Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Ilham Kadir
Ketiga. Saling menasihati dalam kebenaran (al-haq). Terminologi benar dalam konteks keindonesiaan tidak selalu berarti al-haq, namun sebaliknya setiap al-haq pasti benar jika tinjau secara filosofis. Misalnya, seorang guru menasehati muridnya agar konsisten menunaikan shalat fardhu lima waktu padahal guru tersebut mengajar ilmu sains dan dalam job disciption dia tidak memiliki wewenang menasehati muridnya untuk rajin beribadah. Dan, negara juga tidak menekankan agar setiap guru sains bersinergi dengan guru agama dan anak didik hanya dinilai dari hasil ujiannya di akhir semister dan sedikit penilain prilaku ketika berada di kelas.
Dalam sistem pendidikan sekuler seperti yang terjadi di negara kita, para guru sains adalah bagian terpisahkan dengan guru agama, sesaleh apa pun seorang murid, setaat apa pun ia pada orang tuanya, serajin apa pun beribadah, mengaji, puasa, dst., tapi nilai ujiannya tidak memenuhi standar, maka tidak boleh diluluskan, bahkan seorang murid yang jujur tidak menyontek namun tidak mendapatkan hasil ujian yang sesuai standar tetap tidak diluluskan. Padahal begitu banyak yang menyontek dan menadapat nilai yang tinggi keluar sebagai juara. Ini semua bermula dari absennya wa tawashau bil haq dalam berbagai dimensi kehidupan terutama dalam dunia pendidikan.
Keempat. Saling menasihat dalam kesabaran. Di era penuh fitnah ini (‘ahdul fitan), sabar adalah pilar terpenting untuk menghindari kerugian. Dimulai dengan menegakkan kesabaran dalam menjalankan segenap perintah Allah Subhanahu Wata’aladan konsisten menjauhi larangan-Nya. Dalam konteks ini, makna sabar bukan sebagai musibah tapi lebih kepada nikmat, sebab tidak mutlak sabar selalu berhubungan dengan musibah.
Orang-orang yang sabar di jalan Allah Subhanahu Wata’alaadalah mereka yang diberi nikmat oleh Allah, jadi kesabaran itu sendiri sudah menjadi bagian dari nikmat. Namun, puncak segala kesabaran adalah ketika ditimpa musibah, namun tetap konsisten beribadah, tidak berburuk sangka pada Allah, dan mengembalikan segala urusannya kepada Allah Subhanahu Wata’alayang Maha Adil. Dalam konteks ini, Nabi Ayyub ‘alaihissalam adalah contoh nyata, ketika harta, keluarga, dan kesehatannya dicabut oleh Allah Subhanahu Wata’aladalam tenpo yang singkat, namun ia tetap bersabar dan berbaik sangka kepada Allah. Begitulah kemuliaan ajaran Islam, dengan bersabar dalam menunaikan perintah Allah, menjauhi larangan syariat, sabar dalam menghadapi ragam musibah adalah ladang pahala dan sumber amal saleh. Bahkan pada level tertentu kesabaran menjadi daya energi untuk menuntaskan sebuah pekerjaan, as-shabru yu’inu ‘ala kulli amalin, begitu kata Ahli Hikmah.
Demikianlah, empat pilar yang harus dijadikan amalan dalam mengisi waktu yang telah diberikan kepada segenap manusia yang ada di jagad raya ini. Tanpa optimalisasi waktu sesuai tuntunan syariat, maka kita hanya hidup sia-sia dan kelak akan sengsara. Waktu dan prilaku kita yang akan mengubah segalanya, sebab tanpa usaha apa-apa dari manusia, waktu berlalu tanpa makna dan jika waktu hidup kita telah selesai, saat itulah baru terasa cepatnya waktu berlalu dan tak ada lagi waktu untuk kembali.
Bahkah saat itu, orang-orang yang memilik harta sangat ingin ditangguhkan ajalnya, agar ada waktu baginya untuk berinfak, katanya, Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan kematianku walaupun sesaat, agar aku dapat bersedekah dan termasuk orang-orang yang salih? Namun, Allah Subhanahu Wata’alasekali-kali tidak akan menangguhkan ajal seseorang apabila telah datang waktu kematiannya, (QS. Al-Munafiqun [63]: 10-11).
Begitulah mahalnya waktu saat kita dalam sekarat, mumpun masih ada waktu, mari mengisi waktu-waktu kita untuk berbuat kebajikan sesuai kapasitas dan kemampuan, semoga tahun 2016 Miladiyah ini dapat dioptimalkan dalam meningkatkan amal saleh dan menumpas amal salah. Selamat Tahun Baru, 2016 Miladiyah.*/Enrekang, 1 Januari 2016 M.*
Kandidat Doktor Pendidikan Islam Fakultas Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun (UIKA)