SATU langkah Nabi yang sangat spektakuler dan belum pernah dilakukan oleh siapapun sebelumnya adalah mempersaudarakan sesama Muslim.
Islam tidak melihat hubungan persaudaraan sebatas pada hubungan darah atau keturunan, tetapi lebih pada aqidah atau keyakinan.
Langkah ini terbukti efektif untuk menguatkan persatuan dan kesatuan umat Islam, sehingga tradisi lama di mana antar satu kabilah dengan kabilah lain sering terlibat konflik bahkan peperangan, sudah lenyap dalam tradisi masyarakat Muslim di Madinah kala itu.
Siapa pun dan dari suku mana pun mampu hidup berdampingan dan saling berkasih sayang atas dasar aqidah. Hal ini dikarenakan dalam Islam, kebaikan seorang Muslim tidak semata-mata diukur dari ketaatannya dalam beribadah tetapi juga kesholehannya dalam pergaulan sehari-hari.
Sungguh masyarakat Madinah kala itu benar-benar tampil sebagai masyarakat yang tiada duanya di dunia. Mereka saling menghormati, berkasih sayang dan saling melindungi, sehingga wajar jika Kota Madinah menjadi satu kota yang sangat kuat dan inspiratif hingga kini dan akhir zaman kelak.
Muslim yang Paling Baik
Suatu ketika ada seseorang yang bertanya kepada Nabi, “Bagaimanakah Islam yang paling baik itu?” Beliau menjawab, “Hendaklah engkau memberi makan, mengucapkan salam kepada siapa pun yang engkau kenal maupun yang tidak engkau kenal.” (HR. Bukhari).
Dalam hadits yang lain, sebagaimana dituturkan oleh Abdullah bin Salam, Rasulullah bersabda, “Wahai manusia, sebarkanlah salam, berikanlah makanan, sambunglah tali persaudaraan, shalatlah pada malam hari ketika semua orang sedang tidur, niscaya kalian akan masuk surga dengan damai.” (HR. Tirmidzi).
Artinya, sesama Muslim itu saling peduli, saling bantu dan tentunya saling berkasih sayang, sehingga eksistensi umat Islam benar-benar tampil sebagai khayru ummah. Apabila budaya seperti ini pernah terwujud dalam kehidupan dunia, berarti upaya mengarah pada budaya mulia tersebut bukan kemustahilan.
Tinggal bagaimana inisiatif, kemauan dan kesungguhan dari setiap Muslim untuk kembali secara perlahan membudayakan tradisi mulia yang merupakan syarat utama terbentuknya masyarakat yang damai, adil, tentram dan sentosa.
Pantangan Seorang Muslim
Rasulullah tidak saja menjelaskan atau menunjukkan tentang apa yang harus dilakukan seorang Muslim agar bisa menjadi Muslim yang baik. Tetapi juga menunjukkan tentang perkara-perkara yang harus dijauhi seorang Muslim.
Pertama, jauhi saling benci. Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian saling membenci, janganlah saling mendengki, janganlah saling bermusuhan, dan jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara, dan seorang Muslim tidak diperbolehkan mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari.” (HR. Bukhari).
Kedua, jauhi kezaliman. Rasulullah bersabda, “Orang Muslim itu adalah saudara bagi Muslim lainnya, tidak menzalimi dan tidak menelantarkannya. Barangsiapa berada dalam kebutuhan saudaranya maka Allah berada dalam kebutuhannya. Barangsiapa menyingkirkan darinya satu kesusahan maka Allah akan menyingkirkan darinya satu kesusahan dari berbagai macam kesusahan hari akhirat. Barangsiapa menutupi aib orang Muslim maka Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat.” (Bukhari-Muslim).
Ketiga, tidak mencaci. Rasulullah bersabda, “Mencaci orang Mukmin itu adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekafiran.” (HR. Bukhari).
Dengan demikian dapat dipahami bahwa seorang Muslim terhadap Muslim lainnya harus saling berkasih sayang, peduli dan tidak menzaliminya. Sekiranya ini menjadi komitmen yang diupayakan secara sungguh-sungguh oleh setiap Muslim, tentu Indonesia ini akan menjadi negeri yang menjadi dambaan penduduk dunia.
Sebagai Muslim, kita tidak boleh abai terhadap hal-hal penting seperti ini. Sebab, pahala ibadah bisa berkurang bahkan hangus kala dalam pergaulan dengan sesama Muslim kita tidak menjauhi sikap zalim, buruk sangka, dengki apalagi sampai memutus tali silaturrahim.
Bahkan, secara historis, langkah-langkah tersebut merupakan satu tonggak penting terbangunnya masyarakat yang beradab.
Jika Rasulullah memerintahkan demikian maka sudah seharusnya kita mewujudkannya, karena hal itu tidak saja mendatangkan pahala di sisi-Nya, secara kolektif perintah itu bisa menjadi awal terbangunnya masyarakat Muslim yang benar-benar khayru ummah, sehingga Islam tidak samata riuh dalam seminar, dialog atau pun diskusi semata. Tetapi juga semarak dalam kenyataan keseharian, karena memang setiap Muslim terhadap Muslim lainnya benar-benar saling berkasih sayang.*