3 persen mengalami adiksi (kecanduan) pornografi ringan, dan 0,07 persen mengalami adiksi berat (kpai.go.id, 31 Maret 2018).
Peneliti psikologi saraf (neuropsikologi), Ihshan Gumilar, mengungkap otak seseorang yang terpapar banyak adegan pornografi akan kebanjiran dopamin.
Dopamin adalah bahan kimia yang dihasilkan oleh sel saraf otak yang menyebabkan timbulnya rasa senang.
Pada dasarnya, kata Ihshan, otak menghasilkan dopamin dalam kadar yang normal. Namun, ketika seseorang melihat adegan pornografi, sel sarafnya dipaksa untuk menghasilkan dopamin lebih banyak. Walhasil otaknya kebanjiran dopamin.
Dampak dari kebanjiran dopamin ini, terang Ihshan, akan meningkatkan ambang batas di otak untuk dapat terangsang secara seksual.
Ia mencontohkan, jika manusia dalam keadaan normal mempunyai ambang batas 10 agar terangsang secara seksual, kini ambang batasnya meningkat menjadi 30 akibat terpapar banyak pornografi dan kebanjiran dopamin.
Karenanya konsumsi pornografi jadi harus ditingkatkan pula untuk menyentuh ambang batas yang terus meningkat itu. Inilah yang menuntun pada adiksi pornografi dan membuat otak jadi rusak.
Tapi jangan khawatir, adiksi pornografi ini bisa dikurangi. Bagaimana caranya? Ihshan memberi tahu, caranya adalah dengan membuat pecandu pornografi sibuk dengan aktivitas-aktivitas lain dan melatih pengendalian diri (self control) mereka.
Self control ini, kata Ihshan, penting dan nomor satu untuk mengurangi adiksi pornografi. Sebab orang tidak bisa keluar dari dalam lingkaran adiksi pornografi lantaran tidak mempunyai kontrol diri.
“Ketika stimulus datang, dia terangsang, dia enggak bisa kontrol. Ah melakukan lagi. Besok melihat lagi, melakukan lagi. Kalau sudah begitu, sehari bisa lima enam kali melakukannya,” ujar lulusan Laurentian University Kanada ini kepada hidayatullah.com Jakarta, Selasa (12/06/2018).
Ihshan mengungkap, kebanyakan anak-anak, remaja, atau orang dewasa yang usianya sekitar 25 tahun kerap menonton pornografi karena merasa kesepian.
“Temannya internet. Maka mengakseslah hal seperti itu (pornografi),” katanya.
Salah satu cara untuk mengatasi itu, menurut Ihshan, adalah dengan menyuruh mereka mencari keramaian. Bisa dengan mengajak orang terdekat ngobrol. “Kalau ada orang yang bisa dipercaya,“ kata Ihshan, “bilang, ‘Saya lagi pengen nih (nonton pornografi). Bisa bantu ingetin saya enggak? Selalu ada di dekat saya, biar saya enggak merasa sendirian.’” Sebab biasanya orang tidak mungkin menonton pornografi kalau ada orang di sebelahnya.
Ini adalah salah satu bentuk self control yang juga dibantu oleh social control. Dengan ini, setidaknya mereka jadi mengetahui harus melakukan apa ketika hasrat menonton pornografi itu datang. Salah satunya dengan mencari keramaian.
Selain melatih self control, membuat sibuk pecandu pornografi dengan kegiatan atau aktivitas lainnya juga bisa membantu mereka mengurangi kebiasaan menonton pornografi.
Aktivitas ini, kata Ihshan, membantu mereka mempunyai kebiasaan baru (new habit).
“Ketika itu jadi new habit, maka secara otomatis, otak akan mengadaptasi untuk membiasakan terhadap habit-habit baru itu,” kata pria yang pernah meriset neuropsikologi di Gent University Belgia ini.
Kalau dulu dikatakan otaklah yang mempengaruhi cara perilaku dan emosi seseorang, tapi rupanya sekarang ini, kata Ihshan, arahnya tidak hanya begitu. Perilaku kebiasaan seseorang juga mempengaruhi bagaimana otaknya dibentuk.
Bertahap
Terapi mengurangi adiksi pornografi tidak bisa cepat-cepat. Melainkan harus bertahap, kata Ihshan. Misal dengan memberi target kepada pecandu pornografi yang biasanya menonton lima kali sehari jadi tiga atau empat kali sehari dalam tiga hari kedepan. Setelah mereka bisa mengurangi nontonnya, targetnya lalu dinaikkan.
“Dari bulan Maret ada yang konsultasi. Sampai sekarang belum kelar-kelar. Tapi setidaknya kebiasaan dia yang parah sudah bisa dikurangi lah. Walaupun belum hilang 100 persen. Tapi kita mencoba mereduksinya,” tuturnya.
Kalau terapinya tidak bertahap, kata Ihshan, pasti gagal.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
“Bayangin aja kayak orang yang adiksi narkoba. Makainya udah 10 tahun. Disuruh langsung berhenti jadi sakau. Kalau sakau gimana? Yang ada bisa bunuh orang, kan. Sama juga. Cuma bedanya adiksi narkoba pakai bahan kimia. Adiksi ini enggak pakai bahan kimia. Istilahnya no substance addiction,” jelasnya.
Self Control in Ramadhan
Ihshan yang S-1 psikologinya di International Islamic University Malaysia (IIUM) melihat, Ramadhan seperti madrasahnya orang-orang untuk melatih self control. Dengan terlatih mengontrol diri, kata Ihshan, otomatis otak akan mengikutinya.
“Begitu ada stimulus, mungkin dia akan lebih cepat ngeremnya. Karena 30 hari kita dilatih sudah menjadi habit,” katanya.
Dalam pandangannya, Islam memberikan waktu sebulan puasa untuk mereset otak balik lagi dalam kondisi kemampuan menahan diri untuk siap menghadapi stimulus dalam 11 bulan ke depan.
Karena itu, ia berharap, siapapun, baik yang mengalami adiksi pornografi maupun yang tidak, setidaknya kemampuan menahan diri untuk mengerem stimulus-stimulus yang datang, bisa jauh lebih baik dari sebelum Ramadhan.
“Seharusnya setelah Ramadhan kemampuan seseorang menahan dari melakukan hal-hal yang diharamkan jauh lebih baik dari sebelum Ramadhan. Karena makan minum saja yang bersifat mubah bisa dia tahan, apalagi hal-hal yang haram (seperti menonton pornografi),” pungkasnya.* Andi