Hidayatullah.com | BUDAYA Arab pra-kenabian melazimkan predikat aib, seseorang yang belajar dengan menuliskannya. Konon pernah terjadi, seseorang yang tepergok mencatat suatu hal, memohon-mohon agar apa yang dilakukannya itu dirahasiakan dari telinga siapapun. Malunya sampai tulang sumsum.
Mengapa bisa seserius itu? Sebab simbol kecerdasan saat itu adalah hafalan. Sedangkan menulis adalah aktivitas orang-orang yang lemah potensi akal.
Budaya Arab pra-kenabian mengawinkan simbol kecerdasan (menghafal) itu dengan agungnya kedudukan syair pada zamannya. Sampai-sampai, A-Quran diturunkan dengan unsur keindahan bahasa untuk menggodamnya. Menyimpan syair dengan cara mencatatnya bagi masyarakat Arab saat itu adalah kehinaan. Karena itu dianggaplah aib.
Andaikata Benjamin S. Bloom sudah hidup pada zaman tersebut, barangkali masyarakat Arab akan tergelak, sebelum kemudian tersedak. Sebabnya, ternyata Bloom sama-sama mengkategorikan aktivitas menghafal dan menulis ke dalam kolom C1 pada tabel Kata Kerja Operasional (KKO) Pengetahuan. Kita tahu, taksonomi Bloom menyebut urutan pengetahuan dimulai dari C1 (mengingat), C2 (memahami), C3 (mengaplikasikan), C4 (menganalisis), C5 (mengevaluasi), dan C6 (menciptakan).
Setelah Nabi diutus di Makkah lalu hijrah ke Madinah, Rasulullah ﷺ membangun institusi pendidikan tinggi pertama dalam Islam, As-Suffah. Institusi ini mencakup pembelajaran menulis selain tentu saja menghafal Al-Quran dan ilmu-ilmu keislaman.
Selain itu juga berdiri Kuttab sebagai institusi pendidikan dasar. Aktivitasnya juga seputar menghafal dan menulis di level anak-anak. Kuttab sendiri sebenarnya ada sejak sebelum Nabi diutus, tetapi belum luas dikenal.
Menghafal, meski kata kerja tersebut berada di urutan pertama taksonomi, ia adalah pondasi. Tak perlu ilmuwan Timur untuk membuat pengakuan hal ini.
Intelektual Barat seperti George A. Makdisi pun membenarkannya. George mengulas cukup detail budaya intelektual zaman pertengahan Islam dalam karya megahnya The Rise of Colleges dan The Rise of Humanism.
Setahun setelah Rasulullah ﷺ wafat, melalui rekomendasi Umar, Abu Bakar memerintahkan untuk mengumpulkan suhuf (lembaran) Al-Quran yang berserakan. Dengan pertimbangan para penghafal Al-Quran kian langka akibat peperangan. Kelak pada zaman Khalifah Utsman, Al-Quran dikodifikasikan secara utuh dan diresmikan.
Orientalis meragukan otentisitas hasil kelanjutan kerja itu. Menurut mereka, selisih 15 tahun setelah wafatnya Nabi, pendistribusian naskah Al-Quran ke pelbagai wilayah Dunia Islam memungkinkan terjadi kesalahan dan pemalsuan teks. Meskipun paradoksnya, ilmuwan Bible menganggap otentitas kitab Perjanjian Lama setelah ditulis dengan rentang waktu delapan abad lamanya. Itupun dengan metode transmisi lisan yang masih dipertanyakan.
Prof. Mushtafa al-Azhami menjawab telak tuduhan orientalis dalam magnum opusnya, The History of The Quranic Text. Periode awal Islam telah berjalan tradisi hafalan Al-Quran berikut naskah yang dituliskan.
Naskah tersebut sifatnya sebagai alat bantu, sehingga jika pun terdapat ketidaklengkapan naskah, sama sekali tidak berpengaruh pada otentisitas teks Al-Quran. Sebab keotentikan Al-Quran terjaga dalam tradisi hafalan.
Al-Azhami juga menyatakan, praktik yang telah mapan sejak lahirnya literatur keislaman memberi isyarat bahwa setiap teks keagamaan transmisinya hanya dapat dilakukan dengan cara bertatap muka kepada guru. Demikian tradisi itu dianak-turunkan menjadi sanad keilmuan.
Lantas, dengan argumentasi itu apakah saya hendak menyebut hafalan sebagai pencapaian pendidikan? Tentu saja tidak. Tugas utama pelajar bukan untuk menghafal, meski seluruh pelajar membutuhkan proses itu. Otak pelajar bukanlah hard disk yang hanya berfungsi sebagai penyimpan sejumlah data. Otak pelajar bahkan harus melebihi kecerdasan fungsi algoritma.
Karenanya tradisi hafalan Al-Quran pun sesungguhnya (sekaligus seharusnya), bukan ditujukan untuk hafalan itu sendiri. Melainkan untuk menjaga Kalamullah agar tidak musnah di muka bumi. Demikian itu sekaligus menjadi wujud penjagaan Allah terhadap al-Quran. Hafalan al-Quran juga sebetulnya sebagai sarana agar seseorang dapat senantiasa membersamainya, mentadaburinya, hingga mengamalkannya.
Maka wajar, Sayyid Quthb dalam Ma’alim fi ath-Thariq-nya berujar, “Tak seorang pun sahabat mempelajari al-Quran untuk memperkaya perbendaharaan tradisi semata, tidak pula hanya bertujuan menggabungkan dalil-dalil ilmiah dan fiqhiyah pada konklusi al-Quran yang disimpulkan berdasarkan pendapat pribadinya. Akan tetapi, para sahabat mempelajari al-Quran untuk mendalami firman Allah, berkenaan dengan masalah pribadi dan persoalan bersama –yang mereka terlibat di dalamnya, serta kondisi lingkungan yang menjadi ajang aktifitas mereka.”
Lebih tegas Sayyid Quthb menambahkan, “Al-Quran tidaklah hadir sebagai sebuah kitab yang memperkaya akal, tidak pula rujukan sastra dan seni, apalagi kitab dongeng dan sejarah –meskipun semua itu tercakup di dalamnya. Akan tetapi, al-Quran turun untuk menjadi jalan hidup dan sebagai petunjuk Ilahi yang suci.”
Pertanyaan finalnya kemudian, pentingkah menghafal dalam pendidikan? Jawabannya ada pada meme-anekdot yang akhir-akhir ini bertebaran di lini masa, yaitu kesalahan menyebut nama-nama ikan bisa berbuah fatal.
Namun, meskipun begitu, menghafal tetap saja berada di step yang pertama, meskipun bukan yang utama. Ia dapat dikategorikan sebagai pondasi awal setara dengan aktivitas menulis, sebelum kemudian naik pada tingkatan yang lebih tinggi dalam skema taksonomi.
Justru masalahnya adalah, ketika hari ini secara asbun banyak orang yang menuntut akselerasi kompetensi. Mengharap pelajar segera mampu menganalisis bahkan menciptakan karya besar tanpa mematangkan step-step awal yang harus dilalui.
Alhasil, mereka menjadi ilmuwan setengah jadi yang mudah melakukan mal praktek, kehilangan adab, keseringan trial and error, bahkan pada lingkup ilmu agama mudah mengeluarkan fatwa yang sempit bahkan menyesatkan. Sebab tidak cukup mumpuni ilmu dasar yang dikuasai.
Karena itu, di tengah gemuruhnya pro-kontra konsep pendidikan yang terjadi, kembalikan pelajar pada fitrahnya. Arahkan niat yang cermat , lakukan step yang tepat, tanpa mengkorupsi tahapan dan pengajaran hanya demi tercapainya obsesi yang masih tergambar abstrak.
Diagnosa masalah harus berlaku fair, sehingga mampu melihat variabelnya secara detail. Agar tidak berlaku generalisir resep obat yang harus digeruskan. Semoga pendidikan kita kian membaik. Semoga pendidikan ke depan dapat menjadi tonggak bangkitnya peradaban. Kemuliaan agama Islam.*/Ahsan Hakim, pengajar di Sekolah Alam Insan Mulia Surabaya