Hidayatullah.com—Tak seperti di Indonesia, di Prancis, tempat untuk menunaikan ibadah shalat tidak selalu mudah ditemukan. Di negara dengan mayoritas penduduk Katolik ini, tempat ibadah umat Muslim relatif sedikit, dengan perkiraan hanya satu dari tiap 1.200 tempat ibadah lainnya di Prancis.
Dengan perbandingan seperti ini, tentu sulit bagi warga Muslim Prancis untuk mendirikan shalat di dekat tempat mereka beraktivitas.
Untuk mengatasi masalah ini, lima pemuda Muslim mendirikan sebuah komunitas online yang diberi nama Shalatsurfing. Komunitas yang dilengkapi dengan aplikasi dan website ini berupaya menghubungkan setiap Muslim yang ingin mendirikan shalat dengan mereka yang bersedia menyediakan tempat shalat secara gratis.
Hingga saat ini, Shalatsurfing memiliki 150 ruang shalat, baik di rumah maupun ruangan kantor di seluruh Prancis. Sekitar 2.500 orang telah bergabung sejak layanan yang dilengkapi dengan geolocation ini mulai beroperasi pada September.
Sofiane Benabdallah, salah satu pendiri Shalatsurfing, menyatakan bahwa ide ini serupa dengan dengan aplikasi Airbnb atau Uber. Bedanya, layanan ini gratis dan bertumpu pada kesediaan warga Prancis untuk menyumbangkan ruangan mereka sebagai tempat shalat
“Kami tidak ingin menggantikan peran masjid. Masjid berperan penting dalam ajaran Islam,” kata Yosra Farrouj, salah satu pendiri Shalatsurfing dikutip CNN Indonesia, Selasa, (16/06/2015).
“Shalatsurfing merupakan sebuah alternatif ketika masjid sedang ditutup atau warga Muslim kesulitan menemukan masjid di sekitar mereka,” kata Farrouj melanjutkan.
Otmane Aziz, salah satu anggota Shalatsurfing menilai menyumbangkan ruang untuk shalat merupakan hal yang wajar.
“Ini soal persaudaraan, solidaritas. Bagi saya, ini wajar saja,” kata Aziz.
Setelah serangan terhadap kartunis Charlie Hebdo dan serangkaian kekerasan setelahnya yang menewaskan total 17 orang, sentimen anti-Muslim meningkat di Prancis. April lalu, pemerintah Prancis menyediakan uang sebesar US$150 juta untuk menangani permasalahan isu ras, anti-Semit dan Islamofobia di negara tersebut.*