Ilmu nasab juga berfungsi untuk mengetahui asal keturunan para imam atau pemimpin kaum Muslimin dan keturunan Nabi Muhammad ﷺ
Oleh: Dr Bahrul Ulum
Hidayatullah.com | SALAH satu khasanah ilmu yang tidak dimiliki oleh peradaban selain Islam, yaitu ilmu nasab atau ilmu silsilah. Ilmu ini membahas garis keturunan seseorang sehingga terjalin persaudaraan dengan pasti.
Dari Abu Hurairah radhi Allahuanhu bersabda Rasullah ﷺ,
تَعَلَّمُوا مِنْ أَنْسَابِكُمْ مَا تَصِلُونَ بِهِ أَرْحَامَكُمْ فَإِنَّ صِلَةَ الرَّحِمِ مَحَبَّةٌ فِي الْأَهْلِ مَثْرَاةٌ فِي الْمَالِ مَنْسَأَةٌ فِي الْأَثَرِ
’’Pelajarilah olehmu tentang nasab-nasab kamu agar dapat terjalin dengannya tali persaudaraan diantara kamu. Sesungguhnya menjalin tali persaudaraan itu akan membawa kecintaan terhadap keluarga, menambah harta, memanjangkan umur dan menjadikan Allah ridha. “(Riwayat AT Tirmidzi).
Dalam hadits yang lain Rasulullah ﷺ bersabda;
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَجَمَالِهَا، وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
”Wanita itu boleh dinikahi dengan empat sebab; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya, maka utamakan yang memiliki agamanya niscaya kamu akan beruntung.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Para ulama menjelaskan, yang dimaksud dengan keturunannya ialah berasal dari keturunan yang mulia. Dalam hal ini tidak mungkin dapat diketahui melainkan dengan ilmu nasab.
Berdasar nash di atas, para ulama kemudian menyimpulan bahwa ilmu nasab merupakan bagian dari ilmu syariah yang perlu dipelajari.
Seorang ulama bernama al-Qalqasyandi dalam kitab Nihayah al-Arab, menjelaskan bahwa mempelajari ilmu nasab, ada hal yang diwajibkan bagi setiap orang, ada yang tidak, dan ada pula yang dianjurkan.
Yang diwajiban yaitu berkaitan dengan nasab Nabi Muhammad. Dasarnya adalah sabda Rasulullah ﷺ yang menceritakan tentang nasab beliau sendiri.
Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, Kitab Manaqib al-Ansar, yang menyatakan:
مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّه بْنِ عَبْدِ المُطَّلِبِ بْنِ هَاشِمِ بْنِ عَبْدِ مَنَافِ بْنِ قُصَيِّ بْنِ كِلاَبِ بْنِ مُرَّةَ بْنِ كَعبِ بْنِ لؤَيِّ بْنِ غالِبِ بْنِ فِهْرِ بْنِ مَالِكِ بْنِ النَّضْرِ بْنِ كِنَانَةَ بْنِ خُزَيْمَةَ بْنِ مُدْرِكَةَ بْنِ إِلْيَاسَ بْنِ مُضَرَ بْنِ نِزَارِ بْنِ مَعَدِّ بْنِ عَدْنَانَ
’’(Nabi Muhammadi diberi nama) Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qusai bin Kilab (nama sebenarnya Hakim) bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr (Quraish) bin Malik (An Nadhir) bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan.” (Lihat Sahih al-Bukhari, 4/228)
إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ وَاصْطَفَى قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِي هَاشِمٍ وَاصْطَفَانِي مِنْ بَنِي هَاشِمٍ
“Sesungguhnya Allah memilih Kinanah dari keturunan Nabi Ismail, dan memilih Quraisy dari Kinanah, dan memilih Hasyim dari Quraisy, dan memilihku dari Bani Hasyim.” (Riwayat Muslim)
Ibnu Hazm menjelaskan, barangsiapa yang mempunyai keraguan apakah Muhammad ﷺ itu dari suku Quraisy, Yamani, Tamimi atau Ajami, maka ia kafir.
Ilmu nasab juga berfungsi untuk mengetahui asal keturunan para imam atau pemimpin kaum Muslimin, agar tidak keliru memilih khalifah.
Ketika umat Islam hendak memilih khalifah, mereka bisa mengetahui calon khalifah dengan melihat garis keturunan yang ada dalam nasab tertentu.
Selain itu juga untuk mengenal di antara manusia, hingga kepada keluarga yang bukan satu keturunan dengannya. Hal ini penting untuk menentukan masalah hukum waris, wali pernikahan, kafaah suami terhadap istri dalam pernikahan dan masalah wakaf.
Dari Abu Dzarr, bahwasanya ia pernah mendengar Rosulullah ﷺ bersabda,
لَيْسَ مِنْ رَجُلٍ ادَّعَى لِغَيْرِ أَبِيْهِ وَ هُوَ يَعْلَمُهُ إِلاَّ كَفَرَ وَ مَنِ ادَّعَى مَا لَيْسَ لَهُ فَلَيْسَ مِنَّا وَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ وَ مَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللَّهِ وَ لَيْسَ كَذَلِكَ إِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ
“Tidaklah seseorang itu mengaku-ngaku kepada selain ayahnya padahal ia mengetahuinya melainkan ia telah kafir. Barangsiapa yang mengaku-ngaku sesuatu yang ia tidak miliki maka ia bukan termasuk golongan kami dan hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya dari api neraka. Dan barangsiapa yang menuduh seseorang dengan kekafiran atau ia berkata, “Wahai musuh Allah padahal ia tidak begitu melainkan tuduhan itu akan kembali kepadanya.” (HR Muslim dan Ahmad)
Dari Ali bin Abi Thalib radliyallahu anhu, dari Rasulullah ﷺ bersabda,
وَ مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيْهِ أَوِ انْتَمَى إِلَى غَيْرِ مَوَالِيْهِ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَ اْلمـَلَائِكَةِ وَ النَّاسِ أَجْمَعِيْنَ لَا يَقْبَلُ اللهُ مِنْهُ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ صَرْفًا وَ لاَ عَدْلًا
“Dan barangsiapa yang mengaku-ngaku kepada selain ayahnya atau bekerja kepada selain majikannya maka baginya laknat Allah, para Malaikat dan manusia seluruhnya. Allah tidak akan menerima taubat dan tebusan darinya pada hari kiamat.” (HR: Bukhari)
Dari sini jelaslah bahwa ilmu nasab adalah suatu ilmu yang agung, berhubungan dengan hukum-hukum syariah Islam.
Amal lebih utama dibanding Nasab
Ilmu nasab ini juga dikenal luas di seluruh dunia dengan istilah yang berbeda beda. Dalam bahasa Arab disebut “syajaratul ansab” yang bermakna pohon turun temurun seseorang atau sekelompok orang.
Untuk memahami dan mempelajari Ilmu nasab ini kita sebaiknya juga memahami berbagai macam ilmu seperti ilmu sejarah, ilmu geografi, ilmu matematika, ilmu kedokteran, ilmu mantik, ilmu sosial kebudayaan dan kemasyarakatan.
Yang pertama menuliskan silsilah keturunan di dalam buku khusus mengenai nasab ialah Khalifah Umar bin Khattab yang mencatat dengan urutan pertama mulai dari keturunan Bani Hasyim satu persatu baik laki-laki maupun perempuan.
Kemudian barulah penggolongan bangsa Arab, kemudian bangsa-bangsa lainnya yang masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan Rasulullah ﷺ.
Setelah Khalifah Umar wafat, para penggantinya juga melakukan hal sama. Ini berlaku sampai Kekhalifahan Abbasiyah yang mengkhususkan urusan nasab dengan mendirikan kantor dalam hal pencatatan nasab yang dipimpin oleh seorang kepala (Naqib).
Bani Abbas, Bani Thalibiyin yaitu keturunan dari Abi Thalib masing-masing dipimpin oleh seorang naqib. Begitu pula untuk keturunan para syarif, yaitu keturunan dari Hasan dan Husein di setiap kota dipimpin pula oleh seorang naqib yang salah satu kewajibannya adalah menjaga dengan sebenar-benarnya keturunan Nabi Muhammad ﷺ.
Selanjutnya banyak ahli sejarah menulis mengenai keturunan Rasulullah ﷺ. Kemudian yang datang belakangan memperbaiki dan menyempurnakan kembali. Selain ahli sejarah, mereka juga ahli fiqih.
Di antaranya Imam Abu Hafs bin Sumrah al-Yamani dengan kitabnya yang berjudul Tabaqat Fuqaha al-Yaman, Imam Husein bin Abdurrahman al-Ahdal dengan kitabnya Tuhfah al-Zaman Fi Tarikh al-Yaman, Abbas bin Ali al-Rasuli dengan kitabnya al-Athaya al-Saniyah, Syeikh Abdurrahman bin Muhammad al-Chatib al-Anshari dengan kitabnya al-Jauhar al-Syaffaf.
Di kalangan Alawiyin terdapat kitab al-Jawahir al-Saniyyah Fi Nasab al-Ithrah al-Huseiniyyah karangan Sayid Ali bin Abubakar al-Seqqaf dan lainnya.
Meski nasab itu penting, namun umat Islam dilarang hanya mengandalkan kepadanya. Tapi harus mengutamakan amal.
Hal ini disampaikan Rasulullah kepada keluarganya;
“Wahai Bani Hasyim! Janganlah sampai orang-orang lain menghadap padaku pada hari kiamat nanti dengan berbagai amal shaleh (baik), sedangkan kalian menghadapku hanya dengan membanggakan nasab (keturunan).” (Tafsir Bahrul Muhits, Abi Hayyan al Andalusi).
Namun, yang patut disyukuri, hanya Islamlah yang memiliki ilmu ini yang sampai sekarang masih terpelihara dengan baik.*
Penulis doktor bidang filsafat Islam