Hidayatullah.com—Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Jatim melarang masyarakat mengkonsumsi produk olahan makanan dan minuman yang di dalamnya ada zat pewarna karmin. Zat pewarna yang berasal dari serangga ini dinilai haram dan najis untuk dikonsumsi.
Keputusan ini diambil setelah mempertimbangkan aspek keagamaan dan hukum Islam. Selama ini bahan karmin digunakan untuk campuran pewarna susu, permen, jeli, es krim dan lainnya.
Katib Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim, KH Romadlon Chotib, menjelaskan bahwa pewarna karmin sering kali diidentifikasi dalam makanan atau produk make-up dengan kode E-120. Oleh karena itu, dia menyarankan agar kita menghindari produk-produk yang mengandung kode ini.
“Dalam bahtsul masail, kami telah memutuskan bahwa penggunaan karmin ini diharamkan menurut Imam Syafi’i, dan kami adalah penganut Madzhab Syafi’iyah,” ujarnya dalam Konferensi Pers Hasil Bahtsul Masail LBMNU Jatim di Kantor PWNU Jatim, Selasa (12/09/2023) lalu.
Bahtsul masail ini menghasilkan keputusan bahwa bangkai serangga (hasyarat) dilarang dikonsumsi karena dianggap najis dan menjijikkan, kecuali menurut sebagian pendapat dalam Madzhab Maliki.
MUI Menghalalkan
Sebelumnya, keterangan LP POM MUI dalam rapat komisi fatwa tanggal 4 Mei 2011 menyatakan bahwa serangga cochineal dijadikan bahan pembuatan pewarna makanan dan minuman tidak mengandung bahaya.
Dalam Fatwa MUI No: 33 Tahun 2011 tentang “Hukum Pewarna Makanan dan Minuman dari Seranngga Cochineal MUI” menjelaskan bahwa serangga cochineal yaitu serangga yang hidup di atas kaktus dan makan pada kelembaban dan nutrisi tanaman.
Serangga cochineal merupakan binatang yang mempunyai banyak persamaan dengan belalang dan darahnya tidak mengalir. Adapun pewarna makanan dan minuman yang berasal dari serangga cochineal hukumnya halal, sepanjang bermanfaat dan tidak membahayakan.
“Pewarna makanan dan minuman yang berasal dari serangga cochineal hukumnya halal, sepanjang bermanfaat dan tidak membahayakan,” demikian bunyi fatwa MUI.
Cochineal atau carmyne (karmin), banyak digunakan kalangan pelaku industri makanan dan minuman. Prof. Dr. Ir. Sedarnawati Yasni, M.Agr, dosen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB sekaligus auditor halal Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) menerangkan, karmin dibuat dari serangga cochineal (dactylopius coccus) atau kutu daun yang menempel pada kaktus pir berduri (genus opuntia).
Sebagai bahan pewarna makanan, karmin sering digunakan untuk mempercantik tampilan makanan kemasan dan olahan sehingga tampak lebih menarik. Berbagai jenis makanan yang beredar di pasaran, misalnya es krim, susu, yoghurt, makanan ringan anak-anak, banyak yang menggunakan bahan pewarna karmin.
Karmin juga digunakan untuk mewarnai produk perawatan tubuh seperti shampo dan lotion, serta make-up seperti eyeshadow.
Serangga jenis ini banyak ditemukan di Amerika Tengah dan Selatan. Saat ini Peru dikenal sebagai penghasil karmin terbesar di dunia, mencapai 70 ton per tahun.*
Yuk bergabung dengan dakwah media melalui BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH)