Sebelum pandemi ada istilah digital nomade, lalu muncul WFH (work from home), sekarang ada work from mosque (WFQ), alias bekerja dari masjid
Oleh: Asih Subagyo
Hidayatullah.com | TIDAK terasa kita sudah memasuki sepuluh hari terakhir bulan ramadhan (asyrul awakhir fi syahril ramadhan). Sebuah episode penghujung di Ramdhan kali ini. Dimana, minimal sejak bulan Rajab kita sudah mengharapkan kehadiran tamu agung itu, namun kini dalam hitungan hari tamu itu akan pegi meninggalkan kita.
Dan entah, tahun depan kita bisa bersua dengan Ramadhan kembali atau tidak. Bahkan sesaat setelah ini, kita masih hidup atau tidak, semuanya merupakan ketetapan Allah Ta’ala. Ibarat sebuah lari marathon, saat menjelang akhir, justru konsentrasi penuh, dan dengan kekuatan sepenuhnya untuk lari sekencang-kencangnya dalam memenangkan perlombaan itu.
Dalam idiom bahasa Inggris sering disebutkan the last minutes is decisive (menit-menit terakhir itu menentukan). Atau dalam bahasa al-Qur’an di surat Adh-Dhuha ayat : 4 وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الْأُولَىٰ
“Dan sesungguhnya hari akhir (kemudian) itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan)”.
Demikian juga yang dicontohkan Rasulullah ﷺ, ketika memasuki bulan Ramadhan, sebagaimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha bahwasannya “dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam apabila telah masuk 10 terakhir beliau mengencangkan ikat pinggangnya, menghidupkan malam-malamnya dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Itikaf
Lantas apa yang dilakukan Nabi di 10 hari terakhir tersebut. Hal ini dijelaskan dalam sebuah hadits lain yang diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a “Bahwa Nabi ﷺ melakukan Itikaf pada hari kesepuluh terakhir dari bulan Ramadhan, (beliau melakukannya) sejak datang di Madinah sampai beliau wafat, kemudian istri-istri beliau melakukan Itikaf setelah beliau wafat.” [HR. Muslim].
Itikaf menurut bahasa artinya berdiam diri dan menetap dalam sesuatu. Sedang pengertian Itikaf menurut istilah dikalangan para ulama terdapat perbedaan.
Al-Hanafiyah (ulama Hanafi) berpendapat Itikaf adalah berdiam diri di masjid yang biasa dipakai untuk melakukan shalat berjama’ah, dan menurut asy-Syafi’iyyah (ulama Syafi’i) Itikaf artinya berdiam diri di masjid dengan melaksanakan amalan-amalan tertentu dengan niat karena Allah. Yang dimaksud amalan tertentu disini adala, selain tentu shalat wajib dan sunnah, juga tadarus al-Qur’an, termasuk qiyamul lail, dlsb.
Oleh karena itu, sebenarnya Itikaf dapat dilakukan setiap saat, tetapi khususnya di bulan Ramadan Itikaf lebih dianjurkan. Itikaf di bulan Ramadan dianjurkan terutama di sepuluh malam terakhir.
Hadis Rasulullah ﷺ menyebutkan bahwa Itikaf di sepuluh malam terakhir bulan Ramadan bagai berit’ikaf bersama beliau (Rasulullah ﷺ). “Siapa yang ingin berItikaf bersamaku, maka berItikaf lah pada sepuluh malam terakhir.” (HR Ibnu Hibban).
Di kalangan para ulama ada pebedaan pendapat tentang masjid yang dapat digunakan untuk pelaksanaan itikaf, apakah masjid jami’ atau masjid lainnya. Sebagian berpendapat bahwa masjid yang dapat dipakai untuk pelaksanaan itikaf adalah masjid yang memiliki imam dan muadzin khusus, baik masjid tersebut digunakan untuk pelaksanaan shalat lima waktu atau tidak.
Hal ini sebagaimana dipegang oleh al-Hanafiyah (ulama Hanafi). Sedang pendapat yang lain mengatakan bahwa itikaf hanya dapat dilaksanakan di masjid yang biasa dipakai untuk melaksanakan salat jama’ah. Pendapat ini dipegang oleh al-Hanabilah (ulama Hambali).
Beberapa syarat itikaf adalah : Orang yang melaksanakan itikaf beragama Islam; Orang yang melaksanakan itikaf sudah baligh, baik laki-laki maupun perempuan; Itikaf dilaksanakan di masjid, baik masjid jami’ maupun masjid biasa; Orang yang akan melaksanakan itikaf hendaklah memiliki niat itikaf ; Orang yang beritikaf tidak disyaratkan puasa. Artinya orang yang tidak berpuasa boleh melakukan Itikaf (terutama untuk perempuan, tentu tidak melaksanakan sholat juga).
Para ulama sepakat bahwa orang yang melakukan itikaf harus tetap berada di dalam masjid tidak keluar dari masjid. Namun demikian bagi mu’takif (orang yang melaksanakan itikaf) boleh keluar dari masjid karena beberapa alasan yang dibenarkan, yaitu; karena ’udzrin syar’iyyin (alasan syar’i), seperti melaksanakan salat Jum’at; karena hajah thabi’iyyah (keperluan hajat manusia) baik yang bersifat naluri maupun yang bukan naluri, seperti buang air besar, kecil, mandi janabah dan lainnya.; karena sesuatu yang sangat darurat, seperti ketika bangunan masjid runtuh dan lainnya.
Kondisi Kontemporer
Saat ini kesadaran orang untuk berItikaf sangat tinggi. Akan tetapi terkendala oleh pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Sehingga ada beberapa hal yang dilakukan dalam menyikapi ini.
Pertama, cuti dan berItikaf di masjid. Kedua, tidak berItikaf karena kantor belum libur/pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan, Ketiga, melakukan Itikaf tetap sambil bolak-balik kerja (hit and run). Keempat, Itikaf dengan tetap kerja dari masjid (work from mosque) alias bekerja dari masjid untuk yang terakhir ini hanya jenis profesi tertentu.
Kita tidak bisa menghakimi, siapa diantara empat model itu yang paling utama. Karena semuanya memiiki alasan, sebagaimana yang dipebolehkan oleh para ulama.
Dari reaalitas di atas, sehingga kita menjumpai pada sepuluh hari terakhir seperti saat ini, masjid-masjid dipenuhi oleh jama’ah. Hal ini menunjukkan tingkat kesadaran untuk mengikuti sunnah Rasulullah sangat tinggi, atau memang menjadi trend dan lifestyle, kita tidak pernah tahu.
Baik tua-muda, laki-laki perempuan, eksekutif atau pekerja biasa, bahkan dalam sebuah keluarga, semua tumpah ruah memenuhi masjid, apalagi di malam-malam ganjil. Khusus tahun ini malah semakin semarak, sebab sudah 2 (dua) Ramadhan ada pembatasan yang ketat untuk melakukan itikaf, karena sedang ganas-ganasnya pandemi saat itu. Meski tetap ada saja yang melakukan itikaf.
Dewasa ini pekembangan teknologi informasi semakin memudahkan pekerjaan manusia. Sebelum pandemi ada istilah digital nomade, dimana orang bisa bekerja tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Lalu saat pandemi tenar dengan istilah WFH (work from home) dimana pekerjaan bisa diremote dan dilakukan dari rumah.
Lalu berkembang istilah WFA (work from anywhere), ini juga pekerjaan bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja. Dan saat itikaf seperti saat ini, berkembang lagi dengan sebutan WFM (work from mosque), dimana sambil itikaf sesuai dengan syarat dan rukunnya, akan tetapi masih tetap produktif mengerjaan pekerjaan yang menjadi bebannya tanpa meninggalkan masjid secara fisik.
Apapun pilihan kita, jika semuanya dilakukan dalam kerangka lillah, artinya semata-mata karena mencari ridha Allah dalam melaksakan kewajiban dan sunnahnya, maka akan dicatat menjadi amal kebajikan oleh Allah ta’ala. Jadi perbaiki niat kita, dan selanjutnya kita niatkan itikaf kita tahun ini semaksimal mungkin, sehingga melengkapi amalan ramadhan dalam rangka menggapai derajat takwa. Wallahu a’lam.*
Peneliti di Hidayatullah Institute