Oleh: Muhammad Saad
AGAMA Islam sangat memperhatikan dan mengapresiasi orang-orang berilmu yang senantiasa mengamalkan ilmunya. Di sisi Allah orang berilmu mendapat derajat yang tinggi. Banyak sekali anjuran dalam kitab suci al-Qur’an agar kita menuntut ilmu, perintah agar kita membaca (iqra’), malakukan observasi (afalā yaraūna), eksploarasi (afalā yandzuruna), dan ekspedisi (sīrū fī l-rdhli), berpikir ilmiah rasional (li-qawmin ya’qilūn, yatafakkarūn). Hal ini menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai ilmu. Namun, menuntut ilmu dan mengamalkan ilmu ada aturan, tidak sembarang mengkaji dan mengamalkan. Pertama-tama harus dibetulkan niat belajar dan niat mengamalkan ilmu. Agar supaya ilmu tidak menjadikan kita kehilangan petunjuk.
Dalam Islam, mempelajari ilmu adalah suatu kewajiban bagi tiap pribadi pemeluknya, yang konsekuensinya dosa bila tidak dilaksanakan. Hal ini berimplikasi positif karena akan membentuk komunitas masyarakat berilmu yang kemudian terciptalah budaya ilmu. Inilah yang kemudian menjadi fakta sejarah bahwa peradaban Islam dibangun dengan konsep keilmuan.
Klasifikasi Orang Berilmu
Islam adalah satu-satunya agama yang sangat memperhatikan pendidikan umatnya. Ilmu didalam Islam memiliki posisi penting dalam kehidupan manusia. Demikian pentingnya sehingga Allah menjadikannya sebagai parameter utama dalam mengklasifikasikan manusia. Di dalam firman-firman-Nya, berulang-kali dipaparkan kualifikasi seseorang berdasarkan kompetensi ilmiah yang dimilikinya.
شَهِدَ اللّهُ أَنَّهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ وَالْمَلاَئِكَةُ وَأُوْلُواْ الْعِلْمِ قَآئِمَاً بِالْقِسْطِ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali Imran: 18).
Dalam ayat tersebut Allah Subhanahu wa-ta’ala (سبحانه و تعالى), kemudian para malaikat, dan orang-orang yang berilmu yang senantiasa menegakkan kebenaran dari ilmunya menyatakan tiada tuhan selain Allah. Ayat ini menunjukkan betapa manusia yang memiliki ilmu dan konsekeen dengan ilmunya diklasifikasikan dengan malaikat, sedangkan malaikat sebagaimana dipahami dalam kitabullah adalah makhluk suci dan mulia yang selalu menurut pada perintah Rabb-nya.
Persaksian (syahidah) adalah gerbang pembatas antara yang mukmin dan tidak beriman. Dengan demikian, syarat mutlak menjadi mukmin yang baik adalah berilmu pengetahuan yang memadahi. Bahkan Nabi memberi gambaran perbandingan orang beriman yang tidak berilmu dengan yang memiliki adalah berbanding tujuh ratus derajat dan setiap diantara dua derajat jauhnya mencapai lima ratus tahun. Mafhum mukhalafahnya tidak mungkin seseorang menjadi seorang mukmin yang baik dengan sedikit pengetahuan. Ayat ini juga memberi pemahaman bahwa konsep ilmu dalam Islam selalu bertalian erat dengan keimanan, artinya Ilmu dalam Islam syarat dengan nilai-nilai religi yang menjadi sumber epistemologinya. Tidak seperti Barat yang beranggapan bahwa ilmu adalah bebas nilai.
Niat Harus Benar
Berdasarkan niat belajar, Imam al-Ghazali membagi orang menuntut ilmu menjadi tiga. Pertama, belajar semata-mata karena ingin mendapat bekal menuju kebahagiaan akhirat. Kedua, belajar dengan niat mencari kemuliaan dan popularitas duniawi. Ketiga, menuntut ilmu sebagai sarana memperbanyak harta (Bidayatul Hidayah, hlm.6).
Golongan pertama, adalah golongan selamat sedangkan tipe kedua dan ketiga termasuk berpotensi menjadi pemimpin dan ilmuan yang dzalim. Golongan pertama termasuk pelajar yang memahami konsep ilmu dengan benar, niatannya untuk menghilangkan kejahilan agar mendapat ridla Allah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم). Keilmuannya diamalkan demi kemaslahatan umat bukan untuk kenikmatan pribadi.
Golongan kedua dan ketiga adalah kelompok penuntut ilmu yang materialis, yaitu mencari ilmu untuk tujuan duniawi. Sehingga aspek-aspek ukhrawi tidak menjadi landasan dalam mencari ilmu. Jika materialisme sebagai kerangka pikirnya, maka menurut Imam al-Ghazali ia kelak akan menjadi ulama’ suu’ (ilmuan jahat) yang tidak mengindahkan adab.
Pemisahan aspek ukhrawi dan aspek duniawi dalam menuntut ilmu akan mengakibatkan kekacauan ilmu. Ilmu yang kacau melahirkan pelajar yang jahil. Kejahilan itu bukan sekedar kekurangan ilmu, akan tetapi kacaunya ilmu/kerusakan ilmu. Kekacauan ilmu terjadi ketika informasi-informasi yang salah dipelajari kemudian diyakini sebagai kebenaran.
Ilmu menjadi kacau ketika kehilangan bimbingan adab dan kemasukan konsep materialisme. Menurut Syed Naquib al-Attas, ilmu-ilmu yang telah tercampur dengan konsep ‘asing’ itu hakikatnya bukan ilmu lagi, akan tetapi sesuatu yang menyamar sebagai ilmu (Risalah Untuk Kaum Muslimin, 61). Jadi ilmu yang hakiki adalah yang tidak melepaskan dimensi ukhrawi, sedangkan ‘ilmu’ yang menyamar adalah sebaliknya yang disebut ilmu madzmumah.
Banyak ayat dan hadits Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) yang menjelaskan tentang perintah dan kemuliaan orang yang berilmu. Disamping sebuah kewajiban yang dibebankan bagi setiap individu (farīdhlotu alā kulli musilimīn), dalam sebuah ayat (QS. Al-Mujadālah: 11), Allah menjanjikan derajat kemuliaan di akhirat bagi orang yang memiliki kualitas iman dan kompentensi ilmiah yang memadai, tentunya derajat kemuliaan tersebut dapat diperoleh ketika mengapikasikan ilmu pada tataran praktis.
Orang-orang yang mencari ilmu dan mengamalkannya adalah sebaik-baiknya ciptaan (walladzīna yakhsyawna Allaha hum khoyrul bariyyah). Kata “yakhsyawna” disematkan kepada ulama’ (innama yakhsya Allaha min ‘Ibādihi l-ulamā’), sedangkan kata “ulama” merupakan jama’ predikat dari orang-orang yang berilmu dan beramal shaleh (dari kata Alim). Disamping itu juga, para civitas akademika muslim adalah para penerus tampu perjuangan para nabi (waratsatu l-ambiyā’), tiada derajat lebih tinggi daripada derajat pewaris para nabi.
Dalam segala aktivitas mengkaji ilmu dengan niatan ikhlas adalah kebajikan. Mempelajari adalah perbuatan baik, menuntut ilmunya adalah ibadah, mengingat ilmu yang didapatkanya adalah bertasbih, membahas materinya adalah jihad, mengajarkan kepada orang yang belum mengetahui adalah shadaqah (diriwayatkan Mu’adz bin Jabbal). betapa semua kegiatan akivitas berilmu kebajikan penuh dengan limpahan pahala. Dan masih banyak keutamaan-keutamaan orang yang memiliki ilmu yang tertera dalam kitab suci dan hadits Nabi saw.
Dengan ilmu, seseorang dapat meraih kebahagiaan dunia, dengan ilmu seseorang memperoleh kebahagiaan abadi di Akhirat, serta dengan ilmu seseorang mampu memperoleh kedua-duanya. Bahkan dengan ilmu pula keistimewaan dan keunggulan Akhirat dapat dihayati dan dipilih seseorang ketimbang dunia (QS. Al-Qashash: 80). Artinya prioritas-prioritas konsep hidup yang bahagia dapat ditentukan sendiri oleh mereka yang berilmu. Dengan ilmunya tersebut dapat menuntun dan mengarahkan seseorang untuk kehidupan yang layak dan bahagia dunia dan Akhirat.*
Penulis adalah Alumni PP. Aqdamul Ulama’ Pasuruan, Mahasiswa Tingkat Akhir Sekolah Tinggi Uluwiyyah Mojokerto.