TELAH tersebar di masyarakat Madinah bahwa Sa’id bin Musayyab memiliki seorang putri nan jelita, sholihah lagi sangat faham ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Nabi-Nya. Hal ini pula yang mengilhami sang penguasa kaum muslimin saat itu, Abdul Malik, untuk menyunting putri ulama juhud itu untuk putranya, al-Walid.
Di luar dugaan, sang imam menolak pinangan sang khalifah. Peristiwa ini sempat menggegerkan penduduk Madinah, termasuk anak-anak sang khalifah yang lainnya. Mereka sangat tidak percaya dengan penolakan itu. Pernah suatu kejadian, sang Imam menolak panggilan sang khalifah.
Mendapati kejadian itu, putra Abdul Malik yang bungsu mencoba menelusuri siapa gerangan yang berani menolak permintaan yang ayah. Ia mencoba bertanya kepada kakaknya.
Mendapat pertanyaan demikian, sang kakakpun menjawab pertanyaan adiknya, “Dia adalah orang yang putrinya pernah dipinang oleh ayah untuk saudara kita, al-Walid, tetapi dia menolak untuk menikahkannya”.
Yang menyengangkan, di hari yang lain, Sa’id bin Musayyab justru menawarkan putrinya kepada salah seorang muridnya. Dia adalah Abu Wad’ah; duda miskin yang baru saja ditinggal mati istrinya.
Cermin kemiskinan calon menantu tersirat dengan jelas, ketika ia mencoba menyelidiki siapa gerangan yang sudi menikahkan putrinya dengan dirinya yang papa.
“Wahai Syeikh, semoga Allah senantiasa merahmati Anda. Kiranya, siapa gerangan yang mau menikahkan putrinya dengan aku, sedang aku hanyalah seorang pemuda yang lahir dalam keadaan yatim dan hidup dalam keadaan fakir. Harta yang kumiliki tidak lebih dari dua atau tiga dirham saja”.
Terhadap pertanyaan sang calon menantunya ini, sang Syeikh dengan spontan menjawab, “Aku akan menikahkan engkau dengan putriku”.
Terkejutlah Abu Wad’ah dengan apa yang didengarnya dari lisan guru yang sangat dihormatinya itu.
“Anda waha Syeikh? Anda akan menikahkan putrid anda denganku padahal anda telah mengetahui keadaanku seperti ini”, tanyanya dengan diselimuti rasa keheranan.
“Ya, benar. Aku akan menikahkan engkau dengan putriku. Sesungguhnya bila ada seseorang yang datang kepada kami dan kami suka kepada agama serta akhlaknya, maka akan kami nikahkan ia dengan putrid kami. Sedangkan engkau di mata kami termasuk yang kami sukai agama dan akhlaknya”, tegas Syeikh.
Banyak yang terheran dengan peristiwa pernikahan putri Sa’id bin Musayyab ini. Mereka tidak habis fikir, bagaimana mungkin ada seorang ayah lebih memilih menikahkan anaknya dengan orang yang miskin dan menolak pinangan dari sang khalifah.
Hal ini pula yang saban hari disoal oleh seorang sahabat sang Sa’id bin Musayyab.
Dia bertanya; “Mengapakah Anda menolak pinangan Amirul Mukminin lalu kau nikahkan putrimu dengan orang awam?” Syeikh yang teguh pendirian itu menjawab, “Putriku adalah amanat di leherku, maka kupilihkan apa yang sesuai untuk kebaikan dan keselamatan dirinya,” terang Sa’id bin Musayyab.
Merasa belum menangkap secara utuh maksud dari jawaban sang imam, ia pun mencoba menyelidiki lebih detail; “Apa maksud Anda wahai Syeikh?”
Sa’id bin Musayyab pun menjelaskan maksud dari jawabannya, “Bagaimana pandanganmu bila misalnya dia (sang putri) pindah ke istana Bani Umayyah lalu bergelimang di antara ranjang dan perabotannya? Para pembantu dan dayang mengelilingi di sisi kanan dan kirinya dan dia mendapati dirinya sebagai istri sang khalifah. Bagaimana kira-kira keteguhan agamanya nanti?” tegas sang Syeikh.*/Khairul Hibri, anggota Asosiasi Penulis Islam Indonesia. Diambil dari kitab: Shuwaru Min Hayaati at-Tabi’in, karangan, Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya